Era sekolah saya dulu (90'an) STM begitu terkenal, STM (Sekolah Teknik Menengah) bukan terkenal karena prestasinya, tapi terkenal karena tukang tawuran. Jika dulu bertemu anak STM, saya pasti cari alternatif lain.
Lalu, pada era tahun 2000an, nama STM meredup, diganti oleh SMK (Sekolah Menengah Kejuruan) sesuai dengan Keputusan Mendikbud RI nomor 036/O/1997 Tentang Perubahan Nomenklatur SMKTA menjadi SMK Serta Organisasi dan Tata Kerja SMK.
Praktis STM kurang terdengar lagi gaungnya, tapi tiba-tiba kemarin kita dikejutkan oleh para pelajar SMA berpakaian putih abu-abu yang turun ke jalan untuk berdemo. Mereka mengatasnamakan pelajar STM.
Nama STM muncul lagi, mereka turun ke jalan dan membuat aksi anarkis bin vandalis khas STM masa lalu. Ada kecenderungan nama STM digunakan untuk menakut-nakuti masyarakat.
Citra STM yang sangar di bangkitkan. Tapi sayang, demonstrasi yang bertujuan untuk menegakkan kepentingan rakyat justru tercoreng.
Anak-anak STM tadi justru tidak tahu tujuan mereka berdemo itu apa.
"Dek, ngapain kamu berdemo?" Tanya seorang wartawan.
"Pokoknya kita demo lah, itu gara-gara KPK gak becus kerjanya" Jawab seorang anak disusul teriakan rekan-rekan yang lain.
Tentu saja salah. Demonstrasi Mahasiswa bukan menuntut kerja KPK, tapi menuntut dibatalkannya pengesahan RUU KPK dan RUU KUHP oleh Pemerintah dan DPR. Meskipun ada pasti di antara mereka yang tahu substansi demonstrasi tapi banyak (dan mungkin lebih banyak) yang tidak tahu.
Jelas anak-anak ini dicurigai telah dipolitisir sedemikian rupa untuk ikut turun ke jalan. Mereka turun ke jalan atas ajakan via media sosial (ya, lagi-lagi karena medsos). Siapa yang mempolitisir? Saya tentu tidak tahu.
Tapi yang pasti, saya tidak melihat KPAI turun tangan mengenai hal ini, justru KPAI berkomentar soal perlakuan polisi terhadap pelajar ini.
KPAI salah sasaran. Yang seharusnya dikomentari dan diprihatinkan adalah mengapa anak-anak STM itu bisa ikut-ikutan berdemonstrasi dan melakukan hal anarki?
Saya tidak mau terjebak di dalam opini normatif bahwa anak-anak itu didorong oleh rasa solidaritas kepada penegakan hukum korupsi di Indonesia, lha wong untuk kenaikan harga sembako saja mereka kadang masa bodoh kok, banyak yang tetap minta uang ke ibunya tanpa belas kasihan hanya untuk rokok.
Dalam hal ini Polisi melakukan tugasnya menjaga keamanan Negara, jika para anak STM yang notabenenya di bawah umur itu melakukan kekerasan, vandalisme dan anarki, sudah jadi kewajiban aparat hukum untuk bertindak.
Justru pertanyaannya kemana tugas KPAI di dalam perlindungan anak?
Mereka mengkritik soal eksploitasi anak di dalam pengembangan aset atlet Bulutangkis PB Djarum, karena institusi membawa-bawa nama Djarum, yang identik dengan rokok.
Padahal audisi dan pelatihan PB Djarum sudah berjalan puluhan tahun dan melahirkan pahlawan bangsa, di antaranya Alan Budikusuma. Okelah jika akhirnya PB Djarum yang harus mengalah.
Tapi mereka justru tidak berkomentar apapun soal adanya pendemo di bawah umur. Bungkam soal adanya anak pelajar STM yang melakukan tindakan anarkis, merusak, mencorat-coret fasilitas umum dll.
Tugas dan fungsi pokok KPAI diatur secara tegas dalam pasal 74 UU Perlindungan Anak. Pasal tersebut menyebutkan, KPAI dibentuk untuk meningkatkan efektivitas pengawasan penyelenggaraan pemenuhan hak anak dan bersifat independen.
Salah satu tugas penting KPAI ialah melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan perlindungan dan pemenuhan Hak Anak.
Di mana pemenuhan Hak Anak salah satunya adalah seorang anak dilindungi dari aktivitas yang tidak berkaitan dengan pelajaran atau moral sosial lain.
Hak Anak adalah mendapat pendidikan yang layak. Dan demonstrasi sudah mencabut Hak Anak dari semestinya yang mereka dapat, yaitu waktu belajar.
Bukan hanya itu, dengan adanya ketidaktahuan para anak STM tadi terhadap tujuan utama dari demonstrasi menjadi kekhawatiran bahwa mereka sudah dimanfaatkan oleh pihak-pihak yang memang ingin terjadinya chaos, para pihak tadi memanfaatkan gairah muda para siswa STM yang selalu ingin merasa di anggap bak jagoan.
Bahkan mereka menyebut diri mereka the Real Avenger. Mereka mengganggap mereka adalah tim Avenger besutan Nick Furry agen S.H.I.E.L.D.
Mungkin mereka sedang berhalusinasi sebagai Captain America, Spiderman, Iron Man atau bahkan Gundala si Putra Petir. Dan Polisi yang mereka hadapi adalah gerombolannya Thanos si pengacau.
Saya amat paham apa yang mereka rasakan saat itu, karena saya dulu ada di posisi mereka, tawuran menjadi rutinitas mingguan, Polisi kami anggap sebagai penjaga kemapanan, dan kemapanan harus ditumbangkan. Itulah khayalan semu remaja STM.
Karena itulah peran KPAI seharusnya lebih berat, mereka harus bisa melindungi anak-anak (bukan hanya STM) dari informasi yang menyesatkan, mereka harus bisa memberikan sosialisasi dan pengayoman secara rutin.
KPAI beraksi ketika darah sudah tersembur dari baju seragam mereka, telat! Dan yang dipersalahkan adalah aparat hukum.
KPAI selalu menganggap para korban anak-anak adalah sosok lemah yang harus dibela, betul itu. Tapi KPAI lupa bahwa tugas mencegah eksploitasi anak itu lebih penting. Minim sekali fungsi sosialisasi dan pengayoman dari KPAI untuk merubah kebiasaan remaja, utamanya anak STM.
Sejak jaman saya sekolah hingga saat ini, tidak ada perubahan perilaku dari para remaja itu, sama saja. KPAI bertindak jika sudah terjadi, belum sampai di level pencegahan.
Jika PB Djarum dianggap ekspoitasi anak, apakah demonstrasi ini bukan bentuk eksploitasi juga?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H