Mohon tunggu...
Rizka Khaerunnisa
Rizka Khaerunnisa Mohon Tunggu... Jurnalis - Jurnalis

Mengumpulkan ingatan dan pikiran.

Selanjutnya

Tutup

Film Artikel Utama

Semesta Kota Winden, yang Kita Tahu Hanyalah Setetes

2 Juli 2020   05:58 Diperbarui: 2 Juli 2020   16:46 4754
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Silsilah keempat keluarga di Winden, di tengahnya merupakan simbol "infinity" | sumber: IMDB/Netflix

[Mon maap ni, yang ngak suka spoiler lebih baik sekip dulu aja~]

***

"Jika dunia akan berakhir hari ini dan kalian hanya punya satu keinginan, apa yang kalian inginkan?" tanya Regina kepada teman-temannya di meja makan sesaat setelah Hannah menceritakan deja vu yang sedang dialaminya --lampu yang tiba-tiba mati, bunyi petir, dan dunia pun kiamat.

"Dunia tanpa Winden," ujar Katharina --penonton pun jadi ikutan deja vu, kata yang sama persis pernah diucapkan Katharina muda di bagian dunia "yang lain". Mereka bersulang dan lampu pun menyala kembali. Rupanya dunia masih menginginkan keber-ada-an kota Winden.

Ending serial Dark saat Katharina, Peter, Bernadette, Regina, Torben Woller, & Hannah duduk bersama di meja makan di dunia asal | sumber: IMDB/Netflix
Ending serial Dark saat Katharina, Peter, Bernadette, Regina, Torben Woller, & Hannah duduk bersama di meja makan di dunia asal | sumber: IMDB/Netflix

Winden yang terpencil, selalu kelam, dan sering hujan memang seperti kutukan. Sejak tahun 1880-an, seolah-olah Winden cuma diisi orang yang itu-itu saja.

Keempat keluarga yang menjadi sorotan utama dalam cerita tak pernah selamanya meninggalkan Winden. Ada keluarga Kahnwald, Nielsen, Doppler, dan Tiedemann. Mereka semua lahir dan besar di sana, jatuh cinta sama orang situ, hingga akhirnya membangun keluarga dan menetap di Winden.

Keluarga Kahnwald, Doppler, Tiedemann, dan Nielsen | sumber: IMDB/Netflix
Keluarga Kahnwald, Doppler, Tiedemann, dan Nielsen | sumber: IMDB/Netflix

Musim ketiga ini --rilis 27 Juni lalu-- terutama dalam episode "The Paradise", menutup kerumitan kisah Dark dengan sangat epik. Sebelum musim ketiga rilis, saya sempat bertanya-tanya, mampukah segala keruwetan yang terjadi di antara empat keluarga itu betulan rampung dan membuat penonton setidaknya menghela nafas sambil bergumam, "Oke, ini bener-bener mind blowing"?

Apakah serial Dark berakhir dengan memunculkan paradoks dalam bentuknya yang lain atau justru menampilkan ending yang selesai dan tertutup?

Semua keruwetan itu berawal dari Mikkel Nielsen yang hilang tanpa jejak di tahun 2019. Sebelum Mikkel, sebetulnya sudah ada beberapa anak yang hilang. Saat peristiwa itu, usia Mikkel kira-kira belasan tahun, lebih muda dari Jonas Kahnwald, tokoh utama dalam serial Dark.

Mikkel rupanya tersesat dan terlempar ke tahun 1980-an. Di tahun itu, ia berganti nama jadi Michael, diasuh sama Ines Kahnwald, terus nikah sama Hannah dan menghasilkan anak bernama Jonas. Nah, loh. Yang baca ini tapi belum nonton jadi makin bingung.

Jonas ngga percaya sama realita itu. Jika demikian, berarti kekasihnya, Martha Nielsen --kakak Mikkel-- adalah bibinya sendiri!

Pusing ngga lau. Bayangin, lau lagi bucin-bucinnya tetiba harus menelan realita pahit kalau si doski rupanya bibi/paman lau sendiri. Wkwk.

Meski akhirnya saya harus nonton dua kali buat memahami satu per satu kronologi cerita, musim ketiga ini cukup apik.

Musim terakhir ini sangat kompleks dan padat, namun tak kehilangan kekhasan Dark yang telah terpatrikan di musim sebelumnya --plot-twist demi plot-twist, latar yang selalu suram, pusingnya merunut lintas generasi, hingga alur waktu yang loncat-loncat antara masa sekarang, masa lalu, dan masa depan.

Sebelum musim ketiga rilis, saya menjumpai banyak "teori" yang dibikin oleh penonton. Mungkin sebagian orang ndak nrimo kalau versi tua dari Jonas adalah Adam yang berwajah cacat dan punya sikap serba dingin. Tetapi di musim terakhir ini, realita bahwa Adam merupakan masa depan Jonas mau ngga mau tak terelakkan.

Ini setidaknya menunjukkan, seandainya ada manusia yang bener-bener bisa menjelajah waktu, udah gitu silsilah keluarga dan segala tindakannya di masa lalu dan masa depan jadi serba paradoks sehingga ia meragukan eksistensinya di semesta ini, manusia mana coba yang nggak hampir gila?

Jonas pasti lelah dan frustasi banget. Makanya, Jonas yang semula cenderung "normal" bisa saja berubah seratus delapan puluh derajat di masa depan.

Jonas versi muda, dewasa, dan tua (diperankan oleh Louis Hofmann, Andreas Pietschmann, dan Dietrich Hollinderbaumer) | sumber: tvguide.com / Netflix
Jonas versi muda, dewasa, dan tua (diperankan oleh Louis Hofmann, Andreas Pietschmann, dan Dietrich Hollinderbaumer) | sumber: tvguide.com / Netflix

Yang bikin herman, eh heran, hanya Jonas yang tingkat kemiripan di masa tuanya berubah drastis --cuma aktor Jonas dewasa yang punya kemiripan. Nyaris semua tokoh yang mengisi Dark punya versi remaja, dewasa, dan tuanya masing-masing.

Tokoh di dalam Dark cukup banyak, btw. Kebayang rumitnya pembuat serial --Baran bo Odar dan Jantje Friese-- dan para kru memilih aktor yang tepat selain, tentu saja, punya kemiripan wajah.

Serial Dark memang dipenuhi bumbu sains. Mulai dari lubang cacing (warmhole) yang terbuka setiap 33 tahun di dalam gua Winden, partikel tuhan yang bisa menstabilkan lubang cacing dan memungkinkan adanya penjelajahan waktu, hingga keber-ada-an semesta "lain". Dalam teori fisika, kemungkinan itu ada. Tapi dalam kenyataan, belum ada pembuktian.

Yang saya suka dari Dark, dia bukan sekadar fiksi yang dibumbui sains. Beriringan dengan itu, Dark juga merepresentasikan filosofi hidup manusia yang serba rumit.

Tentang pertanyaan-pertanyaan; bagaimana setiap tindakan yang dipilih manusia bisa berdampak kepada eksistensi lain, bisakah manusia memperbaiki takdirnya dan berbuat curang pada waktu, apa itu takdir dan kehendak bebas, apa itu hidup dan kematian, apakah ada kehidupan setelah kematian, dan seterusnya, dan seterusnya.

Adam-Eva dan Jebakan Dualisme

Sejak di musim kedua, kita diperkenalkan dengan tokoh Adam. Dan ngga tau kenapa, tangan kanannya Adam bernama Noah --alias Hanno Tauber. Semula saya menaruh rasa curiga, jangan-jangan Dark mengadopsi kisah kuno dalam agama-agama Abrahamik?

Setelah trailer musim ketiga rilis, sedikit ketahuan spoiler-nya. Ada adegan yang menampilkan lukisan sepasang laki-laki dan perempuan berukuran besar, tergantung di tengah luasnya ruangan. Benar saja, lukisan tersebut adalah simbol dari Adam dan Eve/Hawa ('Eva' di dalam serial).

Eva merupakan jawaban atas kebingungan penonton di akhir musim kedua, mengapa muncul Martha "lain" sesaat setelah Martha-nya Jonas tertembak mati? "Pertanyaannya bukan dari masa mana, tapi dari dunia mana," ujar Martha "lain" kepada Jonas yang saat itu takut dan kebingungan. Ya, Eva adalah versi tua dari Martha.

Martha versi dewasa, muda, dan tua (diperankan oleh Nina Kronjager, Lisa Vicari, dan Barbara Nusse) sumber: IMDB/Netflix
Martha versi dewasa, muda, dan tua (diperankan oleh Nina Kronjager, Lisa Vicari, dan Barbara Nusse) sumber: IMDB/Netflix

Saya rasa, sejak di musim pertama dan kedua, penonton seolah-olah digiring untuk percaya bahwa hanya ada realitas tunggal. Kita dibuat percaya bahwa dunianya Jonas merupakan realitas itu sendiri. 

Sama seperti kita mempercayai realitas dalam hidup kita saat ini --apa yang kita lihat, yang kita sentuh, yang kita cium, yang kita rasakan. Padahal sejak awal sudah muncul simbol tersirat, poster serial dan intro dalam Dark visualnya selalu mirroring.

Dunia Eva adalah kebalikan dari dunianya Adam. Istilahnya parallel universe. Mirip tapi tak sama. Sama tapi tak mirip. Para tokoh dari dunia Adam hanya berganti peran dan tempat tinggal di dunia Eva. Namun semua peristiwa dan benda-benda di kedua dunia masih sama, Winden masih yang itu-itu saja.

Misalnya, rumah Kahnwald berubah jadi tempat tinggalnya keluarga Nielsen. Kemudian, Martha jadi "tokoh utama" yang selalu mengenakan jaket kuning.

Yang benar-benar berbeda, eksistensi Jonas/Adam malah tak ada di dunia Eva. Kata Eva kepada Jonas muda, "Dunia tanpamu. Bukankah itu yang kamu inginkan?" Maka yang terjadi di sana, Mikkel tidak pernah menghilang dan tidak menikah dengan Hannah. Tapi sayangnya, Martha pacaran dengan laki-laki lain yang eksistensinya tak dikenali Jonas di dunia asalnya.

Baik Adam maupun Eva, keduanya sama-sama ingin menyelamatkan orang terkasih di dunianya masing-masing. Tapi jalan yang mereka tempuh berbeda.

Adam ingin agar simpul tak terbatas yang mengikat kedua dunia bisa terputus. Ia ingin agar kedua dunia benar-benar lenyap sehingga kutukan siklus dan penderitaan manusia bisa berakhir. Adam percaya, sumbernya berasal dari buah hubungan dan persetubuhan antara dirinya dengan Martha.

Tetapi Eva enggan mengambil jalan itu. Ia ingin agar siklus kehidupan --meski dengan penderitaan-- tetap lestari dan berjalan sebagaimana mestinya.

Saya jadi berpikir ke sini, dalam konteks Dark seolah-olah Adam merupakan representasi maskulinitas yang "perusak" tapi logis, sementara Eva merepresentasikan feminitas yang "penjaga" tapi tak logis. 

Kedua belah pihak tak ada yang seutuhnya jahat dan seutuhnya baik. Semua tokoh saling berbohong satu sama lain, tetapi juga menyampaikan kebenaran.

Mula-mula kita dibuat percaya bahwa realitas itu tunggal. Selanjutnya, kita dibuat percaya terhadap realitas yang dualistis, antara dunia Adam dan Eva. Mirip seperti kita terbiasa mempercayai dualisme di dunia kita ini --hitam-putih, baik-jahat, surga-neraka, dan seterusnya.

Tetapi.. Kata Claudia Tiedemann kepada Adam, "Pemikiran kita dibentuk oleh dualitas. Hitam-putih. Terang dan bayangan. Duniamu dan dunia Eva. Namun itu keliru. Tidak ada yang lengkap tanpa dimensi ketiga."

Hmm, sejak musim pertama kita diperkenalkan dengan simbol Sic Mundus yang mengambil bentuk triqueta. Bahkan Adam, pemimpin Sic Mundus, tak menyadari kemungkinan itu? (Ya, mungkin aja ini akal-akalan pembuat Dark biar ngga ngebosenin!).

Sejatinya, Claudia bertindak sebagai "penengah" di antara persaingan Adam dan Eva. Ia merupakan orang yang tak berpihak pada siapa pun dan mengambil jarak di luar kedua realitas sebagai pengamat. "Kebenaran" itu rupanya datang dari "yang ketiga".

Manusia, Si Pengelana dalam Siklus Tak Berujung

Dalam agama Abrahamik dikisahkan bahwa Adam dan Eva hidup berdampingan dalam realitas yang sama di atas bumi. Sementara dalam semesta kota Winden, kehidupan Adam dan Eva tidak pernah benar-benar bersama, keduanya terpisah oleh sekat dimensi.

Jika Adam dan Eva dalam kisah agama Abrahamik menghasilkan banyak keturunan, generasi demi generasi yang berjalan dalam waktu linier, Dark malah mengubahnya menjadi "tak terbatas" atau infinity. Ini gara-gara dimensi mereka berbeda dan punya keturunan dari dua dimensi merupakan "sesuatu yang salah".

Silsilah keempat keluarga di Winden, di tengahnya merupakan simbol
Silsilah keempat keluarga di Winden, di tengahnya merupakan simbol "infinity" | sumber: IMDB/Netflix

Di dalam musim ketiga, muncul tiga tokoh yang ke mana-mana selalu bersama. Pakaian mereka sama, bibir mereka juga sama-sama sumbing. Sebetulnya mereka adalah satu eksistensi, mereka adalah anak dari Adam dan Eva dalam versi muda, dewasa, dan tua. Dia (atau mereka) tak punya nama, The Unknown.

The Unknown | sumber: Netflix
The Unknown | sumber: Netflix

Hubungan antara Jonas/Adam dan Martha/Eva merupakan simbol yang "tak terbatas". Empat keluarga di Winden melakukan perjalanan dan loncatan waktu, berhubungan dan terikat satu sama lain, serta membentuk simpul eksistensi mereka sendiri.

Gara-gara penjelajahan waktu, kehidupan empat keluarga ini --yang sebetulnya satu keluarga-- menghasilkan paradoks yang terus berputar tiada ujung. Paradoks itu misalnya seperti yang sudah disebutkan di awal antara hubungan Jonas, Mikkel/Michael, dan Martha atau keluarga Nielsen.

Setelah rampung menonton serial Dark, saya jadi punya kesan kalau para tokoh di dalam serial ini punya kesamaan motivasi, yaitu berusaha memperbaiki masa lalu. Dengan bahasa lain, pada dasarnya manusia mudah terjebak di masa lalu dan gagal move on. :(

Kita kira, dengan keyakinan terhadap kehendak bebas kita bisa mengubah masa lalu. Ini jadi perenungan filsafat manusia sepanjang masa; adakah yang namanya kehendak bebas? Atau setiap jalan yang kita kira dipilih dengan kehendak bebas justru merupakan takdir itu sendiri?

Claudia Tiedemann misalnya, ia mengetahui kapan Egon Tiedemann, ayahnya, meninggal dunia. Ia berusaha mencegah kematian Egon atau paling tidak, seandainya Egon benar-benar meninggal, Claudia ada di sana untuk menemaninya. Tetapi rupanya tindakan Claudia sendiri yang menyebabkan Egon meninggal.

Apa yang dialami Claudia itu menunjukkan secuil representasi tentang takdir yang tak bisa diubah, seberapa kerasnya manusia berusaha. Dalam Dark, kehendak bebas seolah-olah hanyalah ilusi, deja vu toh terjadi terus-menerus.

Di sisi lain, rupanya kehendak bebas masih berpihak pada kehidupan. Apa yang membuat Adam, Eva, Jonas, Martha, dan Claudia berhasil memutus simpul kalau bukan kehendak bebas?

Akhirnya mereka tahu cara memutus rantai siklus. Mereka mencari celah di antara waktu, saat waktu berhenti sepersekian detik di dalam apocalypse untuk mengubah segalanya.

Di saat siklus terjadi lagi, Jonas membawa Martha ke dunia asal --the origin atau dimensi ketiga yang disebut Claudia-- di tahun 1986 untuk mencegah kematian putra, menantu, dan cucu H.G. Tannhaus, sehingga Tannhaus tak pernah menciptakan mesin waktu yang dapat memicu eksistensi dunia Adam dan Eva.

Kata Martha ketika mereka berhasil mencegah kematian putra Tannhaus, "Menurutmu ada bagian kita yang tetap ada? Atau apakah itu sesungguhnya kita sebuah mimpi? Kita tidak pernah benar-benar ada."

"Aku tidak tahu," jawab Jonas. Tak lama, eksistensi keduanya pun menghilang tanpa bekas jasad.

Saya jadi teringat apa yang dikatakan Eva pada Jonas muda, "Manusia menjalani tiga kehidupan. Kehidupan pertama berakhir dengan hilangnya kenaifan. Kedua dengan hilangnya kepolosan. Dan ketiga dengan hilangnya kehidupan itu sendiri."

Momen menghilangnya eksistensi kedua dunia itu mengingatkan saya pada ide dari filsafat Timur, tentang kesadaran tertinggi manusia saat segala kemelekatan duniawi telah dilepaskan. Ini penafsiran saya aja sih ya...

Mereka telah menjalani siklus berkali-kali, terlahir kembali dan terlahir kembali. Kedua dunia sangat terikat pada sifat-sifat keduniawian, yaitu keinginan untuk memiliki satu sama lain, diikuti dengan rasa sakit, duka, luka, kehilangan, dan penderitaan di sepanjang hidupnya.

Momen lenyapnya eksistensi kedua dunia seperti menandakan bahwa mereka telah merdeka dan bebas dari ikatan duniawi menuju ke kesempurnaan dan kesadaran Atman(?). 

Mereka telah menjalani "tiga fase kehidupan" seperti yang dikatakan Eva. "Hilangnya kehidupan itu sendiri" berarti lenyapnya eksistensi menuju tak terbatas yang "damai dan tenang".

Mungkin itu kenapa episode terakhir diberi judul "The Paradise", nirwana yang sesungguhnya terletak di kedalaman diri sendiri.

Kota Winden seperti perwujudan mikrokosmos. Bayangkan jika keturunan infinity dari Adam-Eve itu dalam versi dunia kita, barangkali selama ini kita tak menyadari bahwa di belahan bumi lain siapa tahu si A merupakan "saudara" kita yang terhubung oleh kerumitan silsilah umat manusia.

Pusing nga? Yawda sekip ajha, wkwk.

Tapi saya masih menyimpan pertanyaan lagi. Kesan kita, Dark seolah-olah mengambil ending yang tertutup. Seolah-olah dengan hilangnya eksistensi kedua dunia dan melihat realitas "baru" di dunia asal, semua itu beres, selesai, the end.

Coba pikirkan lagi tentang ini. Ketika Jonas dan Martha tiba di dunia asal (the origin), tepat sebelum H.G. Tannhaus menciptakan mesin waktu di tahun 1986, bukankah itu menandakan bahwa dunia asal juga mengalami perputaran waktu (time-loop)?

Kalau tidak pernah ada time-loop, lantas bagaimana mungkin realitas "yang lain" dan lubang cacing di kedua dunia terbentuk jika bukan dari peristiwa kegagalan Tannhaus menciptakan mesin waktu?

Paradoks, ya? Hehe.

Saya ingin mengakhiri review ngalor-ngidul ini dengan kembali ke potongan adegan yang saya ceritakan di awal (biar kayak konsep time-loop: awal adalah akhir, akhir adalah awal, wkwk). Ketika Hannah duduk termangu dan merasakan deja vu. Itulah gambaran tentang dunia asal (the origin) dalam episode terakhir.

Selain ada Regina dan Hannah, di meja makan itu ada Torben Woller sebagai suaminya Hannah (bukan Mikkel maupun Ulrich, siapa sangka?), lalu ada Katharina, Peter, dan Bernadette alias Benni. Mereka semua berteman, ndak bermusuhan seperti yang terjadi di dunia Adam dan Eva.

Mereka merupakan bagian dari the origin yang eksistensinya tak ikutan hilang jika dunia Adam dan Eva tak pernah "ada". Surprisingly, di dunia asal ini Hannah sedang mengandung Jonas!

Lagi-lagi, dengan gemas, saya ingin bilang kalau Winden benar-benar seperti "kutukan" dalam ruang mikrokosmos. Rasa-rasanya kita "tahu" tentang Winden. Rasa-rasanya kita "tahu" tentang realitas dan dunia yang kita pijak sekarang. Tetapi, seperti kata H.G. Tannhaus dan Jonas di episode terakhir,

"Yang kita tahu hanyalah setetes. Yang tidak kita ketahui seluas lautan."

Tik... tok... tik... tok... tik... tok...

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Film Selengkapnya
Lihat Film Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun