Saya ingat pesan Pramoedya bahwa seorang terpelajar harus adil sejak dalam pikiran. Orang terpelajar harus mengedepankan keadilan berpikir, harus siap untuk selalu berdiskusi, berdialog, berdebat.
Perjuangan merebut kemerdekaan pun bukan hanya angkat senjata, tapi melalui berpuluh kali dialog, rundingan dan rapat dengan penjajah, PBB, dengan perwakilan negara lain, hingga menggelar konferensi besar di Den Haag, Belanda. Itulah perjuangan kaum intelektual.
Apalagi Mahasiswa sendiri, diwakili oleh ketua BEM UI, ITB dan lainnya yang awalnya meminta agar bisa berdialog dengan Presiden.Â
Kenapa setelah dipenuhi lantas mereka menolak?
Mereka menolak karena mempersyaratkan agar dialog dilakukan terbuka. Mereka lupa bahwa yang mereka ajak dialog ini Presiden, seseorang yang di pundaknya melekat simbol negara.Â
Jika dialog di ILC misal, ya cukup diwakilkan Menkumham.
Itulah kenapa Mahasiswa diundang ke Istana, ada proses dialog yang perlu dihormati sebagai bagian dari social control, apakah Mahasiswa takut adanya deal politik?
Kenapa takut, cukup ditolak saja jika ada hal demikian. Kan katanya idealis, tunjukkan idealisme kalian di depan Presiden. Siapkan argumentasi yang cerdas, bukan cuma "katanya dan katanya".
Atau adik-adik Mahasiswa sama dengan masyarakat kebanyakan yang belum membaca dan menelaah isi Undang-Undang yang akan didialogkan?
Kalau berkaca kejadian di ILC sih tampaknya demikian, usaha demonstrasi Mahasiswa menjadi kontradiktif, menjadi antiklimaks terhadap dua korban di Kendari.
Bagaimana dengan era '98, mengapa Mahasiswa saat itu tidak berdialog dengan Presiden Soeharto?Â