Gibran, tukang martabak yang awalnya saya anggap mewakili kami, pemuda yang tidak punya privilage, ternyata sama saja dengan anak penguasa lain. Haus.
Akh, artikel viral saya di Kompasiana menjadi sia-sia.
Bagaimana tidak tergerak hatinya, keputusan MK dibuat dengan cara yang tidak etis, bahkan terbukti cacat etik. Anwar Usman, ketua MK si pengetok palu adalah ipar Jokowi. Ada keberpihakan, cacat integritas, cacat kesetaraan dan kepantasan.Â
Namun palu sudah diketok. Keputusan MK adalah mengikat. Anwar Usman terbuktik cacat, dia pun dicopot, tidak masalah karena skenarionya terlihat begitu. Jalan terus, jalur buntu diterabas.
Bagaimana tidak tergerak hatinya ketika melihat nyaris semua partai merapat ke episentrum kekuasaan. Hampir tidak ada ruang demokrasi.
Drama politik partai, dicopotnya ketum Golkar demi naiknya Bahlil Lahadalia yang dianggap lebih punya potensi untuk meloloskan keinginan penguasa, "dinaikkan" menggantikan Airlangga Hartanto. Dengan cara yang tidak etis, yang kita semua tahu ada tekanan kasus di dalam mantan ketum Golkar tersebut.Â
Pohon Beringin ditebang tukang kayu. Begitulah ungkapan itu.
Demikianlah cara penguasa merantai tangan dan kaki para ketua partai, dan menarik rantai-rantai tersebut ke arah kursi kekuasaan. Rantai itu dikunci dengan kunci kasus hukum, kasus korupsi bahkan UU MD3.
Bahkan ketika gerakan itu sudah terbaca oleh rakyat, ketika rakyat sudah meludah dan memaki, masih juga ada usaha agar Kaesang Pangarep, anak bungsu Jokowi, bisa masuk di Pemerintahan, jadi Cawagub. Batas umur pula ingin diganti.
Onde mande.
Secara gamblang, secara ceto welo-welo, secara terang benderang drama-drama itu dipertontonkan di depan publik. Telanjang, tanpa malu.