Tempo hari, keyword 'Homo Deus' sempat ramai di jagat Twitter. Pemicunya, utas ibu dosen yang menyindir agar para lelaki lekas insaf dan mau membaca buku biar obrolan pas PDKT sama cewek nggak garing-garing amat.
"Jadi dong steak yang tebal, sexy, dan juicy, jangan jadi remahan rengginang. Oke?" begitu katanya. Dan netizen yang jempolnya gatel pun berbondong-bondong ikut komentar.
Sekonyong-konyong, ingatan saya tentang masa-masa "muda, beda, dan berbahaya" pun terpantik. Memang, sekarang saya masih muda, tapi tak lagi "beda dan berbahaya"--menukil kata-kata yang ditulis Cik Prim.
"Kamu baca buku Sejarah Tuhan-nya Karen Armstrong?" Tanya doi. Saya gali kembali ingatan itu dari arsip-arsip pertanyaan yang pernah dilontarkannya saat kencan pertama kami.
"Baca, tapi belum selesai. Keburu pusing duluan," timpal saya singkat.
Lain waktu, saya sempat curcol tentang betapa-melelahkannya-hidup-saya. Dia mendengarkan dan memberi respon dengan berbagai ocehan yang kini tak saya ingat betul, tetapi ada satu hal yang tak pernah saya lupa: ia menyebut-nyebut nama Immanuel Kant dibarengi sejumput quotes.
Baca Juga: Buku dan Televisi, Dua Tembok Pembatas Antara Saya dan Ibu
Kalau momen itu diingat-ingat kembali, saya tak bisa menahan rasa mual bercampur geli dan ingin tertawa. Kencan pertama itu sudah lama berlalu. Waktu itu darah kami masih menggelegak. Kami begitu mudahnya terbakar api idealisme sekaligus tak sadar jadi kaum snobis yang-merasa-paling-tercerahkan-di-tengah-dunia-serba-tak-waras-ini.
Saya juga ingat, bagaimana saya dan sesama kawan perempuan pernah ngerumpi tentang beberapa lelaki yang berotak 'seksi' di lingkungan kampus meski mereka tak setampan Nicholas Saputra. Mulai dari sesama mahasiswa, dosen muda, sampai yang senior-senior.
Kadang-kadang, saya mengamini apa yang dikatakan ibu dosen itu. Saya akui, sampai sekarang saya senang melihat laki-laki yang otaknya 'berisi'. Tentu saja bukan yang sekadar ngutap-ngutip quotes filsuf dan asal menyebut judul-judul buku, tetapi mereka yang mau mengolah kembali pemikiran-pemikiran yang dilahapnya, tidak bias dalam berpikir, dan--ini yang paling sulit--tetap rendah hati!