Setan!, lebih baik kuhirup cocktail bersama temanku tadi daripada aku berhadapan dengan dia, lelaki itu, pikirnya. Sudah tiga hari Kenanga bersamanya di setiap sore. Kemarin lusa, lelaki itu hanya berbicara soal indahnya Victoria Park, kemarin, giliran Kenanga yang bercerita soal masa lalunya di pengasingan, dan juga cerita yang sama dari lelaki berambut ikal itu.
Tiga hari, tanpa pernah memperkenalkan diri satu sama lain, entahlah mungkin esensi dunia modern yang rumit sehingga apalah arti nama jika masih bisa bercerita dan tentunya bercinta.
Lelaki itu menyuruput kopinya yang entah mengapa berbau anyir.
“Kau tahu, aku ingin..”
“Aku tahu, kau ingin ke Victoria Park kan?” Potong Kenanga.
Namun sedetik kemudian, Kenanga tiba-tiba merasa kikuk, dia merasa tak enak telah memotong ucapan lelaki itu, karena lelaki itu mengucap “Victoria” bagai mantra dukun minta hujan, diucapkan perlahan, khusyuk, dengan kecupan bibir dan mata terpejam.
Dua hari, tak ada kalimat lain selain Victoria Park. Lelaki yang absurd, tapi mengasyikkan, selama tiga hari ini dia merasa mendapat teman untuk mengarungi keabsurdan imajinya.
“Sudah tiga hari kita bertemu, tapi kau selalu berucap demikian” ujar Kenanga.
“Apakah kau pernah ke Victoria Park?”
“Belum, aku hanya melihatnya di tumpukan email-email kosong di kandang kecoa” jawab sang lelaki.
“Ah, taman yang begitu apik, begitu rindang, luas, bahkan jiwaku rela oncat dari raga untuk menyusuri setiap lekukannnya”