Analisa saya sederhana. Pertama, di Libya misal, Khadafi sudah terlalu lama menguasai Libya. Di Mesir, Husni Mubarak pun sudah sangat lama. Tunisia pun begitu. Mereka berkuasa lebih dari 20 tahun. Rakyat butuh pembaruan, demikian juga Amerika. So, pergerakan Arab-Spring lebih leluasa. Didukung rakyat.
Polanya sama, sehingga wajar jika Asaad menyebut invasi ini by design, digerakkan oleh "terorisme yang didukung pihak asing". Terlepas itu perang Sunni vs Syiah. Bashar Asaad sendiri menggantikan ayahnya Hafez Assad untuk memerintah di Suriah, Klan Assad, muka lama.
Di Indonesia? Belum tentu. Tidak ada pemicu di Indonesia. Justru Indonesia sedang menikmati saat-saat demokrasi yang indah, lepas dari cengkraman orde baru.
Jadi ketika para ekstrimis tersebut masuk ke Indonesia, justru penolakan yang ada. Hanya segelintir orang yang terpengaruh paham radikal. Mereka adalah fanboy tulisan Baa'syir dan juga korban propaganda anti-Zionis yang melenceng.
HRS pernah di tahan di era SBY. Di era Jokowi justru HTI dibubarkan. Ini menunjukkan Pancasila masih sangat kuat.Â
Untuk tetap bertahan, organisasi ini harus mengikuti dulu tuan rumah, mereka pun berbondong-bondong mengatakan pro-NKRI dan anti-radikalisme. Lucu ya?
Tapi kembali ke paragraf atas, mereka belum menyerah, pro-NKRI dan anti-radikalisme hanyalah kedok. Sebab tujuan mereka adalah ke-Khilafahan. Mereka harus masuk ke pemerintahan, baik petahana ataupun oposisi.
Jika kita sudah tahu posisi IM, HTI, JI dan MMI. Lantas dimana posisi FPI?
Pertama, FPI memilih sebagai pembuka pintu gerbang ke pemerintah, dengan melihat kegagalan Ikhwanul Muslimin di dalam diri PKS. Dari sejarah, FPI-lah yang paling dekat dengan Polisi. Bahkan HRS pernah menyebut bahwa FPI seperti suami-istri dengan Polisi.
Jadi, FPI-lah yang paling mumpuni untuk masuk. Gagal dengan konsep Negara Islam, mereka ganti dengan NKRI Bersyariah.Â
Lantas, kemana FPI berkiblat? Yang pasti bukan ke IM atau HT. Dari tulisan pertama saya, anda bisa simpulkan sendiri.