"Ini dia, ini orangnya... ayo bawa dia, ikat, tali lehernya!" teriaknya kesurupan.
"Kosim, apa-apan kamu ini? Aku ndak pernah ikut-ikut begitu?" ucap Bapak kepada Man Kosim.
"Bohong Kang, kemarin saya lihat dia mengajari anak-anak surau lagu gerakan," ucap entah siapa dari belakang, diikuti oleh sorak warga lainnya, "Pancung... pancung...."
"Lagu opo? ojo ngawur kowe kang!" ucap Bapak semakin berani. Di titik itu aku yakin bahwa Bapak tidak bersalah. Matanya mengisyaratkan itu, ya pasti.
"Padha tuku nggawa welasah... itu yang aku dengar kemarin, sudah gak salah lagi," ucap orang tadi, yang ternyata tak berpeci dan tak bersarung.
"Ndak usah mengelak kamu Kang, ayoo pancung!" ucap yang lain menghakimi. Teriakan demi teriakan terus bersautan bersaing dengan raung tangis Ibu memohon welas asih, entah welas asih manusia, iblis ataupun Tuhan.
Bapak tampak kebingungan, hingga satu gerakan tiba-tiba dari Man Kosim membuat kami kaget. Man Kosim berusaha memelinting tangan Bapak dan menjegal untuk membuat Bapak bertekuk lutut. Namun, Bapak dengan gesit masih bisa mengelak dan menjatuhkan balik Man Kosim. Pemandangan itu membuat kami sedikit lega. Namun, sedetik kemudian, Man Kosim menyambar parang yang tercantol di pinggangnya dan langsung menyabet secepat kilat ke arah leher Bapak.
Bapak tak sempat mengelak. Darah segar mengucur deras dari leher. Aku tak tahu lanjutannya karena Mbak Yum lantas menutup mataku. Dia berteriak-teriak histeris seperti orang gila, sedangkan suara Ibu sudah tak terdengar lagi. Aku berontak, berusaha mengitip kejadian dari celah jemari Mbak Yum dan aku begitu menyesal sudah berusaha mengintip, kepala bapak sudah tidak ada. Diriku pun hilang, gelap ditelan sorakan para setan yang berpesta.
Tak kuat dengan tekanan, setelah kejadian itu akhirnya kami sekeluarga pindah ke Tulungagung, ditampung di rumah paman yang berbaik hati. Ibu yang berhati teduh kini tak pernah berbicara lagi, beringin itu sudah tumbang dan tak bisa tumbuh kembali, pandangan matanya kosong bahkan hingga akhir hayatnya.
Sebulan sebelum kepergian kami, aku baru tahu kalau tanah perkebunan Bapak sudah diambil alih, entah oleh siapa. Tanpa negosiasi. Kejadian yang menenggelamkan bahtera kehidupan kami, kecuali sebuah corong hitam yang tertinggal di halaman.
Sekarang aku di sini, berkeringat dan bernafas di tengah kerumunan para manusia pendamba perubahan, kerumunan manusia yang kecil, lemah namun sesak bergairah, mirip sperma. Kami menunggu sebuah sosok yang kami bahkan belum tahu apakah dia bisa menggunakan corong hitam di atas panggung tersebut. Apakah corong hitam tersebut akan digunakan sebagai abdi kebaikan atau sebaliknya, abdi setan yang dulu pernah kurasakan.