Mohon tunggu...
Ryo Kusumo
Ryo Kusumo Mohon Tunggu... Penulis - Profil Saya

Menulis dan Membaca http://ryokusumo.com

Selanjutnya

Tutup

Politik Artikel Utama

Donald Trump dan Ahok, Dua "Kegilaan" yang Fenomenal

3 Mei 2016   11:29 Diperbarui: 3 Mei 2016   16:15 4148
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

www.businessinsider.com / www.liputan6.com
Ada yang unik di Amerika Serikat. Negara yang disebut merupakan bapaknya demokrasi dan kebebasan, ternyata mengalami fears of excess. Mereka takut menghadapi sebuah fenomena yang akan menyeret AS kedalam “lubang” anti-demokrasi. Fenomena itu bernama Donald Trump. Seorang multi-milyuner sekaligus megalomania yang memiliki garis politik sebelah kanan.
Trump begitu menakutkan bagi sebagian besar politikus, pengusaha, dan masyarakat bukan hanya di AS, tetapi juga dunia. Pernyataan soal kebenciannya kepada muslim hingga ingin mengusir muslim dari AS, pengurangan imigran, pernyataan soal Tiongkok dan ide untuk meminta pemerintah Meksiko membangun tembok batas adalah bentuk kontroversi yang diciptakan. Dan itu baru sebagian dari banyak ide kegilaan Trump yang diungkapkan secara bangga.
Menakutkan? Ya jelas, isu agama Trump sudah pasti mengarah kepada konflik Timur Tengah di mana konflik di sana adalah konflik yang yang mahapelik. Sudah hampir dipastikan Timur Tengah akan semakin parah dan pada akhirnya beberapa negara seperti Syria dan Turki akan jatuh ke tangan AS seperti Irak berikut semua ladang minyaknya. Sebagai gambaran, sampai saat ini AS belum mampu menekan harga produksi shale oil ke titik ekonomis. 
Namun hebatnya, saat ini Trump mampu unggul dalam pemilihan calon presiden AS dari partai Republik, bahkan mendominasi. Dominasi Trump menciptakan ketakutan sehingga mendorong pesaing lain dari Republik, yaitu Ted Cruz dan John Kasich bergabung, membentuk kesatuan untuk melawan Trump. AS boleh jadi mengekor Indonesia dalam games "haters-lovers" sehingga bolehlah jika disebut jargon “Asal Bukan Trump”.
Sebegitu berbahayanya Trump sekaligus sebegitu istimewanya Trump, sehingga banyak sekali pendukungnya. Bahkan mungkin Trump akan menjadi the next president. Mengapa Trump yang berbahaya itu disukai? Untuk memahami, ada artikel menarik dari Prof George Lakoff, seorang profesor ilmu Kognitif dan Linguistik yang berjudul “Why Trump?”. Silahkan menyimak artikelnya DISINI. Artikel Lakoff pernah juga dibahas oleh Dahlan Iskan.

Di situ intinya, Trump adalah seorang Republikan sejati. AS terbagi dari dua partai utama, Partai Republik yang beraliran konservatif dan Demokrat yang beraliran progresif. Tidak seperti di Indonesia di mana partai bisa seenak perutnya bermanuver, di AS partai melambangkan ideologi, bukan hanya ideologi partai itu sendiri, tapi juga ideologi turun-temurun yang dibawa oleh anggotanya.

Di sini Trump merupakan hasil didikan konservatif tulen. Dalam sistem konservatif, ayah adalah segalanya, tumbuh dalam kedisplinan. Sama seperti jika kita melihat RA Kartini yang harus manut dan nurut apa pun titah sang ayah, termasuk menikah dengan seorang yang sudah beristri tiga.

Bedanya di AS, sisi konservatif mengambil budaya Amerika yang tembak langsung, sama seperti olahraga populernya: American Football ataupun filmnya yang selalu mengandalkan gaya Silvester Stallone, dar der dor, jagoan menang. Jika kalah, dipastikan dia tidak akan populer.

Budaya konservatif menganggap berpikir komprehensif itu buang waktu. Apa yang dianggap salah ya di benarkan, apa yang tidak sesuai keinginan ya harus disesuaikan kalau perlu dengan kekerasan. Jadi kalau Turki menolak ya diprovokasi, dikuliti, kemudian digempur. George Bush, tokoh utama di balik serangan Irak, adalah contoh tulen berdarah konservatif dari partai Republik.

Di sinilah Trump mendapat dukungan dari banyak masyarakat AS yang merindukan pemimpin murni konservatif. Mereka merindukan kembalinya hegemoni kulit putih dan anti-imigran, hegemoni kebebasan menjadi raja dunia, kulit berwarna adalah pengganggu. Jangan lupa, kondisi apartheid, ras, agama tidak hilang begitu saja di AS. Sejarah membuktikan bahwa AS adalah negara yang paling rasis.

Lalu, apa hubungan dengan Ahok? Hubungannya adalah fenomena masyarakat.

Trump dan Ahok, sama-sama lugas, ceplas-ceplos, punya daya tahan yang tangguh untuk menjadi pemimpin, memiliki visi-misi yang menggebrak, tak peduli orang lain suka atau tidak. Sifat demikian adalah sifat yang positif dari sisi pelaksanaan namun lemah dari sisi komunikasi.

Kelemahan itu menimbulkan ketidaksukaan dari banyak pihak, entah kepentingan politik atau kepentingan pribadi. Sehingga timbul jargon “Asal Bukan Ahok” lalu berlanjut “Asal Bukan Trump”. Tapi di sisi lain muncul fakta yang menarik, kelemahan itu justru menimbulkan pihak pro yang fanatik. Fenomena pertama muncul: masyarakat suka.

Sederhana, masyarakat ingin sosok pemimpin yang memiliki gebrakan, lugas, respons cepat secepat viral WhatsApp, bosan retorika, muak pencitraan kalem klemar-klemer modal senyum asal lip service. Trump dan Ahok mengakomodasi itu. Trump dengan idenya dan Ahok dengan tindakan. Dua-duanya nekat.

Fenomena berikutnya: Trump bukan tokoh politik, dan Ahok jalur independen. Ini merupakan kekuatan utama keduanya di mana masyarakat sudah muak dengan partai politik yang korup.

Tapi ada perbedaan.

Trump berlatar belakang konservatif sedangkan Ahok berlatar belakang progresif. Trump membenci perbedaan (imigran, muslim dsb) sedangkan Ahok justru sebaliknya karena dia adalah minoritas, ya tak mungkin minoritas lantas membenci mayoritas, jika ingin hidup ya harus beradaptasi kan? Logis.

Trump berambisi menguasai dunia secara terbuka, sebuah ambisi yang berbahaya sehingga banyak yang mengecam, termasuk rencana pembatasan ekspor Tiongkok ke AS dan isu politik mata uang yang bisa berakibat pada goncangnya ekonomi Tiongkok, goncangnya Tiongkok akan berdampak pada global, terutama Indonesia. Di sini Trump sudah berlevel “madness”.

Ahok, tidak ditemukan indikasi seperti Trump, misal: Ingin mengusir etnis tertentu, atau melarang kenikmatan muda-mudi pacaran sambil bermotor-ria, tidak. Meskipun banyak kontroversi, tetapi masih dalam batas.

Tindakan lugas Ahok masih diikuti oleh pemikiran, contoh relokasi, harus diikuti adanya ruang pengganti yang layak, rusunawa pun di bangun. Ada masalah dalam pelaksanaan? Ya pasti. Kita pindahan rumah saja sudah banyak masalah, apalagi memindahkan satu kampung?

Tindakan Ahok yang progresif sebetulnya dimulai oleh langkah Presiden Jokowi ketika menjabat wali kota Solo dan gubernur DKI lebih dulu. Beda dengan Foke atau Mantan Presiden SBY yang bermain aman, Jokowi bersifat progresif dan ternyata masyarakat suka. Ahok menangkap fenomena itu, tinggal melanjutkan dengan gayanya.

Apakah Trump bisa menang?

Di AS, Trump memiliki pesaing, yaitu Hillary Clinton. Hillary yang sangat cerdas tentu mewakili kaum AS yang menghendaki perubahan ke arah perdamaian, diplomasi dan liberal. Hillary adalah penentang kebijakan Bush ketika menginvasi Irak. Meskipun tidak terlalu revolusioner, toh setidaknya Hillary bisa melanjutkan Obama, sesama jaket Demokrat.

Obama terpilih dua kali, itu membuktikan masyarakat AS mayoritas mulai berpikiran progresif, sudah meninggalkan budaya kuno, menganggap isu agama dan warna kulit adalah isu sampah. Logisnya, dari sini Trump sulit menang, kecuali keinginan AS terhadap gerakan konservatif dari tokoh nonpolitik begitu besar.

Apakah Ahok bisa menang?

Di Jakarta. Saat ini Ahok belum punya pesaing yang signifikan secara kualitas, Yusril masih dianggap tokoh konservatif lama yang mencari panggung. Sandiaga yang bermain apik terlihat kurang greget, kurang mewakili masyarakat Jakarta yang hidupnya “garang”. Pun dengan tokoh-tokoh lain, pesaing Ahok ada, tokoh progresif ada, tapi tidak di Jakarta.

Andaipun partai politik ingin menggaet tokoh progresif tadi untuk bertarung di saat sekarang, masyarakat Jakarta lebih dulu bertanya, langkah oportunis macam apa lagi ini? Partai dianggap hanya ingin berkuasa. Hasilnya bisa ditebak, masyarakat menolak, muncul ilmu cocokologi, calon A lebih cocok di kota A, calon B cocok di kota B, dll persis seperti paguyuban Mak Comblang. Dari sini, persepsi publik mulai mempengaruhi pasar, ujungnya adalah si calon ditarik lagi ke kota asal atau justru menarik diri dari pencalonan.

Sama dengan AS, terpilihnya Presiden Jokowi membuktikan mayoritas masyarakat Indonesia sudah berpikir progresif, isu SARA yang diangkat untuk menjatuhkan Jokowi dahulu, justru meningkatkan pamornya dan jangan lupa, Jakarta adalah barometer yang utama, terlepas siapa yang menggulirkan isu tersebut. 

Terakhir, masyarakat Indonesia sudah muak dengan unsur partai politik, fair harus diakui bahwa langkah Ahok melalui jalur independen adalah angin segar. Selama Ahok tidak terbukti korupsi oleh KPK, maka probabilitas kembali menjabat gubernur DKI adalah cukup besar.

Jadi, jika di AS beredar “Asal Bukan Trump” adalah beralasan, jargon di Jakarta “Asal Bukan Ahok” perlu dipertanyakan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun