“Jadi, seperti itulah keinginan ayahmu,” kata Dorin menutup pembicaraannya.
Bennosuke yang saat itu duduk bersila di hadapan Dorin tampak termangu. Tatapan matanya kosong – memandang ke bawah, ke hamparan tatami (sejenis tikar tebal penutup lantai yang terbuat dari anyaman jerami) yang menutupi lantai ruangan itu. Ruangan tempat Dorin biasa bercerita tentang para tokoh hebat yang membentuk sejarah Jepang, sejarah Chuugoku, ataupun mengenai tokoh inspiratif lainnya seperti Koushi, Moushi, dan bahkan Sonshi. Di ruangan inilah Bennosuke selalu menunjukkan wajah antusias ketika menyimak apa yang dikatakan Dorin. Walaupun ruangan ini tidak begitu besar, seukuran 4½ tatami, dan penerangannya juga sekadarnya saja, setiap malam tempat ini selalu menjadi tempat favorit bagi Bennosuke. Entah karena kemampuan Dorin bercerita dan menggambarkan berbagai peristiwa dengan menarik ataukah minat dan keingintahuan Bennosuke akan hal-hal tersebut – sejarah, kebudayaan, dan kisah kepahlawanan, yang membuatnya betah berlama-lama di ruangan ini.
Bennosuke terdiam cukup lama. Ia menundukkan kepalanya.
Ayo, Bennosuke, katakan kalau kau bersedia mematuhi keinginan Ayah dan ucapkan terima kasih pada Paman Dorin.
Ia menggigit bibirnya namun tak sepatah kata pun ia ucapkan, tak sedikit pun ia menggerakkan tubuhnya.
Dorin menunggu respons apa yang akan ditunjukkan anak itu.
Apa yang ia pikirkan? Sedari tadi sejak kukatakan Munisai menginginkannya pergi dari rumah ini, tak sepatah kata pun ia ucapkan.
Tangan bocah itu tampak mencengkeram hakama-nya dengan kuat – saking kuatnya, kepalan tangannya seperti gemetar. Hal itu tidak luput dari perhatian Dorin.
Anak ini sedih? Marah? Kecewa?
Dorin bisa memaklumi perasaan Bennosuke. Bocah itu tentunya bingung dan bertanya-tanya karena ia tidak merasa melakukan suatu kesalahan apa pun, yang menyebabkannya harus angkat kaki dari rumah ini, tempat ia dilahirkan dan dibesarkan.
Bennosuke tetap menundukkan kepala. Perasaannya bercampur aduk. Bahunya bergerak naik turun sedikit, hanya sebentar.