Mohon tunggu...
Ryo Kusumo
Ryo Kusumo Mohon Tunggu... Penulis - Profil Saya

Menulis dan Membaca http://ryokusumo.com

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Ketika "Jokowi adalah Saya" Hanyalah Masa Lalu

31 Agustus 2024   10:02 Diperbarui: 31 Agustus 2024   10:02 201
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Saya adalah pendukung Jokowi, yes. 

Selama 9,5 tahun ini? No. Tapi selama 13 tahun sejak Jokowi jadi Walikota Solo dan Gubernur DKI Jakarta.

Silahkan anda lihat artikel-artikel saya, di sosial media, semua media daring milik saya semua total mendukung Jokowi. Termasuk artikel viral di Kompasiana yang membahas bisnis Gibran, anak Jokowi yang saya tulis secara satir.

Kurang loyal apa? Saya dianggap buzzer, buzzerp, buzzer nasi bungkus dan sebagainya. Tanpa dibayar. Silahkan cek rekening saya atau laporkan pengusutan jika memang anda tidak percaya. 

Saya bukanlah simpatisan Jokowi yang kaleng-kaleng. Sorry ye.

Tapi itu dulu. Sebelum Konoha diserang kerajaan Banjarsari.

Seorang terdidik haruslah adil sejak dalam pikiran, haruslah merdeka sejak dalam nurani.

Bagaimana tidak tergerak hatinya ketika melihat putusan MK untuk merubah batas minimum Capres Cawapres untuk memuluskan langkah Gibran menjadi Cawapres. Cawapres lho, bukan camat. 

Gibran adalah anak sulung Jokowi yang masih menjabat Presiden RI. Masih lho, bukan mantan. 

Mau ngapain sih? ngebet amat? Ada kasus apa sih Jokowi sehingga harus Gibran yang jadi wapres nya Prabowo? Takut amat. 

Gibran, tukang martabak yang awalnya saya anggap mewakili kami, pemuda yang tidak punya privilage, ternyata sama saja dengan anak penguasa lain. Haus.

Akh, artikel viral saya di Kompasiana menjadi sia-sia.

Bagaimana tidak tergerak hatinya, keputusan MK dibuat dengan cara yang tidak etis, bahkan terbukti cacat etik. Anwar Usman, ketua MK si pengetok palu adalah ipar Jokowi. Ada keberpihakan, cacat integritas, cacat kesetaraan dan kepantasan. 

Namun palu sudah diketok. Keputusan MK adalah mengikat. Anwar Usman terbuktik cacat, dia pun dicopot, tidak masalah karena skenarionya terlihat begitu. Jalan terus, jalur buntu diterabas.

Bagaimana tidak tergerak hatinya ketika melihat nyaris semua partai merapat ke episentrum kekuasaan. Hampir tidak ada ruang demokrasi.

Drama politik partai, dicopotnya ketum Golkar demi naiknya Bahlil Lahadalia yang dianggap lebih punya potensi untuk meloloskan keinginan penguasa, "dinaikkan" menggantikan Airlangga Hartanto. Dengan cara yang tidak etis, yang kita semua tahu ada tekanan kasus di dalam mantan ketum Golkar tersebut. 

Pohon Beringin ditebang tukang kayu. Begitulah ungkapan itu.

Demikianlah cara penguasa merantai tangan dan kaki para ketua partai, dan menarik rantai-rantai tersebut ke arah kursi kekuasaan. Rantai itu dikunci dengan kunci kasus hukum, kasus korupsi bahkan UU MD3.

Bahkan ketika gerakan itu sudah terbaca oleh rakyat, ketika rakyat sudah meludah dan memaki, masih juga ada usaha agar Kaesang Pangarep, anak bungsu Jokowi, bisa masuk di Pemerintahan, jadi Cawagub. Batas umur pula ingin diganti.

Onde mande.

Secara gamblang, secara ceto welo-welo, secara terang benderang drama-drama itu dipertontonkan di depan publik. Telanjang, tanpa malu.

Bahkan keputusan MK terbaru yang dianggap pro demokrasi dan sebagai titik balik dari keterpurukan MK, pun ingin dianulir oleh DPR yang isinya kaki tangan ketua partai yang tersandera tadi. Rakyat pun marah.

Demikian pun dengan saya. Slogan yang dulu selalu saya gaungkan: Jokowi adalah saya. Jokowi adalah kita kebanyakan, yang hadir dari masyarakat bawah dan hanya ingin membangun bangsa. Hanyalah masa lalu.

Semua ingin dimiliki, dikuasai.

Dari tukang kayu menjadi neo-orde baru. Begitulah ungkapan itu.

Sudahlah, jangan bertele-tele menjelaskan ke saya bahwa ini bukan skenario penguasa. Jangan coba pidato ke saya bahwa itu semua adalah ranah konstitusi yudikatif, ranah legislatif, ranah tif-tif lain dan para penguasa tidak terlibat. 

Ooooh, kami bukan anak kecil polos yang plonga-plongo. Ooooh kami bukanlah anak curut yang diam hanya dengan permen dimulut.

Seorang terdidik haruslah adil sejak dalam pikiran

Saya sangat bangga ketika Jokowi membangun infrastruktur, bahkan saya jelas membela bahwa utang-utang infrastruktur tersebut adalah utang produktif. Disaat buzzer pembenci Jokowi menyerang, disitu saya membela dengan terang.

Saya sangat bangga ketika tol laut diumumkan Jokowi, bahkan saya membuat analisa ekonomi kelautan di Kompasiana, jadi headline. Disaat buzzer pembenci Jokowi makan nasi bungkus, disitu saya memberangus.

Nyaris semua tulisan dan analisa saya menjadi headline saat itu. Ya, saya masih bangga. Indonesia akan jadi lebih baik. 

Namun tidak ketika anak raja maju calon, ketika demi anak raja harus merubah konstitusi. Ketika topeng demagog dibuka. Tidak, ketika demokrasi dihabisi.

Tidak. Ini sudah tidak benar. Ini ada yang salah. Untuk itu hanya ada satu kata: Lawan!

Qui totum vult totum perdit

(Dia yang menginginkan segalanya kehilangan segalanya)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun