Tenaga Kerja Asing, lagi-lagi TKA menjadi bahan politikus untuk menaikkan tensi menjelang Pilpres. Pilpres 2019, Pilpres yang panas, gerah sekaligus bergairah.
"Jangankan insinyur, tukang masaknya saja asing" Ujar Sandiaga Uno, pengusaha yang jadi Calon Wakil Presiden.
Oke gaes. Pertama soal hadirnya Tenaga Kerja Asing di negara kita dulu.Â
Kenapa Indonesia masih ada (butuh) Tenaga Kerja Asing (TKA)?
Mari kita menengok India, yang di awal 2000an masih menjadi negara padat karya seperti Indonesia.
India saat ini sudah menjelma menjadi negara kategori ekspor Industri, sudah menjadi basecamp bagi para pemilik Industri dunia. India sudah menguasai teknologi.
Dari mulai pabrik gula, India sudah dianggap sebagai penyedia teknologi. Apapun soal gula ada disana.
Untuk Pembangkit Listrik, Siemens sudah menggunakan paten made in India di dalam Turbin-nya, keren!
Di titik ini India hanya bisa dikalahkan oleh China, yang sudah bisa produksi sendiri dan memakai merk sendiri.
Sedangkan Indonesia, apa hak paten Industri yang kita punya? Bahkan sekelas AC pun kita belum ada.
India tidak anti asing. Di India, asing dianggap sebagai pembawa teknologi. Mereka serap ilmunya, mereka kembangkan untuk kerjasama jangka panjang. Akibatnya Industri di India jauh berkembang.
"Kenapa India masih memakai tenaga kerja asing, sob?" Tanyaku kepada seorang kawan asal Gujarat.
"Lha, sampeyan kira orang India sudah mampu gitu buat Turbin? Kita sudah kuasai teknologi, tapi belum mampu membuat" Jawabnya.Â
Indonesia, India maupun China (3 negara padat karya) bukan merupakan negara dengan konsep teknologi. Ketiga negara ini mau tidak mau harus menggandeng asing untuk mengembangkan industri di dalam negeri.
Dan dari 3 negara ini, China-lah yang sudah lepas landas, dari negara padat karya ke negara padat modal.
Indonesia masih jauh, sangat jauh. Untuk sektor pembangkit listrik (yang mana ini juga disebut proyek Infrastruktur), tidak ada equipment yang basisnya high-tech bisa dibeli dari negeri sendiri.
Ambil contoh Turbin, untuk sebuah Turbin sekelas pembangkit listrik, kita membutuhkan perusahaan manufaktur yang basisnya ada di tiga benua. Satu di Eropa, satu di Amerika, satu di Asia (yaitu China).
Dari ketiga benua tadi, sudah tentu China-lah yang termurah. Ini yang menyebabkan produk China laris, di Indonesia.
Setelah deal dengan manufaktur, kita masuk ke konsep detail desain, yang mana ini biasanya menggunakan jasa konsultan asing.Â
Kenapa konsultan asing? Karena mereka yang paham teknologinya, pernah memakai teknologi tersebut, dan lebih jauh lagi, mereka punya sertifikat.
Setelah fase detail desain selesai, mulailah masuk ke fase manufaktur dan kemudian pengiriman hingga instalasi Turbin.Â
Nah, di tahap pengiriman dan instalasi inilah para engineer/ tenaga ahli asing tadi mulai masuk ke Indonesia.
Kenapa demikian?Â
Klien atau pembeli Turbin memiliki kepentingan bahwa Turbin yang akan dipasang harus dan wajib dijamin bisa bekerja, dijamin kehandalannya, dijamin tidak ada risiko hingga listrik mengalir. Maka harus dipasang oleh seorang ahli, yaitu si pembuat itu sendiri.
Si pembuat juga menjamin kehandalan hingga 20 tahun dengan masa garansi misal 24 bulan.
Ini bukan hanya terjadi di proyek pembangkit, tapi jamak juga di proyek-proyek yang lain, termasuk infrastruktur.
Paham?
Nah, sekarang kita masuk, kenapa kok mayoritas China? Sudah dijelaskan tadi bahwa produk China hampir dipastikan lebih murah. Selain itu, China lah yang paling bersemangat berinvestasi di Indonesia.
Masalah kualitas memang masih jadi pertanyaan tapi bukan berarti kita anti produk China, lha wong HP mu saja produk China kok, meskipun lambangnya buah apel.
Memangnya si buah apel mau produksi gitu aja kalo kualitasnya payah? Nah, mikir kalau kata Cak Lontong.
Tukang Masak
Nah sekarang masuk lagi ke si tukang masak.Â
Intinya, kita tidak mau makanan yang tidak halal mampir ke perut kita. Mereka dipersilahkan ikut campur urusan teknologi, tapi tidak urusan perut.
Kecuali mereka doyan sambel terong ikan mujair lalapan dan jengkol. Monggo. Kalo gak doyan ya resiko, kita juga tidak mau makan makananmu, lha kadang-kadang bau eneg alkohol-nya kecium kok.
Lagipula merekajuga ngak betah dengan masakan Indonesia yang cenderung pedas.
Apalagi bule-bule, malah pernah teknisi asal Swedia masuk rumah sakit gara-gara makan rawon. Padahal yang lain gapapa. Kan repot ndes.
Itulah kenapa mereka membawa tukang masak sendiri. Aman buat mereka dan aman buat kita.
Persaingan MEA
Ibarat rumah, Indonesia itu masih pondasi dasar. India itu sudah buat atap. China sudah selesai bangunan, lagi jualan. Amerika? Sudah tahap penjualan rumah tahap II.
Supaya cepat, kita gandeng yang sudah pernah buat atap, furniture dan penjualan sekaligus. Disitu kita belajar.Â
Sayangnya, orang kita malas belajar. Kita lebih suka undang si Amerika untuk bangun rumahnya dan sekalian jualannya. Kita duduk manis, terima hasil.
Kita tidak kuasai teknologinya. Kita ribut, karena kita belum siap. Kita belum sanggup untuk bersaing. Itu.
Tenaga kerja asing seakan diharamkan, kembali lagi, lha emang orang kita sudah mampu? Apalagi kita sudah masuk MEA, Masyarakat Ekonomi Asean. Kalo kita tertinggal, yo rasakno.
Tapi memang berapa persen sih tenaga kerja asing itu di Indonesia?
Karena jumlah warga mereka pun sangat-sangat banyak, sehingga persentase mereka tampak kecil, kurang dari 0.1%. Padahal jumlah TKA di negara mereka pun secara jumlah tak beda jauh dengan Indonesia.
India di masa awalpun kedatangan pekerja asing Eropa yang sangat banyak. Disaat itu, China yang sedang belajar teknologi, pun mengundang TKA Eropa. Baca sejarah Huawei.
Dan jangan lebay, saya membuktikan bahwa nyaris seluruh proyek di negeri ini tenaga kita sendiri masih berjaya.
Bahkan perusahaan minyak sekelas Total E&P, Chevron, Conocophillips hingga Pertamina saat ini justru"dikuasai" oleh tenaga asli negeri ini.
Jadi jangan terus  terbawa arus informasi yang payah dan mudah tergiring opini. Karena memang mudah membawa isu TKA untuk politis. Menyedihkan.
***
"Bot, bagaimana soal karyawan asing di Indonesia ini bot?" Tanyaku.
"Berat mas, temen-temen kita itu lho, tak ajak kursus..ya ndak mau, tak ajak cari kerja..ya ndak mau, kerja di Indomart, seminggu keluar, alesannya ndak cocok sama kerjanya..senengnya markir, duit receh, besok demo, dapet duit, lah giliran isu isu TKA-TKA malah do rame..lha ya gimana mas"
"Tumben pinter kamu bot, lah kamu apa ndak merasa tersaingi bot?"
 "Lah mas, selama saya masih kerja, kretek masih bisa di bakar dan Ningsih masih alem-aleman, maka nikmat Tuhan mana lagi yang kau dustakan"
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H