Tidak ingin melewatkan momen berharga menyambut kedatangan anggota baru rumah, Mba Dhea yang dibantu oleh Gilang dan para gadis yang memaksa untuk membantu padahal mereka bintang tamunya, memasak jamuan makan malam yang cukup banyak lagi terbilang cukup mewah. Suasana meja makan semakin ramai dengan selingan candaan dan obrolan santai oleh mereka semua.
"Oh, iya! Berapa umur kalian, girls? Aku tidak sempat bertanya tadi siang," tanya Gilang penasaran.
"Aku 20 tahun, kalau Kaori 19 tahun," jawab Alina dengan cepat.
"Wah, berarti umur anak kuliahan," timpal Mba Dhea setelah meneguk segelas air putih.
"Kalian mau homeschooling? Kebetulan aku punya kenalan guru yang ahli dibidang itu," tawar Kevin usai menelan masakan daging sapi.
"Dengan senang hati, kami menerima tawaran Tuan! Karena ilmu bisa menjadi pegangan selama menjalani hidup," timpal Kaori. Kebetulan, dia tipe anak yang haus ilmu pengetahuan.
"Duh, sekolah lagi ya? Aku bosan kalau harus duduk diam sambil mendengar ocehan guru selama beberapa jam." Alina justru merasa tidak bersemangat dengan tawaran dari Kevin.
Mba Dhea tersenyum. "Setidaknya kamu harus bersyukur karena bisa menimba ilmu lagi, Na. Kamu beruntung lho, masih bisa belajar walau non-formal! Coba kamu tukar posisi sama Mba! Modal lulusan SMP, tapi harus merantau ke ibu kota demi sesuap nasi untuk keluarga," ujarnya agar Alina termotivasi untuk terus belajar.
Alina dan Kaori tertegun mendengarnya. Mereka baru mengetahui jika Mba Dhea punya masa lalu yang cukup berat. "Terima kasih atas wejangannya, Mba Dhea. Maaf karena tadi sudah mengeluh," ujar Alina yang agak malu dengan dirinya sendiri.
Mba Dhea menggeleng pelan. "Sama-sama, Non Alina. Yang semangat yah, belajarnya! Jangan mau kalah sama Non Kaori," katanya sembari mengacungkan jempol.
Alina memberi hormat kepada Dhea seraya berkata, "Siap, laksanakan Bu Dhea!"
Malam itu, mereka semua tertawa bahagia dalam satu meja dengan suasana rumah yang hangat dan menenangkan.
                                                                ~~~~~
Alina merasa agak bingung dengan pola pikir Kevin dan bagaimana cara memperlakukan dirinya serta Kaori. Dia merasa jika sang penyelamat seperti membuat jarak di antara mereka. Kevin lebih sering pulang larut malam lalu berangkat pagi-pagi buta. Walau hanya sekadar mengobrol, Kevin hanya merespon seadanya. Jika ditanya alasannya mengapa, dia hanya menjawab dengan kata sibuk atau tidak punya waktu.
Alina berinisiatif untuk bertanya kepada Gilang. "Tuan Gilang, boleh minta waktunya sebentar?" izin Alina kepada Gilang yang sedang mencuci sepeda motor miliknya.
Gilang menoleh. "Oh, iya, boleh! Mau tanya apa?" katanya sambil menghentikan kegiatannya itu.
"Entah ini hanya perasaanku saja atau memang benar ... Aku rasa, Tuan Kevin seperti menjaga jarak dengan kami berdua. Kalau memang iya, boleh beri tahu alasannya apa?" Alina bertanya dengan ragu-ragu, takut menyinggung akan sesuatu.
Gilang tertegun, kemudian menghela napas gusar. Dia pun mengajak Alina ke ruang kerja Kevin. Di dalam laci meja, sebuah album foto kecil yang menampilkan wajah seorang anak perempuan kecil yang tersenyum manis dalam balutan gaun berwarna putih dengan hiasan pita merah di pinggangnya. Gilang mengambil bingkai foto tersebut, lalu mengusapnya perlahan dari debu yang menempel. "Dia bernama Jesika, mendiang adik Tuan Kevin yang sudah lama tiada sejak kami masih SD," jelasnya kepada Alina.
Gilang menatap sejenak bingkai foto tersebut lalu menaruhnya di atas meja kerja Kevin yang agak berdebu. "Bisa dibilang, aku, Kevin serta Jesika adalah teman masa kecil walau kami tidak terlalu akrab. Dulu, kami sempat bertetangga sebelum Kevin beserta keluarga pindah rumah ke Jawa Tengah. Ceritanya, kami bertiga sedang asyik bermain di pantai dekat rumah. Kamu tahu, seperti yang dilakukan anak-anak ketika berada di pantai pada umunya. Membangun istana pasir, mencari  kerang, berenang dalam zona aman dan sebagainya. Nah, suatu ketika, kami menemukan tubuh seorang wanita yang terdampar di tepi pantai yang letaknya agak jauh dari rumah kami. Anehnya, dia memiliki sirip ekor ikan dengan kulit berwarna perak serta bentuk wajah yang seram. Begitu kami dekati, ternyata wanita tersebut masih hidup. Sejak pertemuan itu, kami sering bermain di pantai dengan wanita tersebut," terangnya sambil tersenyum.
Namun, mendadak senyumnya meredup. "Tapi, pada suatu malam di bulan purnama, Kevin datang ke rumahku dengan raut wajah panik. Katanya, Jesika menghilang dari kamarnya. Ditemani pelayan pribadi Kevin sebelumnya, kami bertiga memutuskan untuk mencari ke pantai tempat biasa kami bermain. Berteriak ke sana kemari memanggil namanya beberapa kali, berusaha melawan suara gempuran ombak pasang air laut. Begitu kami menjumpai kembali wanita tersebut yang tengah duduk di bongkahan batu pantai, kami semua sangat terkejut sekaligus merinding," terangnya lagi, kini wajahnya tertunduk ke bawah. Memberi jeda sejenak untuk mengatur napas.
"Apa yang terjadi selanjutnya?" tanya Alina yang sudah tidak sabar.
Gilang menatap lekat-lekat Alina. "Jesika ... dimakan oleh wanita duyung tersebut. Menyisakan kepala dan kedua tangannya saja," kata Gilang dengan lirih.
Sontak Alina merasa hendak memuntahkan makan siangnya dari dalam perutnya, jika ia tidak berusaha menahannya. Kaori yang kebetulan lewat di depan ruang kerja, keheranan melihat Alina seperti orang yang hendak muntah. Ketika dia bertanya kepada Gilang yang dijawab dengan kronologi ringkasnya, dia membelakkan mata tidak percaya.
"Siren," katanya pelan yang mengundang perhatian mereka berdua. "Wanita yang tuan-tuan sekalian temui adalah siren atau makhluk sejenis putri duyung namun dalam versi kebalikan, yang sedang mencari mangsa. Ini hipotesisku saja, kemungkinan besar Nona Jesika mendengar nyayian merdu siren yang menghipnotis dirinya hingga membawanya ke pantai. Ketika keadaan dirasa aman, Nona Jesika langsung dimangsa oleh siren tersebut karena kelaparan. Artinya, siren tersebut sudah mengintai keadaan pantai tempat tuan-tuan bermain lalu mencari waktu yang tempat untuk mencari mangsa. Sebagai tambahan, selain ikan-ikan kecil, siren suka memangsa manusia yang terlena dengan nyanyian merdunya lalu menyantap mangsa tersebut mentah-mentah," tambahnya dengan panjang lebar.
"Mungkin saja begitu ya," kata Gilang menyetujui hipotesis Kaori. "Begitu kami saling tatap-menatap, sontak si siren langsung kabur dengan menceburkan diri ke laut tanpa sempat kami cegah. Aku hanya bisa menatap penuh iba, ketika Kevin memeluk sisa-sisa tubuh adiknya yang masih utuh dengan berlumuran darah sambil menangis kencang. Dia berkata begini sambil berteriak, 'Begitu aku melihatmu lagi, jangan harap kau bisa lepas dari cengkeramanku! Camkan itu, dasar pembunuh!,' yang di mana jasad Jesika dikebumikan besok paginya. Kami berdua memutuskan untuk berterus terang dengan kejadian tersebut. Awalnya keluarga Kevin tidak percaya, namun atas dasar penguatan fakta oleh pelayan pribadi Kevin, mereka akhirnya percaya. Beberapa hari kemudian, keluarga Kevin pindah rumah ke Jawa Tengah. Kami baru bertemu kembali saat kuliah dan keadaannya sedikit canggung waktu itu. Namun, akhirnya kami bisa akrab lagi dan Kevin menawariku sebagai sopir pribadinya yang tentunya aku jalani sampai detik ini," terang Gilang panjang lebar.
Baik Alina dan Kaori merasa kasihan dengan Kevin. "Jadi, mungkin itu alasan Tuan Kevin enggan dekat dengan kami karena trauma masa lalunya," kata Alina sembari menatap bingkai foto mini tersebut.
"Bukan mungkin lagi, melainkan benar apa adanya." Tiba-tiba Kevin sudah ikut berkumpul dengan mereka. Dengan tangan yang saling menyilang, dia bersandar di bibir pintu dengan dahi yang mengernyit.
Bersambung ...
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H