Mohon tunggu...
Ryo Kusumo
Ryo Kusumo Mohon Tunggu... Penulis - Profil Saya

Menulis dan Membaca http://ryokusumo.com

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Perjuangan Mahasiswa Menjadi Kontradiktif karena Hal Ini

30 September 2019   14:06 Diperbarui: 30 September 2019   15:29 277
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber foto: lyceum.id/aktivis-mahasiswa

Demonstrasi Mahasiswa yang menolak pengesahan UU KPK dan RUU KUHP, RUU Pertanahan dll masih terus terjadi, bahkan memakan korban meninggalnya dua Mahasiswa di Kendari.

Saya selalu respek dengan setiap upaya gerakan Mahasiswa yang selalu ampuh untuk merubah keadaan suatu bangsa, selama yang diperjuangkan masuk akal.

Tapi sayangnya tidak dengan demonstrasi kali ini. Untuk meributkan RUU KUHP saja, ternyata apa yang diperjuangkan oleh adik Mahasiswa ini jauh dari maksud RUU itu sendiri.

Contoh saja di dalam RUU KUHP pasal 431 yang mengatur soal gelandangan, jelas-jelas di pasal itu tertulis "Setiap Orang yang bergelandangan di jalan atau di tempat umum yang mengganggu ketertiban umum..dst..dst."

Entah bagaimana pasal ini diplintir bahwa seolah-olah di situ termasuk wanita yang pulang larut malam karena bekerja.

Ini kan tidak benar, jelas-jelas di situ hanya gelandangan yang menganggu ketertiban umum, pun bukan semua gelandangan yang akan kena pasal ini. Saya tulis lengkap disini.

Apalagi setelah menonton ILC, di mana Menteri Kemenkumham, Yasonna Laoly menjelaskan dengan nada emosi soal pasal-pasal ini, di mana pasal ini di interpretasi dengan keliru, bahkan dipolitisasi.

Saya bukan fans-nya Menteri Yasonna, tapi kali ini beliau betul. Mahasiswa tampak tidak bisa menjelaskan dan tampak terlihat belum memahami isi RUU atau UU KPK itu sendiri.

Ini diperparah dengan ditolaknya undangan Presiden Jokowi untuk bisa berdiskusi dengan Mahasiswa di Istana.

Sikap yang tidak intelektual menurut saya. Padahal salah satu point yang akan didiskusikan adalah usaha untuk mengeluarkan Perppu UU KPK.

Lagi pula Perppu bisa untuk tidak membatalkan semua pasal, point itulah yang harus dibicarakan. Ada solusi dan jalan keluar.

Saya ingat pesan Pramoedya bahwa seorang terpelajar harus adil sejak dalam pikiran. Orang terpelajar harus mengedepankan keadilan berpikir, harus siap untuk selalu berdiskusi, berdialog, berdebat.

Perjuangan merebut kemerdekaan pun bukan hanya angkat senjata, tapi melalui berpuluh kali dialog, rundingan dan rapat dengan penjajah, PBB, dengan perwakilan negara lain, hingga menggelar konferensi besar di Den Haag, Belanda. Itulah perjuangan kaum intelektual.

Apalagi Mahasiswa sendiri, diwakili oleh ketua BEM UI, ITB dan lainnya yang awalnya meminta agar bisa berdialog dengan Presiden. 

Kenapa setelah dipenuhi lantas mereka menolak?

Mereka menolak karena mempersyaratkan agar dialog dilakukan terbuka. Mereka lupa bahwa yang mereka ajak dialog ini Presiden, seseorang yang di pundaknya melekat simbol negara. 

Jika dialog di ILC misal, ya cukup diwakilkan Menkumham.

Itulah kenapa Mahasiswa diundang ke Istana, ada proses dialog yang perlu dihormati sebagai bagian dari social control, apakah Mahasiswa takut adanya deal politik?

Kenapa takut, cukup ditolak saja jika ada hal demikian. Kan katanya idealis, tunjukkan idealisme kalian di depan Presiden. Siapkan argumentasi yang cerdas, bukan cuma "katanya dan katanya".

Atau adik-adik Mahasiswa sama dengan masyarakat kebanyakan yang belum membaca dan menelaah isi Undang-Undang yang akan didialogkan?

Kalau berkaca kejadian di ILC sih tampaknya demikian, usaha demonstrasi Mahasiswa menjadi kontradiktif, menjadi antiklimaks terhadap dua korban di Kendari.

Bagaimana dengan era '98, mengapa Mahasiswa saat itu tidak berdialog dengan Presiden Soeharto? 

Tahun 98 sungguh berbeda situasinya, Soeharto saat itu sudah berkuasa 32 tahun, ekonomi ambruk, KKN di mana-mana, koruptor bebas berkeliaran, dolar naik berkali-kali lipat, kondisi yang amat sangat berbeda dengan saat ini. 

Dan apakah mungkin Soeharto saat itu berkenan berdialog dengan Mahasiswa? Itu point utamanya. 

Tapi jika dulu kita mengikuti sepak terjang Budiman Soedjatmiko, Fahri Hamzah bahkan Fadli Zon, mereka berorasi dengan isi dan diksi yang berisi, tidak asal cuap.

Apalagi point UU KPK dan KUHP adalah point-point yang terbuka untuk diskusi.

Lantas ke mana wajah Mahasiswa yang disegani?

Mahasiswa bukan lagi disegani, tapi ditakuti. Ke mana kaum intelektual muda saat ini? Yang terlihat adalah kaum jalanan. 

Jangan sampai menjadi kaum manja yang hanya bisa berkata "penuhi saja tuntutan kami". 

Itu sama saja dengan anak kecil yang merengek minta ke ibunya "pokoknya mau permen itu!"

Kalau tidak dituruti lantas merusak, anarki hingga timbul korban. Perjuangan menjadi antiklimaks.

So sad adik-adik. Atau memang ada kepentingan lain?

****

Tulisan lebih dulu tayang di ryokusumo.com

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun