Mohon tunggu...
ryendazo
ryendazo Mohon Tunggu... Lainnya - Pelajar yang sedang mencari jati dirinya saat ini

Seorang biasa yang sedang berusaha menjadi sesuatu. Menulis adalah salah satu kegemarannya.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Hati Selembut Awan

22 November 2024   18:10 Diperbarui: 22 November 2024   18:46 27
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Keadaan kembali kondusif, para warga kembali beraktivitas seperti sedia kala. Menyisakan mereka berdua bersama para petani yang sedang memanen padi yang jaraknya agak berjauhan dari mereka. Ditemani suara kicauan burung gereja dan burung pipit, mengisi suasana yang kembali lengang itu. Namun, Laura tiba-tiba bertanya, "Kakek, kita sebagai sesama manusia harus saling tolong menolong 'kan?" tanyanya kepada kakeknya yang berada di sebelahnya.

Kakek Hasyim menoleh dan menjawab, "Iya, dong! Toh, kita hidup di dunia ini sama-sama saling membutuhkan satu sama lain. Seperti orang jahat perlu orang baik, dan pembohong yang perlu orang jujur, dan semacamnya. Se-penyendiri apapun orangnya juga masih membutuhkan bantuan orang lain dalam hidupnya," terangnya dengan ramah. "Memangnya kenapa, Laura?"

Laura menatap kakeknya. "Kemarin, Laura membantu teman yang sedang mengalami kesulitan dalam memahami pelajaran. Nah, giliran aku yang tanya, dia malah nggak mau bantu. Katanya, 'Coba cari di Gofelt,' sambil terus main bermain gawainya. 'Kan saya jadi emosi dibuatnya," jela Laura panjang lebar sekaligus curhat kepada kakeknya.

Bukannya prihatin, justru kakeknya tertawa kecil melihat muka masam cucunya. Hal itu mendapat protes dari Laura dan membuatnya semakin cemberut sambil menyilangkan kedua tangannya. Namun, kakek Hasyim pun berkata, "Laura, cucu kakek yang pintar ini, mungkin saja temanmu memang tidak tahu begaimana menjelaskan pelajaran yang kamu tanyakan. Tapi, setelahnya jangan sampai membuat kamu tidak mau menolong teman-teman yang lain, ya? Tetaplah membantu temanmu yang sedang kesusahan dalam hal kebaikan. Sampai sini sudah paham?" Begitulah wejangan atau petuah dari kakek Hasyim kepada Laura.

Laura yang tadinya cemberut, dibuat tersenyum setelah mendengar wejangan dari kakeknya. Di siang yang terik itu mereka berdua habiskan dengan berkeliling di sekitar ladang sawah milik Hasyim seraya sesekali melemparkan bahan candaan dan berteduh di sebuah pondok kecil yang berada di tengah-tengah sawah.

Hari menjelang sore. Sebelum pulang dari sana, Laura dan kedua orang tuanya berpamitan kepada para kerabat, sambil membawa beberapa buah tangan yang diberikan oleh mereka secara gratis. Dalam perjalanan pulang, ketika kedua orang tuanya sedang asyik membicarakan sesuatu di kursi depan, Laura melamun sambil menopang dagu, memandangi alam sekitar yang masih asri di balik kaca mobil. Dia masih memikirkan perkataan kakeknya, di mana di satu sisi dia merasa setuju, sedangkan di sisi lain dia merasa tidak setuju. "Minimal, kalau dibantu bilang terima kasih atau apa begitu," gumamnya dengan kesal.

Merasa bosan, akhirnya dia memutuskan untuk memejamkan matanya sejenak. Bersama dengan mobil yang terus melaju membelah jalan beraspal di bawah langit senja.

Keesokan harinya...

Sinar mentari pagi memaksa masuk ke dalam ruangan di antara celah-celah jendela dan ventilasi udara di kamar Laura. Gadis remaja tersebut nampak terganggu dan dia berusaha untuk tidur kembali. Akan tetapi ,dia harus mengurungkan niatnya menunda-nunda beranjak dari kasur. Ibu sudah memanggilnya untuk sarapan bersama di ruang dapur. Denga malas, dia memutuskan untuk beranjak dari kasur dan mengusir bau badan serta keringatnya dengan cara mandi. Tubuhnya kembali merasa segar dibuatnya.

Usai mandi dan mengenakan seragam, dia berjalan ke arah dapur yang langsung disambut aroma masakan untuk sarapan kali ini. Duduk di kursi yang berhadapan dengan ayahnya, dia melihat aneka lauk pauk yang telah tersaji di ata meja bertaplak motif bunga tersebut. Ada nasi goreng, ikan goreng, tumis kangkung, tempe mendoan, aneka buah-buahan serta secangkir teh manis panas dengan asap yang masih mengepul, siap menemani mereka pada  suasana pagi yang hangat ini. Sedangkan ibunya tengah sibuk mencuci piring dan menyiapkan bekal untuk keduanya.

Usai sarapan, dia berpamitan kepada kedua orang tuanya sambil mencium tangan mereka, lalu mengenakan alas kaki. Dirasa sudah siap, Laura mulai melangkahkan kakinya ke luar rumah sambil membawa tas di punggungnya untuk berangkat ke sekolah. Di tengah perjalanan, dia berpapasan dengan satu makhluk yang sangat tidak ingin ditemuinya saat ini. Dia adalah Darwis Wagner, berdarah campuran Jerman-Indo. Kebetulan tempat duduknya di samping di samping persis barisan tempat Laura duduk dan rumah mereka cukup berdekatan. Bukannya saling bertukar sapa, justru mereka saling melemparkan tatapan sengit satu sama lain hingga kilatan listrik bisa terlihat di antara mereka berdua. "Dih, kamu lagi, kamu lagi! Bisa nggak, sih, berangkatnya cepat sedikit? Bisa-bisa aku muak melihat mukamu itu," cerocos Laura sambil melayangkan tatapan jijik kepadanya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun