Mohon tunggu...
Rizki Basuki
Rizki Basuki Mohon Tunggu... -

Undergraduate Student

Selanjutnya

Tutup

Gaya Hidup

Media Sosial dan Kemampuan Self-control

22 Mei 2017   11:58 Diperbarui: 22 Mei 2017   12:12 1453
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kemudian, mereka mulai merasa perlu membagikan apa saja yang mereka ketahui dan memamerkan apa yang mereka miliki. Mereka mulai membuat trend baru, gaya baru, selera baru dan lain lain. Mereka tidak lagi menulis tentang suatu produk. Tetapi, mereka lebih cenderung membagikan segala hal yang bagus untuk dilihat kepada teman-temannya. Semua hal ini mendorong mereka untuk membuat budaya mereka sendiri.

Perasaan ini berkembang sehingga mereka merasa perlu memiliki barang, pelayanan, ataupun berkunjung ke tempat rekreasi yang direkomendasikan teman-temannya. Hal ini bertujuan agar mereka dianggap seseorang yang paling menonjol, stand out, dan tidak dianggap menjadi seseorang yang biasa-biasa saja. Karena hal ini semua, masing-masing dari mereka lebih memilih barang-barang yang dianggap “wah”, unik, dan tidak pasaran. Maka dari itu, kebutuhan mereka untuk mendapatkan itu semua akan lebih terpuaskan ketika mereka berbelanja. Inilah peran media sosial, yang dapat membuat penggunanya bersikap lebih hedonis daripada sebelumnya.

Sikap hedonis ini dinilai memberikan beragam dampak negatif. Salah satunya adalah penyelewengan harta yang dititipkan pada individu tersebut. Sebagai contoh, Zulkifli (2016: 82) memberikan fakta bahwa 8 dari 14 mahasiswa yang diklasifikasikan bersifat hedonis menggunakan uang beasiswa yang diterimanya untuk memuaskan hasrat mereka, seperti makan-makan di restoran, berbelanja di mall, menonton di bioskop dan lain lain.

Vandalisme dan hedonisme di masyarakat merupakan bukti gamblang bahwa media sosial membawa perubahan yang fundamental terhadap bagaimana orang-orang berinteraksi satu dan lainnya. Orang-orang bersikap tidak acuh terhadap barang yang dimiliki orang lain, tidak menaati aturan, dan bersikap hedonis. Masalah-masalah ini dikhawatirkan hanya awal dari masalah yang lebih besar yang akan dihadapi generasi abad 21.

Alternatif solusi untuk menjawab masalah-masalah ini adalah  pengendalian diri. Self-control, atau ‘pengendalian diri’ secara sederhana dapat dipahami sebagai sebuah kemampuan seseorang untuk mengendalikan emosi, pikiran, dan tingkah laku dalam menghadapi godaan atau impuls. Self-control merupakan kemampuan yang perlu dimiliki untuk menghadapi abad 21. Self-control dapat menahan kesenangan sementara agar individu tidak mudah untuk mendapatkan kepuasan sementara.

Penelitian menarik yang berkaitan dengan self-control ini pernah dilakukan di Universitas Stanford, Amerika Serikat sekitar tahun 1960an. Penelitian ini dapat membantu memahami bagaimana mekanisme self-control ini bekerja. Penelitian yang memakan waktu bertahun-tahun ini pun memberikan bukti kuat bahwa self-control dapat memberikan kebahagiaan individu dalam jangka panjang.

Dalam penelitian yang dilakukan oleh Walter Mischel tersebut, beberapa anak berusia empat tahun ditempatkan di sebuah ruangan dan diberikan marshmallow. Lalu, mereka diberikan aturan bahwa mereka boleh memakan marshmallow tersebut kapan saja. Tetapi, jika mereka tidak memakannya lebih dari 15 menit, maka mereka akan mendapatkan marshmallow tambahan. Kemudian orang yang memberikan marshmallow tersebut meninggalkan sang anak di ruangan tersebut dan kembali setelah 15 menit.


Video simulasi penelitian ini dapat ditemukan dengan mudah di internet. Banyak tingkah lucu yang dilakukan oleh anak-anak tersebut ketika ditinggalkan. Dalam video, beberapa anak menyentuh marshmallow saja sembari tatapannya terfokus pada marshmallow tersebut. Beberapa anak berusaha mencoba mengendalikan dirinya, yaitu dengan mengalihkan perhatian dari marshmallow dengan melakukan hal-hal lain. Beberapa anak akhirnya menyerah dan memakan marshmallow tersebut sebelum 15 menit. Beberapa anak bahkan langsung melahap marshmallow tanpa mendengarkan instruksi yang diberikan. Tetapi, ada juga yang berhasil mengendalikan dirinya untuk tidak memakan marshmallow tersebut sehingga ia mendapatkan marshmallow tambahan.

Setelah 30-40 tahun kemudian, Mischel kembali meneliti keadaan mereka. Termasuk di antaranya bagaimana aspek hubungan mereka, nilai akademik, stress, obat-obatan dan lain lain. Hasil penelitian yang dilakukan Mischel ini menunjukkan hasil yang fenomenal. Anak-anak yang berhasil mengendalikan diri mereka sehingga mendapatkan marshmallow tambahan tersebut memiliki nilai akademik yang lebih tinggi dan indeks berat badan (BMI – Body Mass Index) yang rendah di 30 tahun pertamanya. Sedangkan anak-anak yang gagal mengendalikan dirinya cenderung memiliki masalah dalam hubungan, stress dan obat-obatan.

Orang yang memiliki pengendalian diri yang baik sama halnya seperti anak empat tahun yang dapat bertahan untuk tidak memakan marshmallow terebut. Sangat mungkin anak-anak tersebut sangat tergoda dengan marshmallow yang empuk, manis dan digemari oleh mereka. Akan tetapi, mereka lebih memilih untuk bertahan, mengendalikan dirinya dari memakan marshmallow tersebut sebelum 15 menit. Ternyata, kemampuan pengendalian diri mereka itu dapat mengantarkan mereka mendapatkan kualitas hidup yang lebih baik puluhan tahun yang datang.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Gaya Hidup Selengkapnya
Lihat Gaya Hidup Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun