Mohon tunggu...
Rizki Basuki
Rizki Basuki Mohon Tunggu... -

Undergraduate Student

Selanjutnya

Tutup

Gaya Hidup

Media Sosial dan Kemampuan Self-control

22 Mei 2017   11:58 Diperbarui: 22 Mei 2017   12:12 1453
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Marshmallow (via http://www.lifelinerepairs.com/wp-content/uploads/2015/08/android_marshmallow.jpg)

Oleh Rizki Basuki

Masih ingat bunga-bunga amarylis yang sempat viral di Yogyakarta di akhir tahun 2015? Bunga-bunga yang dapat mekar setahun sekali tersebut sempat menjadi viral karena kebetulan mekar di waktu yang bersamaan. Taman bunga amarylis dalam sekejap berubah mirip seperti taman bunga Keukenhof di Belanda.

Pengunjung pun banyak berdatangan ke taman seluas 2.350 meter persegi tersebut. Menurut Sukadi, dinukil dari liputan6.com, setiap harinya sekitar 700 orang datang untuk berkunjung. Para pengunjung menikmati keindahan taman bunga yang dimiliki Sukadi tersebut, ataupun sekedar berswafoto.

Tetapi, apa yang terjadi beberapa hari setelahnya? Bunga-bunga amarylis yang termasuk dalam suku Amaryllidaceae tersebut banyak yang rusak. Dari foto-foto yang beredar di dunia maya, tersangka utama pengrusakan taman tersebut tidak lain adalah pengunjung itu sendiri. Foto-foto yang beredar secara gamblang memperlihatkan bagaimana pengunjung merusak taman bunga tersebut. Beberapa pengunjung menginjak-injak bunga untuk berfotoria, duduk-duduk tepat di atas bunga, bahkan sampai berbaring di hamparan bunga tersebut.

Tindakan pengrusakan di atas jelas adalah vandalisme yang merupakan salah satu bentuk dari sikap antisosial. Pengunjung yang menginjak-injak, bahkan berbaring di hamparan bunga tersebut tidak peduli dengan orang yang merawat bunga yang ditanamnya tersebut. "Memprihatinkan, orang lebih peduli mendapat foto yang bagus daripada melihat alam yang bagus. Ingin ke sana hanya untuk pamer difoto bahwa pernah ke sana dan tidak menikmati keindahannya” ujar salah seorang netizen merespons perilaku para pengunjung sebagaimana disitat liputan6.com.

Dapat dilihat bahwa salah satu motivasi pengunjung adalah mendapatkan foto yang dapat dipamerkan di media sosialnya. Akun-akun di Instagram sempat menampilkan foto-foto orang-orang yang berswafoto di taman amarylis tersebut. Memang memamerkan foto mereka di media sosial bukanlah sesuatu yang dilarang karena hal terebut merupakan bentuk ekspresi yang dilindungi Undang-Undang. Tetapi, kesalahan utama pengunjung yang dapat diidentifikasi dari fenomena di atas adalah cara mereka untuk mendapatkan foto.

Mereka mencari tempat-tempat foto di sekitar taman bunga yang secara sadar atau tidak sembari merusak tanaman tersebut. Yang penting mendapatkan foto, mereka merusak bunga-bunga dengan berbaring, duduk-duduk, atau menginjak-injaknya. Mereka nampak tidak peduli dengan kerusakan bunga-bunga tersebut. Hal ini sama saja pengunjung tidak peduli dengan orang yang menanam dan merawat bunga-bunga tersebut. Hal ini mengundang pertanyaan: apakah orang-orang lebih peduli terhadap apa yang ia dapat bagikan di media sosialnya ketimbang peduli terhadap orang lain di sekitarnya, yakni dengan bersikap antisosial?

Tingkah laku antisosial atau Anti Social Behavior (ASB) memiliki makna yang tidak sederhana. Namun, dalam esai ini, pengertian sikap antisosial yang digunakan adalah sebagaimana yang dinyatakan oleh Waluya (2009: 102), yaitu sikap yang mengarah pada penentangan aturan-aturan atau norma-norma yang berlaku di masyarakat. Beberapa aspek yang bisa dikategorikan sikap antisosial adalah tindakan/perilaku yang tidak diterima di masyarakat, baik itu rasa tidak menyukai keteraturan sosial, ketidakpedulian sosial, maupun ketidakmampuan dan tindakan melawan norma yang ada di masyarakat. Ini berarti membuang sampah sembarangan, vandalisme, suara bising motor, kasar dan gaduh, meminta-minta di jalan, dan hedonisme merupakan bentuk dan contoh individu yang terjangkiti sifat antisosial.

Salah satu bentuk sikap antisosial adalah vandalisme. Vandalisme, menurut kamus Oxford, adalah “action involving deliberate destruction of or damage to public or private property" atau tindakan pengrusakan yang disengaja terhadap properti umum atau yang dimiliki orang lain. Dengan demikian, apa yang dilakukan pengunjung yang merusak bunga-bunga tersebut di atas dapat diklasifikasikan sebagai sikap antisosial. Sikap mereka di atas jelas didorong oleh keinginan mereka untuk mendapatkan foto dan membagikannya di media sosialnya. “Gue foto di sini masalah? Bodo amat, suka-suka gue dong. Ngurus hidup sendiri belum tentu bisa, sok-sokan ngurus bunga yang layu di kebun,” ujar salah satu pengunggah foto di media sosial sebagaimana disitat solopos.com

Selain vandalisme, bentuk lain dari sikap antisosial adalah hedonisme. Nalewajek (2013) berargumen bahwa sikap hedonisme, khususnya pada konsumen, ditandai dengan sifat yang ingin memuaskan diri mereka setinggi-tingginya dengan produk yang dibeli. Selain rasa puas terhadap produk, sikap hedonis juga mencakup rasa puas terhadap proses pembelian produk itu sendiri (misalnya lama waktu berbelanja, mencoba-coba produk, mengetes, mencari dan lain lain).

Nalewajek (2013) dapat mengaitkan penggunaan media sosial terhadap sikap hedonis individu. Orang-orang semakin hari semakin aktif untuk berbagi segala sesuatu tentang hidupnya di media sosial, seperti foto, video, dan lain lain. Orang-orang semakin betah berselancar di media sosial karena konten yang mengisi umpannya semakin menarik. Konten yang mereka buat sendiri mereka bagikan dalam rangka mengekspresikan kepribadian dan diri mereka. Selain berbagi konten yang mereka buat, mereka juga berbagi konten yang mereka sukai yang mereka temukan pada orang lain.

Kemudian, mereka mulai merasa perlu membagikan apa saja yang mereka ketahui dan memamerkan apa yang mereka miliki. Mereka mulai membuat trend baru, gaya baru, selera baru dan lain lain. Mereka tidak lagi menulis tentang suatu produk. Tetapi, mereka lebih cenderung membagikan segala hal yang bagus untuk dilihat kepada teman-temannya. Semua hal ini mendorong mereka untuk membuat budaya mereka sendiri.

Perasaan ini berkembang sehingga mereka merasa perlu memiliki barang, pelayanan, ataupun berkunjung ke tempat rekreasi yang direkomendasikan teman-temannya. Hal ini bertujuan agar mereka dianggap seseorang yang paling menonjol, stand out, dan tidak dianggap menjadi seseorang yang biasa-biasa saja. Karena hal ini semua, masing-masing dari mereka lebih memilih barang-barang yang dianggap “wah”, unik, dan tidak pasaran. Maka dari itu, kebutuhan mereka untuk mendapatkan itu semua akan lebih terpuaskan ketika mereka berbelanja. Inilah peran media sosial, yang dapat membuat penggunanya bersikap lebih hedonis daripada sebelumnya.

Sikap hedonis ini dinilai memberikan beragam dampak negatif. Salah satunya adalah penyelewengan harta yang dititipkan pada individu tersebut. Sebagai contoh, Zulkifli (2016: 82) memberikan fakta bahwa 8 dari 14 mahasiswa yang diklasifikasikan bersifat hedonis menggunakan uang beasiswa yang diterimanya untuk memuaskan hasrat mereka, seperti makan-makan di restoran, berbelanja di mall, menonton di bioskop dan lain lain.

Vandalisme dan hedonisme di masyarakat merupakan bukti gamblang bahwa media sosial membawa perubahan yang fundamental terhadap bagaimana orang-orang berinteraksi satu dan lainnya. Orang-orang bersikap tidak acuh terhadap barang yang dimiliki orang lain, tidak menaati aturan, dan bersikap hedonis. Masalah-masalah ini dikhawatirkan hanya awal dari masalah yang lebih besar yang akan dihadapi generasi abad 21.

Alternatif solusi untuk menjawab masalah-masalah ini adalah  pengendalian diri. Self-control, atau ‘pengendalian diri’ secara sederhana dapat dipahami sebagai sebuah kemampuan seseorang untuk mengendalikan emosi, pikiran, dan tingkah laku dalam menghadapi godaan atau impuls. Self-control merupakan kemampuan yang perlu dimiliki untuk menghadapi abad 21. Self-control dapat menahan kesenangan sementara agar individu tidak mudah untuk mendapatkan kepuasan sementara.

Penelitian menarik yang berkaitan dengan self-control ini pernah dilakukan di Universitas Stanford, Amerika Serikat sekitar tahun 1960an. Penelitian ini dapat membantu memahami bagaimana mekanisme self-control ini bekerja. Penelitian yang memakan waktu bertahun-tahun ini pun memberikan bukti kuat bahwa self-control dapat memberikan kebahagiaan individu dalam jangka panjang.

Dalam penelitian yang dilakukan oleh Walter Mischel tersebut, beberapa anak berusia empat tahun ditempatkan di sebuah ruangan dan diberikan marshmallow. Lalu, mereka diberikan aturan bahwa mereka boleh memakan marshmallow tersebut kapan saja. Tetapi, jika mereka tidak memakannya lebih dari 15 menit, maka mereka akan mendapatkan marshmallow tambahan. Kemudian orang yang memberikan marshmallow tersebut meninggalkan sang anak di ruangan tersebut dan kembali setelah 15 menit.


Video simulasi penelitian ini dapat ditemukan dengan mudah di internet. Banyak tingkah lucu yang dilakukan oleh anak-anak tersebut ketika ditinggalkan. Dalam video, beberapa anak menyentuh marshmallow saja sembari tatapannya terfokus pada marshmallow tersebut. Beberapa anak berusaha mencoba mengendalikan dirinya, yaitu dengan mengalihkan perhatian dari marshmallow dengan melakukan hal-hal lain. Beberapa anak akhirnya menyerah dan memakan marshmallow tersebut sebelum 15 menit. Beberapa anak bahkan langsung melahap marshmallow tanpa mendengarkan instruksi yang diberikan. Tetapi, ada juga yang berhasil mengendalikan dirinya untuk tidak memakan marshmallow tersebut sehingga ia mendapatkan marshmallow tambahan.

Setelah 30-40 tahun kemudian, Mischel kembali meneliti keadaan mereka. Termasuk di antaranya bagaimana aspek hubungan mereka, nilai akademik, stress, obat-obatan dan lain lain. Hasil penelitian yang dilakukan Mischel ini menunjukkan hasil yang fenomenal. Anak-anak yang berhasil mengendalikan diri mereka sehingga mendapatkan marshmallow tambahan tersebut memiliki nilai akademik yang lebih tinggi dan indeks berat badan (BMI – Body Mass Index) yang rendah di 30 tahun pertamanya. Sedangkan anak-anak yang gagal mengendalikan dirinya cenderung memiliki masalah dalam hubungan, stress dan obat-obatan.

Orang yang memiliki pengendalian diri yang baik sama halnya seperti anak empat tahun yang dapat bertahan untuk tidak memakan marshmallow terebut. Sangat mungkin anak-anak tersebut sangat tergoda dengan marshmallow yang empuk, manis dan digemari oleh mereka. Akan tetapi, mereka lebih memilih untuk bertahan, mengendalikan dirinya dari memakan marshmallow tersebut sebelum 15 menit. Ternyata, kemampuan pengendalian diri mereka itu dapat mengantarkan mereka mendapatkan kualitas hidup yang lebih baik puluhan tahun yang datang.

Sama halnya dengan seseorang yang memiliki pengendalian diri yang buruk. Mereka dapat diibaratkan anak-anak yang tidak dapat menahan dirinya untuk memakan marshmallow. Ketidakmampuan mereka mengendalikan diri mengantarkan mereka pada jurang stress, obat-obatan, memiliki nilai akademik yang lebih rendah, indeks massa tubuh yang lebih tinggi dibandingkan mereka yang berhasil mengendalikan diri.

Penelitian di atas analog dengan fenomena media sosial sekarang. Pengguna media sosial dapat diibaratkan sebagai anak empat tahun tersebut sedangkan media sosial sebagai marshmallow. “Marshmallow” tersebut dapat dimakan kapan saja dan di mana saja, sama seperti media sosial yang dapat digunakan kapan saja dan di mana saja.

Pengguna media sosial yang memiliki pengendalian diri yang baik akan hanya membuka media sosialnya jika memang ada yang penting. Mereka juga hanya membagikan konten bermanfaat secara proporsional. Mereka tidak akan berani melakukan vandalisme, merusak barang-barang bukan miliknya demi foto yang apik di akun media sosialnya. Pun, mereka tidak akan ikut terdorong menjadi individu yang hedonis akibat terlalu mudah iri lewat media sosialnya.

Banyak dampak positif yang didapatkan individu ketika dirinya memiliki kemampuan ini. Pengendalian diri yang baik terbukti mengurangi pengaruh media seperti penggunaan tembakau dan alkohol (Will, 2010).  Selain itu, self-control juga dapat meningkatkan produktivitas karena banyak waktu yang dapat digunakan untuk melakukan hal yang produktif.

Kasus Jennifer Aniston yang memutuskan hubungannya dengan John Mayer akibat kecanduannya terhadap media sosial Twitter pun bukti nyata jika saja dia dapat mengendalikan dirinya dari Twitter, hubungan yang dijalinnya sangat mungkin tidak retak. Bukan hanya masalah hubungan, pengendalian diri terhadap media sosial juga dapat memberikan kesempatan untuk lebih banyak belajar keterampilan, pengetahuan yang baru sehingga membuat individu lebih terampil dan cerdas.

Terdapat beberapa saran bagaimana individu dapat mengendalikan diri terhadap media sosial. Pertama, memahami dampak media sosial jangka panjang. Segala sesuatu yang berlebihan pasti tidak baik dan sebaiknya individu dapat menggunakan media sosial sewajarnya. Kedua, mencoba untuk menjaga diri dari membagikan segala hal. Orang-orang tidak selalu ingin tahu apa yang pengguna lainnya sukai, sedang berada, atau dilakukan. Ketiga, bertanya pada diri sendiri sebelum mengecek media sosial, apakah ada hal yang benar-benar penting untuk saya ketahui? Jika tidak, janganlah membuka lockscreen ponsel.

Pendek kata, vandalisme dan hedonisme merupakan salah satu bentuk sikap antisosial yang dapat dipicu penggunaan media sosial. Tetapi, tameng yang hebat untuk menangkal sikap antisosial dari media sosial adalah pengendalian diri. Pun pedang yang tajam yang dapat mengurangi pengaruh buruk media, meningkatkan produktivitas, kualitas hubungan, menjadi lebih terampil dan cerdas adalah pengendalian diri. Pengendalian diri terhadap media sosial merupakan kemampuan yang harus dimiliki generasi abad 21 untuk menjawab tantangan-tantangan di masa depan.

Daftar Pustaka

Kross E, Verduyn P et al. (2013). Facebook Use Predicts Declines in Subjective    Well-Being in Young Adults. PLoS ONE 8(8): e69841. https://doi.org/10.1371/journal.pone.0069841

Nalewajek, M. et al. 2013. The Impact Of Virtual Communities On Enhancing Hedonistic Consumer Attitudes. Polityki Europejskie, Finanse I Marketing 10 (59)

Waluya, Bagja. (2009). Sosiologi: Menyelami Fenomena Sosial di Masyarakat untuk Kelas X SMA/Madrasah Aliyah. Jakarta: Depdiknas

Wills, T. et al.  (2010). Good Self-Control Moderates the Effect of Mass Media on  Adolescent Tobacco and Alcohol Use: Tests With Studies of Children and          Adolescents. Health Psychology : Official Journal of the Division of Health Psychology, American Psychological Association, 29(5), 539–549. http://doi.org/10.1037/a0020818

Zulkifli, Al Ridho. (2016). Gaya Hidup Hedonisme di Kalangan Mahasiswa  Penerima Beasiswa Kaltim Cemerlang 2014 di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Mulawarman. eJournal Sosiatri-Sosiologi 4(1)

Boitnott, John. (2014). Social Media Addiction The Productivity Killer. Diambil dari https://www.inc.com/

H, Yanuar. (2015). 4 Fakta Taman Bunga Amarilis Gunungkidul. Diambil dari http://news.liputan6.com/

Hu, Elise. (2013). Facebook Makes Us Sadder And Less Satisfied, Study Finds. Diambil dari http://www.npr.org

Tanpa nama. (2009). Jennifer Aniston ended relationship with John Mayer because of his Twitter 'obsession'. Diambil dari http://www.telegraph.co.uk/

Ulul, Himawan. (2015). Taman Amaryllis Rusak Netizen vs Pasukan Tongsis Memanas. Diambil dari http://www.solopos.com/

Walker, Peter. (2016). Facebook Makes You Unhappy And Makes Jealous People  Particularly Sad, Study Finds. Diambil dari http://www.independent.co.uk

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Gaya Hidup Selengkapnya
Lihat Gaya Hidup Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun