Betapa hubungan seperti itu kekanak-kanakan sekali, bukan?
Saya ingat utas tweet lawas yang ditulis mbak Afu. Kira-kira ia bilang begini: kita itu gampang sombong kalau baru saja punya sesuatu--ilmu, isme, uang, agama, titel, dsb. Perilakunya mirip seperti orang kaya baru (OKB). Orang yang baru mendapatkan ilmu yang seolah mampu menjawab pertanyaan-pertanyaan filosofis dalam hidupnya, merasa tercerahkan seketika dan merasa orang lain wajib tahu agar sama-sama tercerahkan.
Benar. Saya dan doi pada saat itu, ya, kurang lebih berperilaku seperti OKB. Angkuh, mudah meremehkan orang lain, dan butuh afirmasi dari orang yang dianggap sama-sama cerdas.
Itu jadi pelajaran berharga dalam hidup saya. Perilaku snob memang menyebalkan, kadang merasa malu melihat diri saya versi beberapa tahun silam. Namun, saya pikir itu manusiawi. Yang namanya manusia pasti berproses, fase demi fase dilewati menuju kedewasaan.
Kecerdasan memang penting--terutama jadi bekal untuk pendidikan anak-anak kelak--tetapi bukanlah satu-satunya dan segalanya. Ada banyak aspek yang harus dipertimbangkan saat mencari dan memilih pasangan hidup.
Mungkin, niat ibu dosen itu baik. Ia menyentil anak muda agar tak malas membaca buku. Bukankah kita kerap prihatin karena indeks kegemaran membaca pada masyarakat kita masih rendah? Tetapi, pesan baik di dalam utasnya tidak begitu ngena dan tidak nendang.Â
Membaca buku sebanyak-banyaknya hanya demi mendapatkan hati sang pujaan yang berotak seksi bukanlah cara yang tepat. Mungkin iya, bisa jadi gara-gara kepincut sama gebetan, kita jadi rajin baca buku. Masalahnya, apakah kegemaran baca buku yang dipupuk dengan cara demikian bisa bertahan lama?
Setidaknya, bacalah buku demi dirimu sendiri, bukan demi orang lain. Dan temukan dirimu sendiri di antara buku-buku yang telah kamu baca. Saya lebih suka yang begini.
Sejatinya, tak ada tips PDKT paling ampuh sedunia. Juga tak ada jurus-jurus paling jitu untuk kencan pertama, kedua, ketiga, agar bisa berlanjut seterusnya. Percuma saja kalau kamu tak bisa jadi diri sendiri saat mengobrol dengan gebetan, memaksakan gagasan yang tak kamu pahami sembari asal kutip isi buku di sana-sini.
Lagian, percaya deh, semakin dewasa--apalagi dalam komitmen serius jangka panjang--akan lebih banyak ngobrolin problem keseharian sembari memikirkan solusi praktis daripada teori yang melulu abstrak, njelimet, dan ndakik-ndakik. Kecuali kamu dan (calon) pasanganmu sama-sama pemikir ulung dan punya privilese sosial-ekonomi.
Beri Komentar
Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!