"Ayo pulang, teman-temanmu sudah pulang semua!" kejarnya dengan wajah pasi seperti mumi yang baru jadi.
Hanya itu kata-kata yang bisa kuingat dari Mbak Yum, kakak pertamaku. Karena setelah itu Mbak Yum menarik lenganku dengan kuat untuk mengikutinya melewati pinggiran ladang tebu. Jalan yang kulalui dengan Mbak Yum adalah jalan setapak yang berseberangan dengan jalan besar desa yang dipisah dengan ladang. Dari situ setiap berangkat sekolah aku bisa melihat dengan jelas orang yang berlalu lalang di jalan desa tersebut.
Namun kali ini tak biasa, bukan orang lalu lalang yang kulihat, namun aku melihat rentetan orang berduyun-duyun seperti habis lelayu, mereka ada yang bersarung, berpeci, bersinglet, berseragam dan banyak lagi. Mereka memang masing-masing berbeda, tapi yang kupahami kesamaannya ialah mereka berjalan seperti orang yang kesetanan. Mereka membawa celurit, parang, pedang, pisau masak, palu dan entah apalagi.
Aku dan Mbak Yum tentu saja kaget. Mbak Yum mempercepat langkahnya. Terseok-seok aku mengikutinya karena pandangan mataku tak bisa lepas dari mereka. Sekali aku sempat terjatuh dan itu ternyata tidak memperlambat langkah Mbak Yum. Mbak Yum jelas sedang berlomba dengan kerumunan itu. Wajahnya panik dan semakin pasi membuat aku tak kuasa untuk berbicara. Hatiku berdebar dan semakin berdebar ketika tahu bahwa arah yang mereka tuju sama dengan arah tujuan kami. Rumah Bapak.
"Mana Kang Bahar? Bawa Kang Bahar ke sini!" teriak Man Kosim dengan corong hitam di depan rumah kami.
Aku dan Mbak Yum yang datang dari belakang berjalan mengendap. Degup jantungku semakin bertambah tak karuan mendengar teriakan Man Kosim. Setahuku dulu, Man Kosim adalah teman sepermainan Bapak dari kecil yang sudah mendarah daging di kampung ini. Jangankan sekedar tingwe, beras saja pernah minta ke rumah. Tapi sekarang entah ada apa, apa salah Bapak sehingga dicari orang sekampung begini. Bahkan Man Kosim seakan jadi biang keladinya.
Seingatku baru kemarin Bik Jinem istri Man Kosim ke rumah meminjam beras karena mengeluh harga tebu hancur semenjak kejadian akbar di Ibu Kota sehingga hampir satu minggu tidak ada pemasukan. Ibuku yang berhati seteduh beringin di alun-alun, selalu membuka tangannya kepada siapa pun, apalagi Bik Jinem.
Aku dan Mbak Yum perlahan memasuki rumah yang mungil berlantai tanah. Bapak terlihat khusyuk di ruang tengah membaca doa-doa yang entah doa apa sudah tak terdengar karena rentetan teriakan saat ini bukan hanya dari Man Kosim, tapi juga beberapa pria kampung.
Aku sekilas menengok ke luar. Ternyata bukan hanya orang-orang bersarung dan berpeci, tapi juga ada beberapa pria berpakaian coklat. Namun para pria berpakaian coklat itu tak berteriak-teriak, mereka hanya menghisap kretek di belakang orang-orang kampung, seakan cuek tak peduli.
Bapak mencoba keluar rumah sambil terus merapal doa. Namun, sampai di ruang tengah Ibu tiba-tiba merunuk memegangi kaki Bapak dan menahan untuk tidak keluar rumah sambil menangis. Bapak tetap bersikeras untuk keluar dan menarik tangan ibu dari kakinya. Ibu dengan terseret-seret terus menahan kaki Bapak, derai airmatanya sudah tak bisa dilukiskan, bahkan aku yakin Dewa Ra pun tak akan mampu membendung dengan cahayanya. Demikian juga Mbak Yum yang mengikuti Ibu. Namun Bapak dengan yakin berkata bahwa dia tidak terlibat apa pun. Entah apa maksudnya.
Melihat Bapak keluar, Man Kosim dengan ganas langsung menunjuk Bapak dengan parang yang dibawanya. Parang berukir bulan sabit yang aku tak akan pernah lupa.