Matahari nampak bersinar terang di kala siang ini. Bersama dengan sekumpulan awan yang membumbung tinggi di kanvas biru ciptaan-Nya. Terlihat sebuah mobil sedan berwarna putih sedang terjebak macet yang berada di sebuah jalan raya dengan di sebelah kanan adalah jembatan rel kereta api dan di sisi sebelah kiri adalah jalan umum. Di apit oleh dua mobil truk di sisi depan dan belakang, mereka benar-benar terjebak di sana. Di dalam mobil, terdapat sebuah keluarga kecil yang sedang menunggu giliran untuk jalan. Alunan musik jazz yang mengalun melalui speaker mobil yang ditancapkan, serta pendingin ruangan yang membuat telapak kaki merasa kedinginan, menemani mereka dalam kemacetan.
Laura dan keluarganya hendak berkunjung menuju rumah keluarga ayahnya yang berada di daerah perbukitan. Dia dengan sabar menunggu mobil mereka jalan kembali sambil menopang dagunya dengan tangan, memandangi alam sekitar yang masih terlihat asri dan sejuk. Dalam perjalanan, terlebih dahulu mereka harus melewati rumah-rumah penduduk, kemudian area hutan jati yang masih rindang, lalu sungai-sungai yang mengalir dengan deras, area persawahan yang menghijau karena telah masuk musim panen padi, serta beberapa jalanan yang rusak akibat banjir yang melanda beberapa waktu lalu di sekitar area tersebut.
Beberapa menit menunggu, akhirnya mobil bisa berjalan kembali. Penyebab kemacetan tadi adalah adanya kegiatan proyek akibat ada bagian jalan yang ambles akibat hujan deras. Mobil pun terus melaju membelah jalan beraspal, menyalip beberapa kendaraan, area persawahan yang menghijau karena musim panen padi, memasuki sebuah desa yang dikelilingi perbukitan dan beberapa meter kemudian mereka telah sampai di rumah keluarga ayahnya. Usai memarkirkan mobil di bahu jalan desa karena tidak terdapat lahan parkir yang memadai, Laura bergegas turun dari mobil dan berlarian kecil ke dalam rumah. Bangunan sederhana berwarna hijau tua yang berdiri di sekitar lahan tidak lebih dari satu hektar itu berdiri kokok dengan rumah para tetangga.
Begitu sampai, dia melepas alas kaki terlebih dahulu sebelum bertemu dengan kakek, bibi dan kakak sepupunya. Mereka menyambut keluarga Laura dengan keramah-tamahan yang hangat, sebelum menanyakan kabar masing-masing. "Yang lain ke mana, Bi?" tanya Laura sambil mencomot kue kering yang ada di dalam toples di ruang tamu.
Bibinya yang berada di sampingnya persis pun menjawab, "Lagi pada sibuk kerja. Mas Hafiz pulangnya bulan depan sedangkan tante Rima baru dapat jatah libur dua minggu lagi," katanya sambil tersenyum kepada keponakannya itu.
Laura mangut-mangut. "Semuanya lagi semangat bekerja ya, Bude," katanya.
Setelah itu tidak banyak yang dia lakukan selain berbincang santai dengan kerabatnya dan bermain gawai di ruang tengah atau ruang keluarga. Kakeknya yang melihat hal itu dengan raganya yang masig segar-bugar, berinsiatif mengajak cucunya, Laura, untuk pergi menuju ladah sawahnya yang terletak tidak jauh dari rumah. Laura mengiyakan ajakan tersebut dan berjalan keluar secara berdampingan dengan kakeknya. Sepanjang perjalanan, kakeknya dengan ramah menyapa para warga desa dan disapa balik oleh mereka. Dulu, kakeknya pernah menjabat menjadi ketua RT sehingga banyak yang mengenali dirinya. Laura pun tidak ikut ketinggalan disapa dan dia menyapa balik warga desa dengan senyuman manisnya.
Ketika hampir sampai di ladang sawah, dari arah depan mereka melihat seorang kakek-kakek yang sedang melintasi jalanan. Mengenakan pakaian ala petani lengkap dengan topi capingnya sedang membawa motor yang lumayan jadul dan dibelakangnya terdapat sebuah karung yang berisi penuh dengan rumput untuk pakan ternak. Tiba-tiba dari arah samping terlihat seekor kerbau yang berlari kencang dan sepertinya hendak menyeberang ke samping bahu jalan. Baik Laura maupun kakeknya sama-sama terkejut dibuatnya dan begitu pula dengan si kakek. Demi menghindari tabrakan, dia membanting setir ke arah kanan. Alhasil ia jatuh terperosok ke area persawahan yang masih tergenangi air.
Tanpa banyak berpikir, Laura dan kakeknya bergegas membantu si kakek yang jatuh terperosok bersama motornya itu. Untung saja beliau tidak mengalami cedera serius, hanya beberapa luka goresan yang terukir di kulitnya yang sudah menua akibat gesekan tubuh dengan aspal jalan. "Terima kasih, ya, Mang Hasyim, Nok Laura. Sudah mau membantu saya," kata si kakek setelah dibantu oleh mereka berdua.
Mang Hasyim, atau kakeknya Laura berujar, "Sama-sama, Joko. Sama sekali tidak merepotkan, kok," ujarnya kepada kakek Joko. Laura pun berkata demikian kepada kakek Joko dengan bahasa yang lebih sopan.
Tidak lama kemudian, beberapa warga yang kebetulan berada di sana mulai berdatangan menghampiri mereka bertiga. Setelah menanyakan keadaan, para warga menawarkan kepada kakek Joko untuk dibawa ke puskesmas terdekat. Dengan senang hati beliau menerima tawaran dari beberapa orang yang sudah berbaik hati mau mengantarnya ke puskesmas.
Keadaan kembali kondusif, para warga kembali beraktivitas seperti sedia kala. Menyisakan mereka berdua bersama para petani yang sedang memanen padi yang jaraknya agak berjauhan dari mereka. Ditemani suara kicauan burung gereja dan burung pipit, mengisi suasana yang kembali lengang itu. Namun, Laura tiba-tiba bertanya, "Kakek, kita sebagai sesama manusia harus saling tolong menolong 'kan?" tanyanya kepada kakeknya yang berada di sebelahnya.
Kakek Hasyim menoleh dan menjawab, "Iya, dong! Toh, kita hidup di dunia ini sama-sama saling membutuhkan satu sama lain. Seperti orang jahat perlu orang baik, dan pembohong yang perlu orang jujur, dan semacamnya. Se-penyendiri apapun orangnya juga masih membutuhkan bantuan orang lain dalam hidupnya," terangnya dengan ramah. "Memangnya kenapa, Laura?"
Laura menatap kakeknya. "Kemarin, Laura membantu teman yang sedang mengalami kesulitan dalam memahami pelajaran. Nah, giliran aku yang tanya, dia malah nggak mau bantu. Katanya, 'Coba cari di Gofelt,' sambil terus main bermain gawainya. 'Kan saya jadi emosi dibuatnya," jela Laura panjang lebar sekaligus curhat kepada kakeknya.
Bukannya prihatin, justru kakeknya tertawa kecil melihat muka masam cucunya. Hal itu mendapat protes dari Laura dan membuatnya semakin cemberut sambil menyilangkan kedua tangannya. Namun, kakek Hasyim pun berkata, "Laura, cucu kakek yang pintar ini, mungkin saja temanmu memang tidak tahu begaimana menjelaskan pelajaran yang kamu tanyakan. Tapi, setelahnya jangan sampai membuat kamu tidak mau menolong teman-teman yang lain, ya? Tetaplah membantu temanmu yang sedang kesusahan dalam hal kebaikan. Sampai sini sudah paham?" Begitulah wejangan atau petuah dari kakek Hasyim kepada Laura.
Laura yang tadinya cemberut, dibuat tersenyum setelah mendengar wejangan dari kakeknya. Di siang yang terik itu mereka berdua habiskan dengan berkeliling di sekitar ladang sawah milik Hasyim seraya sesekali melemparkan bahan candaan dan berteduh di sebuah pondok kecil yang berada di tengah-tengah sawah.
Hari menjelang sore. Sebelum pulang dari sana, Laura dan kedua orang tuanya berpamitan kepada para kerabat, sambil membawa beberapa buah tangan yang diberikan oleh mereka secara gratis. Dalam perjalanan pulang, ketika kedua orang tuanya sedang asyik membicarakan sesuatu di kursi depan, Laura melamun sambil menopang dagu, memandangi alam sekitar yang masih asri di balik kaca mobil. Dia masih memikirkan perkataan kakeknya, di mana di satu sisi dia merasa setuju, sedangkan di sisi lain dia merasa tidak setuju. "Minimal, kalau dibantu bilang terima kasih atau apa begitu," gumamnya dengan kesal.
Merasa bosan, akhirnya dia memutuskan untuk memejamkan matanya sejenak. Bersama dengan mobil yang terus melaju membelah jalan beraspal di bawah langit senja.
Keesokan harinya...
Sinar mentari pagi memaksa masuk ke dalam ruangan di antara celah-celah jendela dan ventilasi udara di kamar Laura. Gadis remaja tersebut nampak terganggu dan dia berusaha untuk tidur kembali. Akan tetapi ,dia harus mengurungkan niatnya menunda-nunda beranjak dari kasur. Ibu sudah memanggilnya untuk sarapan bersama di ruang dapur. Denga malas, dia memutuskan untuk beranjak dari kasur dan mengusir bau badan serta keringatnya dengan cara mandi. Tubuhnya kembali merasa segar dibuatnya.
Usai mandi dan mengenakan seragam, dia berjalan ke arah dapur yang langsung disambut aroma masakan untuk sarapan kali ini. Duduk di kursi yang berhadapan dengan ayahnya, dia melihat aneka lauk pauk yang telah tersaji di ata meja bertaplak motif bunga tersebut. Ada nasi goreng, ikan goreng, tumis kangkung, tempe mendoan, aneka buah-buahan serta secangkir teh manis panas dengan asap yang masih mengepul, siap menemani mereka pada  suasana pagi yang hangat ini. Sedangkan ibunya tengah sibuk mencuci piring dan menyiapkan bekal untuk keduanya.
Usai sarapan, dia berpamitan kepada kedua orang tuanya sambil mencium tangan mereka, lalu mengenakan alas kaki. Dirasa sudah siap, Laura mulai melangkahkan kakinya ke luar rumah sambil membawa tas di punggungnya untuk berangkat ke sekolah. Di tengah perjalanan, dia berpapasan dengan satu makhluk yang sangat tidak ingin ditemuinya saat ini. Dia adalah Darwis Wagner, berdarah campuran Jerman-Indo. Kebetulan tempat duduknya di samping di samping persis barisan tempat Laura duduk dan rumah mereka cukup berdekatan. Bukannya saling bertukar sapa, justru mereka saling melemparkan tatapan sengit satu sama lain hingga kilatan listrik bisa terlihat di antara mereka berdua. "Dih, kamu lagi, kamu lagi! Bisa nggak, sih, berangkatnya cepat sedikit? Bisa-bisa aku muak melihat mukamu itu," cerocos Laura sambil melayangkan tatapan jijik kepadanya.
Darwis, laki-laki berkacamata dengan balutan jaket berwarna biru tua itu memutar bola matanya malas. "Apa, sih? Sok mengatur hidup orang  lain. Dirasa dirinya sendiri sudah sempurna," ejeknya sambil berjalan mendahului Laura.
Rasanya Laura ingin memukul wajahnya sekarang, namun dia masih bisa menahan diri. "Sabar Laura, sabar. Memang kurang ajar dia," batinnya sambil mengelus-elus dada. Dia mulai berjalan mengikuti Darwis dari belakang  dengan batas jarak aman.
Laura dan Darwis seringkali terlibat cek-cok satu sama lain, entah karena berbeda jawaban soal ujian-lah, pembagian tugas kelompok-lah dan lain-lain. Kemarin lusa, dia inilah yang ketika dimintai tolong oleh Laura tentang pelajaran fisika, dia tidak melakukan kontak mata dengannya dan menjawab dengan enggan, "Cari jawabannya sendiri di Mbah Gofelt," sambil terus terpaku di depan layar ponselnya. Laura yang tidak terima dan terlanjur tersulut amarah, memukul lengan Darwis dengan cukup keras sehingga membuat lengan Darwis terasa perih dan juga panas. Kejadian tersebut disaksikan oleh seluruh teman sekelas mereka. Sebelum terjadi keributan, teman-teman mereka ada yang berusaha melerai dan ada juga yang membiarkan sambil merekam kejadian tersebut di ponselnya. Untung saja waktu itu sedang jam kosong karena para guru sedang ada rapat. Intinya mereka ribut terus.
Setibanya di kelas, mereka berdua langsung duduk di bangku masing-masing. Teman sebangku Laura, Daisy, menyapa dirinya yang langsung dibalas dengan sapaan tidak bersemangat. "Kenapa, Ra? Pagi-pagi 'udah lemas begitu," tanyanya dengan lembut.
Laura menjawab dengan bahasa isyarat, mengarahkan dagu kepada Darwis yang sedang mengobrol dengan teman yang ada di depannya. Daisy hanya ber-oh ria dan dia memutuskan untuk tidak bertanya lagi. Tidak lama kemudian, bel masuk bergema ke seluruh sudut bangunan sekolah. Sebelum kegiatan belajar mengajar dimulai, seluruh murid berdoa sesuai dengan keyakinan masing-masing. Jam pertama pun diisi dengan mata pelajaran matematika dan apesnya Laura lupa jika ada pekerjaan rumah yang harus dikumpulkan saat itu juga.
"Yang belum mengerjakan tugas dari Ibu, harap keluar kelas, ya," ujar Bu Guru sambil tersenyum. Di antara yang keluar ruangan, Laura ikut bergabung dengan teman-temannya yang tidak mengerjakan tugas. Terdapat kurang lebih delapan anak yang berada di luar kelas. Di sana, mereka dihukum dengan diuji melafalkan perkalian mulai dari perkalian satu hingga sepuluh. Yang bisa melafalkan dengan lancar, maka boleh masuk ke dalam kelas dan yang belum bisa sampai waktu jam berakhir maka dikenakan tugas tambahan dari Bu Guru.
Awalnya Laura merasa yakin bisa melafalkannya dengan lancar, namun apesnya lagi, Laura masuk ke dalam jajaran yang gagal karena tersendat ketika di perkalian angka tujuh. Alhasil, dia dikenakan tugas tambahan dari Bu Guru dan tugas tersebut harus dikumpulkan sepulang sekolah sebanyak sepuluh soal. Dia hanya bisa pasrah dan mengerjakan tugas tersebut dengan setengah hati. Sedangkan itu, Daisy hanya bisa bantu dengan berdoa dan Darwis yang menyeringai puas melihatnya. Di dalam hatinya, Laura menyumpahi Darwis agar dia gagal di ujian mendatang. Biar dia bisa merasakan bagaimana rasanya menjadi peringkat pertama dari belakang.
Waktu terus berjalan hingga hari menjelang sore. Setelah bel pulang berdenting, guru yang mengajar mata pelajaran terakhir di kelas keluar, para murid mulai berhamburan keluar dari kelas. Begitu juga dengan Laura yang mengumpulkan tugas dari Bu Guru. Setelah meletakkan lembar jawabannya di atas meja Bu Guru yang dipenuhi tumpukan buku dan lembar jawaban dari kelas lain serta berpamitan kepada guru-guru yang lain, dia langsung berjalan keluar dari ruang guru tersebut. Hatinya kini sudah merasa puas sekaligus lega karena semua tugas hari ini telah ia tuntaskan sebelum jam pulang sekolah datang.
Angin sepoi-sepoi yang berhembus, dedaunan yang bergerak riang, didukung dengan cuaca yang berawan tapi sinar matahari masih menyelinap dibalik gumpalan awan lembut semakin membuat Laura ingin berkunjung ke perpustakaan daerah yang jaraknya tidak terlalu jauh dari sekolahnya itu. Sebelumnya, dia menghubungi ayahnya terlebih dahulu untuk sekadar mengabari kalau dia ingin berkunjung ke sana. Sambil berjalan kaki menuju tempat yang dituju, dia bersenandung ria menggumamkan sebuah lagu bernuansa ceria. Cocok dengan suasana hatinya saat ini. Beberapa kali dia juga melempar senyuman kepada warga sekitar. Meskipun mereka tidak saling kenal, tetapi mereka tidak segan-segan untuk sekadar membalas senyumannya.
Usai meminjam buku yang dia inginkan, Laura mulai berjalan meninggalkan gedung perpustakaan yang bisa dibilang cukup besar dan megah dengan dinding yang dipoles cat berwarna putih, memberikan kesan elegan dan kokoh itu.
Semuanya terasa baik-baik saja sebelum gawainya berdering di balik saku rok. Begitu diangkat, Laura mendapat kabar dari teman sebangkunya, Daisy, kalau Darwis mengalami kecelakaan sesaat setelah meninggalkan bangunan sekolah dan sedang dirawat intensif di rumah sakit terdekat. Katanya, dia berpapasan dengan Darwis dan sempat berbincang dengannya sebelum sebuah mobil yang melaju dengan kecepatan tinggi karena kehilangan kendali menghantam tubuhnya. Daisy sebagai saksi melihat tubuh Darwis yang besimbah darah di bahu jalan. Seketika Laura tertegun dengan jantung yang berdebar-debar. Dia pun bertanya, "Kamu mau menjenguk? Aku boleh ikut?" tanyanya dengan tidak sabar.
Daisy mengiyakan dan mereka janjian bertemu kembali di depan gerbang sekolah. Mereka membeli buah-buahan segar dekat sekolah sebagai buah tangan, untuk menjenguk Darwis. Mereka pun memesan taksi online untuk selanjutnya diantar menuju rumah sakit tempat Darwis dirawat. Di dalam mobil, mereka berdua sangat khawatir dengan kondisi Darwis saat ini. Di dalam hati, Laura berdoa demi kesembuhan temannya itu. Â Â Â
Sesampainya di rumah sakit, mereka menuju meja resepsionis. Usai mendapatkan izin dari resepsionis rumah sakit, mereka pun diberi tahu nomor kamar Darwis dirawat. Melewati beberapa lorong dan belokan, mereka telah sampai dengan dahi peluh keringat. Sejenak mengumpulkan keberanian, Laura mulai membuka pintu kamar dengan hati-hati. Pertama kali yang menyambut mereka adalah suhu kamar yang langsung menusuk pori-pori kulit mereka karena suhu yang dingin.
Keduanya menahan napas ketika melihat Darwis berbaring di atas ranjang rumah sakit dengan mata terpejam dan beberapa alat medis yang menempel di tubuhnya. Berjalan perlahan, mereka mendekati ranjang Darwis sambil menaruh keranjang buah di sebuah meja kecil di dekatnya. Beberapa menit dalam keheningan, Daisy beranjak berdiri untuk ke toilet sebentar.
Keajaiban datang. Perlahan tapi pasti, Darwis menggeliat sambil membuka kedua matanya. Begitu menoleh, dia mendapati Laura sedang duduk sambil memandangi pintu kamar. Sepertinya dia belum sadar kalau dirinya sudah siuman. Sekuat tenaga dia berusaha memanggil temannya itu. Â "Laura..." Darwis memanggilnya dengan suara yang lirih.
Laura yang menyadari ada sebuah suara yang memanggilnya langsung menolehkan kepala. Melihat Darwis yang sudah sadar dan tersenyum lemah kepadanya, tanpa sadar Laura mulai meneteskan air mata. Ada rasa senang sekaligus terharu di lubuk hatinya. Dia pun membalas senyuman Darwis sambil menangis haru. Tidak lama kemudian Daisy datang dan dia terkejut sekaligus bahagia karena melihat Darwis yang sudah sadar dari komanya. Mendapat kabar kalau Darwis sudah siuman dari koma oleh Laura, teman-teman kelas mereka satu persatu mulai berdatangan menjenguk. Ada yang membawa oleh-oleh dan juga ada yang hanya mendoakan supaya lekas sembuh.
Setelah semua teman mereka pulang, Darwis meminta kepada Daisy untuk keluar kamar karena dia ingin berbicara empat mata dengan Laura. Daisy mengiyakan lalu keluar dari ruangan. Setelah itu, Darwis berkata, "Laura, terima kasih banyak sudah mau menjengukku. Terus, aku juga mau minta maaf atas semua perbuatanku selama ini. Barangkali aku sikapnya nyebelin ke kamu," Darwis meminta maaf kepada Laura dengan penuh rasa bersalah.
Laura terdiam namun juga merasa tersanjung. Dia pun berkata, "Yah, aku sempat ada rasa benci ke kamu, sih. Kamu nyebelin soalnya," aku Laura. "Jadi, aku juga minta maaf barangkali sikapku selama ini ke kamu juga nyebelin," tambahnya sambil tersenyum.
Sejak saat itu mereka menjadi teman akrab dan mendukung satu sama lain dalam menggapai impian masing-masing. Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H