Sudah dua hari ini, Kevin mengurung diri di kamarnya. Dia bahkan tidak mau menyentuh makanannya yang diletakkan di depan pintu oleh Mba Dhea. Semua penghuni rumah khawatir dengan Kevin.
"Sudah lama nggak lihat Kevin murung kayak gitu. Terakhir kali pas mau pindah rumah," kata Gilang setelah menyesap secangkir kopinya sewaktu mereka sarapan bersama, kecuali kehadiran Kevin. Â "Aku sudah menceritakan semuanya kepada tuan dan nyonya besar, orang tua Kevin maksudnya, dan reaksi mereka juga kurang lebih sama dengan Kevin," lanjutnya.
"Tuan Kevin pasti butuh waktu untuk menyendiri. Biarkan saja dulu," kata mba Dhea. "Tapi harus makan juga dong! Masa masakanku harus dimakan sama Tuan Gilang terus, sih? Lama-lama Tuan Gilang bisa gemuk nanti," lanjutnya sembari mencuci piring bekas sarapan mereka semua.
"Heh, sembarangan! Aku nih, ya, walaupun makan banyak, tapi nggak pernah gemuk, tuh! Daripada mubazir, aku makanlah!" sahut Gilang.
Adu mulut pun terjadi di antara keduanya. Kaori hanya menghela napas lalu pergi ke kamar untuk melanjutkan belajar. Sedangkan Alina termenung, lalu memandangi kamar Kevin yang sejak dua hari yang lalu tidak pernah dibuka.
Malam telah larut, namun sampai saat ini Alina belum bisa memejamkan matanya untuk pergi ke alam mimpi. Pikirannya hanya mengarah pada satu hal, yakni Kevin. Dia ingin berbicara kepada Kevin, dia khawatir padanya. Dia pergi  secara mengendap-endap dari kamarnya agar Kaori dan Mba Dhea tidak terbangun. Begitu sampai di depan pintu kamar Kevin, dia mengetuki pintu sebanyak tiga kali. "Tuan Kevin, ini Alina. Aku ingin bicara sesuatu."
Hening. Alina pikir mungkin Kevin sudah tidur lelap. Ketika dia hendak berbalik menuju kamarnya, suara sensor kunci otomatis pintu berkedip berwarna hijau. "Masuk," sahut Kevin pelan dari dalam kamar.
Setelah mengucapkan permisi, Alina masuk ke dalam kamar dengan pintu yang sedikit terbuka. Dengan pencahayaan lampu tidur, Alina mendapati Kevin tengah berbaring membelakangi dirinya. Dia pun duduk di tepi ranjang yang empuk. "Maaf ya, kalau mengganggu tidurmu," ucap Alina dengan suara lirih.
"Nggak papa. Jadi, mau ngomong apa?" tanya Kevin tanpa menoleh.
"Semuanya khawatir sama kamu, lho! Setidaknya harus makan dong, itu kata Mba Dhea waktu sarapan tadi," ucap Alina dengan khawatir.
"Jika hanya itu yang ingin dibicarakan, tolong pergi sekarang. Aku tidak perlu dikasihani," ucap Kevin. Dari balik selimutnya, dia sedang memeluk bingkai foto adiknya, Jesika, dari laci meja kerjanya.
Alina memandangi Kevin yang tengah dihinggapi kesedihan yang mendalam. "Yang kamu peluk itu, bingkai foto nona Jesika 'kan? Nona Jesika pasti sedih juga di sana, karena melihat kakaknya seperti ini. Tapi, entah kenapa aku paham juga rasanya," ucap Alina sambil menunduk. "Ketika ayah tiada, aku sangat sedih sampai mengurung diri di kamar selama tiga hari. Kaori jadi sangat khawatir kepadaku, dan aku merasa bersalah karenanya," tambahnya.
Kali ini, Kevin menoleh ke arahnya. Dia pun berganti posisi menjadi duduk. Dia lupa kalau mereka berdua masih dalam suasana duka. Alina yang tidak menyadarinya, melanjutkan cerita. "Tapi ya, ketika aku melihat langit malam, seolah-olah ayah ada di sana dan tersenyum kepadaku. Hanya melihatnya saja, hatiku menjadi tenang walau akhirnya menangis juga. Ayah sangat baik kepada kami, pekerja keras, dan selalu meluangkan waktunya untuk kami. Namun, hal itu tidak berlangsung lama. Ayah tiada karena penyakit yang sudah lama dideritanya. Aku bingung, sedih, frustasi menjadi satu. Akhirnya ditangkap oleh sang pemandu dan dijadikan budaknya. Eh, malah cerita lagi jadinya," Ketika Alina menoleh, Kevin menatap dirinya lekat-lekat.
Kemudian, Kevin duduk di sampingnya. "Lanjutkan saja. Aku mendengar," katanya.
Alina tersenyum. "Di saat itulah, aku bertemu kamu. Kamu yang sedang berusaha menghadapi semuanya sendiri tanpa ingin merepotkan orang lain. Di balik kekayaan konglomerat, topeng datar dan kalemnya kamu itu, ada rasa kesedihan dan kehampaan yang belum sembuh," ucap Alina sambil tersenyum tulus kepadanya.
Kevin tertegun. Makanya dia tersenyum seperti itu kepadaku. Dia sedang membaca karakterku, batinnya.
"Terima kasih, sudah mau menerima kami berdua di rumah ini. Terima kasih juga, sudah memaafkan Viola," kata Viola dengan lembut. "Tolong, mulai sekarang berdamailah dengan diri sendiri. Karena jika tidak, akan ada seseorang yang bersedih," tambahnya seraya beranjak berdiri di hadapan Kevin.
Alina membuka tangannya. "Kalau kamu butuh tempat bersandar ... aku di sini. Mau aku peluk?"
Kevin terkejut. Matanya membesar, tapi dadanya tiba-tiba terasa sesak. Tangisnya yang semula hanya berupa isak kecil berubah menjadi banjir air mata. Alina mendekat perlahan, membuka tangannya dengan sabar. Tanpa pikir panjang, Kevin menerima pelukannya. Kehangatan yang ia rasakan membuat tembok besar di hatinya runtuh. Itu bukan sekadar perlukan-itu adalah pengingat bahwa ia tidak sendirian.
"Aku ... merasa gagal menjadi kakak ..." Kevin akhirnya bersuara di sela tangisnya. "Aku ... kesepian ketika Jesika tidak ada lagi di dekatku ... aku takut kehilangan lagi ..."
"Makanya kamu menjaga jarak dengan kami?" tanya Alina dengan lembut. Dia mengusap pelan kepala Kevin, memberikan sugesti ketenangan untuknya, seakan-akan sedang mengelus seekor anak kucing. Kevin mengangguk mengiyakan dalam pelukannya.
"I know that people come and go. But, before that happens, I want to be able to have fun with them, enjoy all the moments. So, I can say, 'thank you for coming into my life'," Alina berkata demikian dengan riang.
Kevin semakin mengeratkan pelukan. Tuhan, sekali ini saja, biarkan waktu berhenti sebentar. Dia tidak ingin momen ini berakhir dengan cepat. Dia sudah lama tidak merasakan kehangatan ini. Sejak kejadian itu, orang tuanya sering dinas keluar kota bahkan antar negara. Jarang meluangkan waktu untuk dirinya, hanya saat momen kelulusan atau tidak pemberian sebuah penghargaan kepadanya. Makanya dia merasa kesepian.
Setelah dirinya merasa tenang, Kevin melepas diri dari pelukan Alina. "Terima kasih, nona putri duyung," kata Kevin sambil tersenyum. "Terus, mau sampai kapan kalian di situ? Kepo banget perasaan" Kevin melihat ke arah mereka yang termyata sedang mengintip dari celah pintu. Alina terkejut dan ikut menoleh ke arah pintu.
Tanpa pikir panjang, Gilang mendorong pintu dengan keras dengan senyuman tidak bersalah. "Punten, Mamang!"
Terlihat Kaori dan Mba Dhea yang sedang menatap mereka berdua dengan tatapan menggoda. "Kiw, kiw! Kayaknya kita ganggu yang lagi kasmaran, nih," Mba Dhea malah memprovokasi sambil mengangkat kedua alisnya.
"Iya ya, Mba Dhea!" kata Kaori sambil tepuk jidat. "Terus, gimana dong?" tanyanya kemudian kepada dua orang dewasa di dekatnya.
Mereka bertiga berpikir sejenak, sebelum akhirnya merasa satu pikiran dengan senyuman yang terlihat menjengkelkan bagi Kevin. "Cabut, yuk! Sebelum dimarahi sama Babang Kevin!"
Mereka bertiga kompak mengunci dua insan tersebut di dalam kamar menggunakan sensor otomatis yang pin-nya diketahui oleh Mba Dhea. Dua insan tersebut terdiam melihatnya. "Kayaknya aku bakal marahi mereka semua nanti pagi," komentar Kevin kemudian.
Tiba-tiba Kevin memeluk Alina kembali dengan erat. "Aku ingin seperti ini selama sepuluh menit," katanya seperti anak kecil yang manja kepada ibunya.
Alina awalnya terkejut, namun akhirnya dia tertawa kecil mendengarnya. "Baiklah, hanya sepuluh menit saja, ya?" Dia kembali mengelus kepala Kevin.
"Aku baru sadar, kamu nggak panggil aku pakai 'Tuan' lagi. Kenapa?" tanya balik Kevin di sela-sela pelukannya.
"Hmm, kenapa ya? Nggak tahu, tiba-tiba udah kayak gini aja!" ujar Alina, pura-pura tidak tahu. "Yah, anggap saja kita sudah akrab! 'Gimana?" lanjutnya yang diakhiri dengan pertanyaan.
"Iya-in, biar seneng," ujar Kevin yang menahan tawa. Mereka benar-benar melakukannya selama sepuluh menit kedepan. Â
Bersambung ....
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI