Tahun 2015 lalu, sore hari saya ditelepon oleh seorang kawan lama. Di awal perbincangan berlangsung akrab, maklum lama tak jumpa. Namun lambat laun kok mulai gak asik lagi. Berawal dari pertanyaan dia:
"Mas, sampeyan masih ngerjain proyek PLTU itu, ya?"
"Iya, ada apa, Masbro?"
"Tolong lah, jangan ngerjain proyek-proyek yang potensi ngerusak lingkungan, batubara itu ngerusak lingkungan."
"Batubara masih paling efisien Masbro, lagian di Kalimantan gini yang potensi kan ya batubara."
"Bikin biogas kek, biomassa kek, bukannya kamu dulu pernah buat energi terbarukan?"
"Iya, tapi ini Kalimantan, Bro. Mau bikin biogas, kotoran sapinya gak ada. Ada pun gak banyak. Mau bikin biomassa, tebunya dari mana? Jawa? Lagipula energi yang bisa di atas 50 megawatt ya batubara atau pembangkit air. Kalo air, di Kalimantan Utara (Kayan) baru kita nemu sungai yang energinya bisa buat muter turbine."
"Ah, alesan aja sampeyan nih, Masbro! Pokoknya itu ngerusak lingkungan!"
"Lho, kok sampeyan ngeyel mas? Solusi sampeyan apa kira-kira? Atau sampeyan mau bantu saya untuk mendesain prosedur perbaikan lingkungan di sekitar Pembangkit Listriknya?"
Tutt..tutt..tuttt.. Telepon pun ditutup.
Belakangan saya baru tahu bahwa kawan lama saya itu tergabung dalam "paguyuban fans pejuang keadilan", atau bahasa kerennya Social Justice Warrior, atau populer disingkat SJW. Bukan Susu Jahe Wangi lho ya.
Nah, SJW ini kalau saya lihat dari tindakan kawan saya adalah memperjuangkan apapun yang tampaknya manis di depan mata. Saya katakan manis karena yang mereka perjuangkan adalah sesuatu hal yang ideal. Apakah mereka salah?
SJW sama sekali tidak salah. Mereka menginginkan tatanan dunia yang ideal. Ideal di pandangan mata mereka, dan orang awam pada umumnya.
Sayangnya tidak semua yang ideal di depan kita adalah ideal di belakang kita. Ini yang mungkin salah kaprah dalam memandang SJW. Fakta saat ini, SJW bukanlah aktivis yang memperjuangkan pihak yang terpinggirkan, kurang beruntung, hingga diskriminasi.
Tapi memandang seperti itu juga tidak salah, karena awalnya SJW memang memiliki semangat perjuangan hak. Tapi semakin ke sini, SJW lebih kepada gerakan protes sosial.
Gerakan protes, apapun itu minim sekali diikuti oleh gerakan nyata. Misal teman saya di atas, sampai saat ini beliau terus menerus mengkritik penggunaan batubara pada pembangkit listrik, tetapi tidak pernah mau/muncul ketika disodori proposal perbaikan lingkungan.
Oke, batubara memang jelek, menyebabkan polusi, dan lain-lain, tetapi di lokasi seperti di Kalimantan Timur yang sering byarpet, adakah sumber energi lain yang bisa digunakan untuk menerangi Kota Minyak Balikpapan hingga Samarinda dan sekitarnya?
Jika pun ada, sangat tidak efisien, ongkos yang mahal yang justru merugikan negara.
Mungkin ketika yang diprotes adalah hal-hal seperti pengurangan sampah plastik sih masih oke lah ya, sampai KFC pun mengeluarkan sedotan rasa SJW, alias sedotan stainless steel. Tujuannya jelas, mengurangi sampah plastik. Wow, sangat SJW sekali!
Tapi ketika SJW memprotes konsumsi rokok di Indonesia karena tingkat kesehatan, itu sudah gak oke lagi. Saya sendiri bukan perokok, tapi ide menghilangkan rokok dari Indonesia atau mencoba meminta Menteri Keuangan untuk menaikkan cukai rokok hingga 200% itu jelas ngawur.
SJW antirokok sama sekali tidak melihat imbas dari kebijakan anti rokok tersebut akan berpengaruh kepada kehidupan karyawan rokok dan keluarganya yang jumlahnya buanyaaaak banget.Â
Masak sih, gak ada SJW pro-karyawan pabrik rokok? Biasanya ada. Biarlah antar-SJW pada bertengkar.
Ini sama dengan kasus di Bangladesh pada tahun 1992. Ketika itu di Bangladesh masih umum memperkerjakan anak di bawah umur di pabrik-pabrik tekstil yang hasilnya di ekspor ke Amerika. Bayaran mereka 52 sen dollar per hari untuk menghasilkan 100 pcs celana/kaus per hari. Namanya juga negara miskin, semua anggota keluarga diprioritaskan untuk bekerja, yang penting perut terisi.
Berita pekerja di bawah umur sampailah ke telinga SJW Amerika. Para SJW terenyuh dan kemudian memengaruhi senator Demokrat Amerika, Tom Harkin untuk membuat Child Labor Deterrence Act 0f 1999, atau UU Pelarangan Pekerja Anak. Mudahnya, Amerika akan menghentikan impor dari negara yang masih mempekerjakan pekerja anak.
Bangladesh terkena dampak, demi tetap bertahannya pabrik tekstil, Bangladesh mengikuti syarat dari Amerika. 50 ribu anak dihentikan dari status pekerja. SJW Amerika puas, bernafas lega, perjuangannya berhasil. Tapi apakah benar berhasil?
Tidak, puluhan ribu anak-anak tadi lebih buruk kondisinya. Pemerintah Bangladesh belum siap untuk menampung anak-anak tadi. Mereka pun tak mampu bersekolah karena memang sangat miskin.
Hal yang ditakutkan terjadi, anak-anak tersebut berkeliaran, mereka menjadi anak jalanan, ada yang menjadi penjahat kecil dan yang terparah adalah menjadi pekerja seks komersial.
Sama halnya dengan saat ini, ketika SJW berkata lantang soal hutang Indonesia. Bagi mereka hutang adalah kejahatan. Mereka tidak bisa membedakan hutang produktif dan hutang non-produktif, mereka pun gelap melihat rasio hutang kita yang jauh lebih baik dari Jepang.
Dan tenggorokan mereka pun serak berteriak tolak revisi KUHP, tanpa pernah tahu isi RKUHP itu apa. Mereka tentu saja serta merta menolak revisi UU KPK tanpa pernah menyoal bahwa ada lembaga superbody yang tidak tersentuh hukum.
KPK yang saat ini seperti holy cow atau sapi suci yang akan disembah sehingga tidak boleh berdosa, sedangkan pihak lain yang diperiksa KPK pasti dianggap berdosa. Fakta ini luput dari opini para SJW Indonesia.
Pun begitu ketika seorang pentolan SJW membuat video youtube tentang aktivitas penambangan batubara lengkap dengan daftar pejabat dan anak pejabat yang terkait bisnis tersebut. Di situ ada nama petinggi dua kubu Pilpres, ada daftar kubu Jokowi dan ada pula daftar kubu Prabowo. Video tersebut dikeluarkan menjelang Pilpres.
Pertanyaan dasar. Apa motivasi SJW membuat video ini menjelang Pilpres?Â
Opini saya mengatakan SJW sedang melakukan penggiringan opini publik ke arah golput. Opini yang ingin dibentuk adalah, bahwa kubu dua calon presiden sama-sama memiliki bisnis yang merusak lingkungan, dan mereka berbisnis. Memangnya apa yang salah dengan berbisnis?
Pertanyaan dasar kedua. Mengapa SJW tidak ambil bagian dalam pengelolaan lingkungan daerah tambang?
Saya berharap ada SJW-SJW yang menulis di Kompasiana bisa merespon tulisan saya ini, karena sampai saat inipun saya tidak melihat ada tim keadilan yang berpartisipasi dalam desain perbaikan lingkungan.Â
Kerusakan lingkungan memang isu bersama, tapi berteriak tanpa solusi ya percuma.
Jadi SJW itu negatif?
Untuk saat ini SJW berkonotasi negatif. SJW lebih dianggap sebagai pasukan panjat sosial dengan rajin memposting isu-isu sosial yang populer dan terkesan pro-rakyat di twitter. Namun, lagi-lagi, tanpa riset yang mendalam. Apalagi mereka pun rajin mempersekusi orang-orang yang tidak sejalan dengan mereka.
Lantas bagaimana SJW sejati di mata saya?
SJW sejati tidak perlu gembar-gembor, cukup dengan tindakan sederhana, seperti tidak menawar harga ketika belanja di tukang sayur.
Lho kok sesederhana itu? Ya, as simple as that, sesederhana itu.Â
Inti SJW adalah memperjuangkan keadilan sosial. Keadilan bagi si kaya dan si miskin. Adil ya adil.
Jika SJW memperjuangkan kenaikan gaji UMP di atas pertumbuhan ekonomi dan inflasi, maka yang mereka bela hanyalah kelompok buruh, bukan kelompok pengusaha. Yang ada, para pengusaha kabur dari Indonesia atau mengganti tenaga kerja manusia menjadi otomasi yang lebih efisien, dan efeknya terjadi PHK/pengangguran massal.Â
Implikasi lanjutan tentunya panjang dan merugikan negara. Yang rugi ya buruh-buruh juga, bahkan menyasar ke masyarakat lain. Tidak ada keadilan di sana, yang ada kehancuran.
Jadi yang perlu disasar para SJW adalah keadilan bagi SEMUA.
Jika sulit, maka tidak perlu bertindak rumit, atau melempar isu seksi yang sama sekali tidak seksi. Cukup sesederhana belanja di tukang sayur kok.
Nah, ketika Kompasiana menulis bahwa SJW dalam pengertian adalah aktifis yang memperjuangkan pihak yang terpinggirkan dan kurang beruntung maka jangan SJW sebutannya. Apalagi Pahlawan 4.0
Cukup pejuang kemanusiaan. istilah itu umum dan bisa diterima semua pihak. Tidak ada makna konotatif atau peyoratif disana. Kemanusiaan itu mencakup semua lini yang bersinggungan dengan masyarakat.Â
Kompasiana punya pak Bambang Setyawan yang konsisten berbagi aktifitas sosial yang nyata, bukan hanya opini. Dan saya yakin beliau tidak mau dipanggil dengan istilah SJW. Beberapa kali di dalam artikelnya, beliau lebih suka menyebut istilah relawan.
Pun begitu dengan rekan-rekan saya yang berkecimpung dalam dunia Energi Baru Terbarukan, mereka berjuang membuat dunia ini semakin hijau. Tapi lagi-lagi, mereka ogah dipanggil SJW, bahkan merasa geli.
Padahal merekalah pahlawan 4.0 sesungguhnya.
"Jadi siapa SJW itu sebenarnya, mas? Tanya Paijo pagi-pagi buta.
"Udahlah Jo, kamu cukup jangan nanya yang aneh-aneh di pagi hari sudah bisa jadi SJW, keadilan sosial buat kopi dan pikiran saya ini!"
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H