[caption caption="Courtesy: www.picsfair.com"][/caption]Corong hitam itu sudah disiapkan, di atas panggung kotak segiempat yang luas, bahkan cukup luas untuk memotong lima ekor sapi sebagai korban Idhul Adha yang dagingnya diobral cuma-cuma, kadang dapat, kadang malah ikut menjadi korban. Jauh lebih luas dari panggung dangdut mesum abal-abal di kampung yang biasa digunakan para tikus untuk berorasi norak. Posisinya tinggi, ditopang dengan besi kokoh ringan mengkilat di ujungnya dan ditutup kain hitam menjulang-julang di atas kepala, menutupi semburat teriknya matahari di siang itu.
Aku tak tahu lagi berapa butir peluh yang harus kularang keluar untuk sebuah pertemuan yang akan menggonjangkan imajiku ini. Jangankan peluh yang kularang keluar, bahkan oksigenku sebisa mungkin kutahan agar tidak menguap, karena mencarinya lagi sungguh sulit di tengah pasukan hedonis yang entah sudah berapa kali kulihat seperti tak pernah kehabisan energi mudanya.
Sungguh aku tak muda lagi, bahkan aku tak ingat kapan aku muda. Corong hitam itu, itulah pengingatku satu-satunya. Corong yang selalu menjadi sandera bagiku, kakak, adik dan tentunya ibuku, corong hitam yang selalu lihai menutup celah kotak pandora, kotak merah berlapis emas. Kotak yang dibuka berpuluh tahun yang lalu dan tak bisa ditutup kembali.
"Cang kacang panjang... yang panjang... hayoo."
"Hayoo Pras, kamu jaga," kata Ulik, teman SD-ku. Ah, sial pikirku.
"Oke ya... satu... dua... tiga...." Kami bermain petak umpet, dan aku mendapat giliran jaga.
Ah, sungguh malas aku mencari teman-temanku yang rata-rata berbadan ramping itu, sedangkan aku sendiri gemuk seperti babi panggang, ini membuat aku kesulitan mencari satu demi satu mereka yang raib lewat fantasinya. Ke sana kemari aku mencari namun tak juga kutemukan mereka. Nah, kenyataan kan? Sekarang sudah hampir setengah jam bahkan tak ada nampak sedikit pun batang hidungnya. Ulik, Syam, Mina, Baqar... di mana mereka? Aku seperti dikerjai.
"Hoi... di mana kaliaaan?" teriakku dengan tidak sabar.
Aku menengok kiri dan kanan. Di depan sana, daun-daun tebu di depan sekolah kami nampak menari dan berdendang dengan alunan macapat yang lembut, disinden oleh angin yang paham ke mana tujuannya. Gemerisiknya menghibur negeri ini yang baru saja diterpa musibah. Seperti ingin berpesan, "Istirahatlah sejenak, wajahmu lelah, perjuanganmu masih sangat panjang." Â
Seperti tersadar dari sirep sinden tebu, aku kembali mencari teman-temanku yang entah dimana. Namun tiba-tiba dari ujung ladang, terlihat seorang wanita muda berlari kencang ke arahku. Rambutnya digelung, kakinya jenjang. Sosok itu semakin lama semain mendekat, aku sangat familiar dengan wajahnya, Mbak Yum! Peluhnya terlihat mengucur dari dahinya yang kecoklatan.
"Pras, ayo kita pulang! Kita harus pulang Pras! Gawat kamu dicari Ibu," teriak Mbak Yum.