Ketika sedang seru-serunya, dan penduduk kos-kosan bercampur warga sudah datang dan berteriak-teriak menyemangati, eh tiba-tiba tercium wangi khas tanggal tua.
Ya, wangi Indomie rebus. Dibawa oleh ibu kos satu panci besar lengkap dengan telur rebus yang kuningnya agak basah, daun bawang, ayam suwir dan irisan rawit yang siap menggoyang lidah.
Bagi kami anak kos, Indomie selalu istimewa, Indomie adalah messiah di tanggal tua, dimana kantong sama brengseknya dengan wanita yang sigap menolak kami sebelum kami nyatakan cinta.
Indomie-lah dimana cinta kami tak pernah bertepuk sebelah tangan. Sehingga, momen lewatnya ibu kos di depan kami, kami respon dengan khidmat.Â
Tak hanya itu, mimik ibu kos pun tersenyum seakan tak peduli dengan kondisi emosi kami. Ataupun terlalu percaya diri bahwa Indomie selalu bisa jadi penyelamat dunia.
"Ayoo semuaa...makan dulu, Indomienya bikin banyak nih..yang gak mau tak sumpahin ngejombloooo"
Teriakan ibu kos yang penampilannya lumayan semok itu sontak membius kami, serentak kami ambil piring dan sendok di dapur, menuang nasi dan kembali ke ruang tamu. Suasana riuh, semua bergembira menyambut Indomie yang masih mengepul di panci.
Entah apa yang saya rasakan waktu itu, perasaan kesal kepada Klobot hilang begitu saja, yah..begitu saja, hilang, berganti rasa lapar dan ceria.
Begitu juga Klobot, wajahnya yang nyolot tak tampak lagi, semua guyub dalam limpahan rahmat Indomie.
Sebegitunya efek Indomie. Bukan hanya terhadap kantong, tapi juga menguasai emosi manusia, merukunkan dan mengayomi hati.
Tak heran, di Amerika, mie instant sekawan dengan Indomie, berhasil meredam pertikaian para Napi di dalam penjara, persis kasus saya dengan Klobot.