"Tapi kita tidak pernah bicara bagaimana keadilan dan kemiskinan bisa diselesaikan. Atau dahulu, mengapa ayah saya bisa di ambil begitu saja oleh geromboloan berpeci tanpa alasan"
"Bahkan tidak satupun dari kita disini yang berhak akan bau surga, tapi kita semua seakan sudah menjadi Tuhan, bahkan super Tuhan, dengan merasa seberhak-berhaknya menjadi pengadil melebih Sang Maha Pengadil itu sendiri. Kita dari tahun ke tahun tidak pernah berbicara soal hakekat, termasuk anda, wahai anak muda"
"Saya yakin, orang tua anda amat sangat sayang kepada anda, dengan sekolah agama yang harganya bahkan bisa menjadi modal para anak yatim untuk membuka toko kelontong, membuka lapangan kerja"
"Tapi tidak, biaya itu hanya untuk anda seorang, pendidikan agama yang sangat detail dan teliti soal ujung kuku, tapi melupakan soal ujung lambung yang lapar"
"Anda berbicara di sosial media, seolah itu adalah kitab suci anda, anda berkata bid'ah seperti apa yang dikatakan para ulama disana, tanpa anda melihat kenyataan dan esensi dinamika riil sekitar anda. Anda terpesona oleh ulama yang berpose di depan motor besar, tapi terasingi oleh suara kaum marjinal yang perlu anda bela" Suara wanita itu bergetar.
"Pernahkan anda tahu, berapa jumlah anak yatim di desa ini? Jumlah pengangguran di desa ini? Jumlah tuna wisma dan bahkan pelacur di desa ini? Tentu tidak, karena fokus utama anda tidak pernah keluar dari zona nyaman anda"
"Jika tidak cocok dengan anda, anda tinggal bilang itu haram, atau bid'ah, hancurkan maka selesai masalah"
"Bahkan anda tidak pernah tahu, seorang pemuda yang mengundang slametan almarhum ibunya tadi, yang anda hakimi sebagai pembawa bid'ah, masih jauh lebih baik dari anda"
Pemuda alim tadi kaget, terdiam seribu basa.
"Ketahuilah, bahwa kulitnya selalu tersentuh angin subuh, setiap fajar, bahkan ketika hujan. Dia berjalan menembus dingin dalam diam, tanpa harus berkoar sana sini. Dia berusaha menghargai leluhurnya dengan mengadakan slametan"
"Hanya mata tua ini yang mengenalinya..hanya mata tua ini!"