Mohon tunggu...
Ryo Kusumo
Ryo Kusumo Mohon Tunggu... Penulis - Profil Saya

Menulis dan Membaca http://ryokusumo.com

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Sang Perempuan Penjaga Bintang

24 Oktober 2016   18:24 Diperbarui: 24 Oktober 2016   18:30 122
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: http://petite-sonyeo.deviantart.com/art/Menabur-Bintang-418981610

Pria itu membungkukkan badannya yang jangkung, tanpa melepas kacamata hitamnya, pria itu menatap lurus tepat di kedua mata gadis kecil di depannya.

"Apa yang kau sedihkan puan?"

"Aku tidak menangis, mengapa engkau tahu tuan?"

"Karena semesta telah membisikkan kepadaku, ada seorang puan kecil bermata biru yang ceria namun bintangnya sedang berlalu"

"Bintangku telah berlalu. Ayahku telah pergi kemarin sore dan tak mungkin kembali, ibuku tertangkap pagi ini, oleh para pencium bau surga"

"Apa kau pernah mencium bau surga?"

Gadis kecil itu menggeleng

"Yang aku tahu hanya bau ibuku, dan bau tangan ayah.."

Pria itu mendekat,

"Ketahuilah, itulah bau surga sebenarnya gadis kecil, kaulah yang telah mencium bau surga dan bukan mereka"

"Mereka berteriak soal surga" Gadis itu terisak. "Bahkan ayah dan ibuku pun bersujud menyembah yang sama, ayah ibuku selalu berbicara tentang Tuhan, nama yang selalu mereka teriakkan sambil berkeringat"

"Mereka bersarung dan berpeci tuan, sama seperti yang ayah pakai ketika ke Langgar setiap Maghrib" Sambung gadis itu.

"Apakah surga mereka berbeda, tuan?"

Pria itu tertegun, pertanyaan yang amat rumit dari seorang gadis kecil.

"Ah, kau masih terlalu kecil, wahai puan, ayo ikut aku" Ajak pria tersebut, tanganya menggandeng sang gadis berjalan melewati sebuah jembatan kanal.

Sore menjelang Magrib,  langit menorehkan klimaks tinta yang begitu syahdu. Terdapat sedikit bintang yang tidak disiplin mengikuti aturan langit.

"Wahai puan, kau tidak bisa mengganti apa yang sudah terjadi..dan yang telah pergi"

Mereka pun menatap langit.

Pria itu kembali berjongkok, matanya menatap mata sang gadis kecil dengan dalam.

"Lihat bintang itu puan kecil, kau adalah bintang. Bintang, tahu waktu kapan bersinar dan kapan harus redup. Hari ini redup, esok kau akan melihatnya lagi"

"Kami pun bintang, dan suatu saat nanti kami pun akan menghilang. Tapi jangan khawatir, di suatu waktu itu, kau akan bertemu kami lagi, puan. Juga ayah dan ibumu, mereka adalah bintang"

"Apa di atas bintang ada surga, tuan?"

"Tentu ada, surga diperuntukkan untuk para penjaga bintang, yang ikut bersinar walau tak terlihat"

"Aku ingin menjadi penjaga bintang, tuan"

Pria itu tersenyum

***

50 tahun kemudian

Di sebuah majlis, terdapat diskusi hangat cenderung mendidih sedang berlangsung.

"Itu bid'ah!" Teriak salah seorang pemuda anggota majelis. "Mengapa Ustad membiarkan saja ketika orang tadi itu memberikan undangan soal slametan? Hah? Apakah sudah terkotori kah masjid ini sehingga begitu mudahnya kebudayaan masuk tanpa ada saringan? Syirik dan bid'ah masih bebas berkeliaran disini"

Sang Ustad, terdiam, beliau masygul, seorang pemuda tampan dan alim berani berkata demikian. Apa memang ini hasil didikan sekolah-sekolah agama yang harganya selangit itu. Luar biasa.

"Biarkan saya yang menjawab, wahai ustad" Ujar seorang wanita paruh baya dari arah belakang.

"Oh, silahkan ibu, semua berhak dengan ilmunya"

"Terima kasih ananda yang baik, memang haknya jika anda berkata demikian, bahkan saya berterima kasih untuk semangatnya yang menggebu membela agama. Tapi perlu saya ingatkan bahwa saya sudah terlalu muak mendengar hal yang 50 tahun lalu saya alami, dimana kita masih berbicara soal hal dasar, qunut boleh atau tidak, salaman setelah sholat itu bagaimana atau mengapa Cut Nyak Dien tidak memakai jilbab"

"Tapi kita tidak pernah bicara bagaimana keadilan dan kemiskinan bisa diselesaikan. Atau dahulu, mengapa ayah saya bisa di ambil begitu saja oleh geromboloan berpeci tanpa alasan"

"Bahkan tidak satupun dari kita disini yang berhak akan bau surga, tapi kita semua seakan sudah menjadi Tuhan, bahkan super Tuhan, dengan merasa seberhak-berhaknya menjadi pengadil melebih Sang Maha Pengadil itu sendiri. Kita dari tahun ke tahun tidak pernah berbicara soal hakekat, termasuk anda, wahai anak muda"

"Saya yakin, orang tua anda amat sangat sayang kepada anda, dengan sekolah agama yang harganya bahkan bisa menjadi modal para anak yatim untuk membuka toko kelontong, membuka lapangan kerja"

"Tapi tidak, biaya itu hanya untuk anda seorang, pendidikan agama yang sangat detail dan teliti soal ujung kuku, tapi melupakan soal ujung lambung yang lapar"

"Anda berbicara di sosial media, seolah itu adalah kitab suci anda, anda berkata bid'ah seperti apa yang dikatakan para ulama disana, tanpa anda melihat kenyataan dan esensi dinamika riil sekitar anda. Anda terpesona oleh ulama yang berpose di depan motor besar, tapi terasingi oleh suara kaum marjinal yang perlu anda bela" Suara wanita itu bergetar.

"Pernahkan anda tahu, berapa jumlah anak yatim di desa ini? Jumlah pengangguran di desa ini? Jumlah tuna wisma dan bahkan pelacur di desa ini? Tentu tidak, karena fokus utama anda tidak pernah keluar dari zona nyaman anda"

"Jika tidak cocok dengan anda, anda tinggal bilang itu haram, atau bid'ah, hancurkan maka selesai masalah"

"Bahkan anda tidak pernah tahu, seorang pemuda yang mengundang slametan almarhum ibunya tadi, yang anda hakimi sebagai pembawa bid'ah, masih jauh lebih baik dari anda"

Pemuda alim tadi kaget, terdiam seribu basa.

"Ketahuilah, bahwa kulitnya selalu tersentuh angin subuh, setiap fajar, bahkan ketika hujan. Dia berjalan menembus dingin dalam diam, tanpa harus berkoar sana sini. Dia berusaha menghargai leluhurnya dengan mengadakan slametan"

"Hanya mata tua ini yang mengenalinya..hanya mata tua ini!"

"Sama halnya ketika mata tua ini, yang tidak pernah mengenali anda di setiap subuh namun justru mengenalinya lewat orasi yang overdosis di sosial media, dan hari ini anda berbicara seolah-olah.."

"Sudah cukup, cukup ibu.."

Tapi sang penjaga bintang terus menumpahkan cahayanya, bersiap meredup untuk kemudian bersinar kembali, demi bau surga.

***

Tulisan dimuat di blog pribadi, disini

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun