Bahkan keputusan MK terbaru yang dianggap pro demokrasi dan sebagai titik balik dari keterpurukan MK, pun ingin dianulir oleh DPR yang isinya kaki tangan ketua partai yang tersandera tadi. Rakyat pun marah.
Demikian pun dengan saya. Slogan yang dulu selalu saya gaungkan: Jokowi adalah saya. Jokowi adalah kita kebanyakan, yang hadir dari masyarakat bawah dan hanya ingin membangun bangsa. Hanyalah masa lalu.
Semua ingin dimiliki, dikuasai.
Dari tukang kayu menjadi neo-orde baru. Begitulah ungkapan itu.
Sudahlah, jangan bertele-tele menjelaskan ke saya bahwa ini bukan skenario penguasa. Jangan coba pidato ke saya bahwa itu semua adalah ranah konstitusi yudikatif, ranah legislatif, ranah tif-tif lain dan para penguasa tidak terlibat.Â
Ooooh, kami bukan anak kecil polos yang plonga-plongo. Ooooh kami bukanlah anak curut yang diam hanya dengan permen dimulut.
Seorang terdidik haruslah adil sejak dalam pikiran
Saya sangat bangga ketika Jokowi membangun infrastruktur, bahkan saya jelas membela bahwa utang-utang infrastruktur tersebut adalah utang produktif. Disaat buzzer pembenci Jokowi menyerang, disitu saya membela dengan terang.
Saya sangat bangga ketika tol laut diumumkan Jokowi, bahkan saya membuat analisa ekonomi kelautan di Kompasiana, jadi headline. Disaat buzzer pembenci Jokowi makan nasi bungkus, disitu saya memberangus.
Nyaris semua tulisan dan analisa saya menjadi headline saat itu. Ya, saya masih bangga. Indonesia akan jadi lebih baik.Â
Namun tidak ketika anak raja maju calon, ketika demi anak raja harus merubah konstitusi. Ketika topeng demagog dibuka. Tidak, ketika demokrasi dihabisi.