Bukan hanya itu, dengan adanya ketidaktahuan para anak STM tadi terhadap tujuan utama dari demonstrasi menjadi kekhawatiran bahwa mereka sudah dimanfaatkan oleh pihak-pihak yang memang ingin terjadinya chaos, para pihak tadi memanfaatkan gairah muda para siswa STM yang selalu ingin merasa di anggap bak jagoan.
Bahkan mereka menyebut diri mereka the Real Avenger. Mereka mengganggap mereka adalah tim Avenger besutan Nick Furry agen S.H.I.E.L.D.
Mungkin mereka sedang berhalusinasi sebagai Captain America, Spiderman, Iron Man atau bahkan Gundala si Putra Petir. Dan Polisi yang mereka hadapi adalah gerombolannya Thanos si pengacau.
Saya amat paham apa yang mereka rasakan saat itu, karena saya dulu ada di posisi mereka, tawuran menjadi rutinitas mingguan, Polisi kami anggap sebagai penjaga kemapanan, dan kemapanan harus ditumbangkan. Itulah khayalan semu remaja STM.
Karena itulah peran KPAI seharusnya lebih berat, mereka harus bisa melindungi anak-anak (bukan hanya STM) dari informasi yang menyesatkan, mereka harus bisa memberikan sosialisasi dan pengayoman secara rutin.
KPAI beraksi ketika darah sudah tersembur dari baju seragam mereka, telat! Dan yang dipersalahkan adalah aparat hukum.
KPAI selalu menganggap para korban anak-anak adalah sosok lemah yang harus dibela, betul itu. Tapi KPAI lupa bahwa tugas mencegah eksploitasi anak itu lebih penting. Minim sekali fungsi sosialisasi dan pengayoman dari KPAI untuk merubah kebiasaan remaja, utamanya anak STM.
Sejak jaman saya sekolah hingga saat ini, tidak ada perubahan perilaku dari para remaja itu, sama saja. KPAI bertindak jika sudah terjadi, belum sampai di level pencegahan.
Jika PB Djarum dianggap ekspoitasi anak, apakah demonstrasi ini bukan bentuk eksploitasi juga?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H