Jika jadi jaksa, mungkin tidak ada kasus terjadi lagi. Begitu pikir Junaedi saat beristirahat di warung kopi dekat pasar. Semenjak kasus kopi bersianida beberapa bulan lalu, pikirannya selalu terpusat di dunia pengadilan.Â
Kemarin ia curhat kepada Subari kalau Junaedi ingin menjadi penyidik. Terus sekarang berpikiran jadi jaksa. Apa besok ia berpikiran jadi hakim? Harapan yang bagus namun tidak konsisten.
Junaedi yakin bahwa suatu saat nanti ia akan menjadi salah satu tokoh di pengadilan. Ia merasa dengan menjadi itu ia akan membuat desanya tidak ada permasalahan yang berujung di meja hijau.Â
Mengingat akhir-akhir ini sering ada kasus di desanya. Lantas, bagaimana caranya? Apa bisa Junaedi yang berprofesi kuli panggul di pasar mewujudkan hal itu? Usianya saja masih 20 tahun dan ia dari keluarga yang kurang mampu.
Jam menunjukkan pukul 1 siang, tepat dimana Junaedi harus melanjutkan pekerjaannya. Puluhan karung beras dari gudang ia angkut ke mobil pengangkut. Menurut orang biasa pekerjaan ini berat.Â
Tapi tidak bagi Junaedi. Prinsipnya, pekerjaan terasa ringan jika dikerjakan dengan ikhlas. Ayahnya telah meninggal setahun lalu, membuat Junaedi menjadi tulang punggung keluarga. Meski gaji tiap bulannya tak seberapa, ia harus menafkahi ibu dan dua adiknya yang masih bersekolah.
"Junaedi, apa kamu yakin dengan hasil dari pekerjaan ini bisa mencukupi kebutuhan keluargamu?" tanya Subari ketika mereka mengangkut karung beras yang sama ukurannya.
      "Jika Allah memberikan ini untukku, maka aku merasa cukup."
      "Josshhh! Kamu memang super, Jun!"
Jaksa memang pekejaan yang membutuhkan wawasan luas seputar pengadilan. Namun Junaedi tak punya pengetahuan seputar itu. Sedikit pun tak punya. Entah apa yang ada di pikirannya bercita-cita menjadi jaksa. Ia bisa saja mencari ilmu dengan berkuliah, tapi itu mustahil dilakukan. Mengingat untuk membiaya hidup saja susah.
Jalan satu-satunya yang bisa dilakukan Junaedi hanya belajar dari buku-buku yang ada di perpustakaan. Untung saja perpustakaan yang ia harapkan tak jauh dari tempat kerjanya.Â
Setiap beristirahat, ia selalu menyempatkan diri untuk ke perpustakaan. Meski jam istirahat kerjanya hanya tiga puluh menit, hal itu bukan hambatan bagi Junaedi untuk meraih cita-cita.
      "Jun! Mau ke mana?"
      "Juragan ilmu."
      "Juragan ilmu?!" tanya heran Joni, salah satu teman kerja Junaedi. Joni yang heran mendengar jawaban Junaedi, bertanya-tanya apa maksud Junaedi ke juragan ilmu. Mungkin maksud Joni ke Pak Bos, tapi tidak mungkin juga. Padahal seminggu lalu sudah gajian. Joni harus mencari tahu.
      Jejak kaki Junaedi tak pernah luput dari pantauan Joni. Setiap Junaedi pergi saat istirahat kerja, Joni mengikutinya.
      "Juragan ilmu? Kok perpustakaan?"
Joni bertanya-tanya pada dirinya sendiri. Apa maksud Junaedi ke perpustaaan. Sempat terpikir oleh Joni bahwa Junaedi ke perpustakaan hanya ingin sekadar membaca buku. Tapi itu tidak membuat Joni lega. Joni mencari tahu lagi. Â Â Â Â Â Â
Jam menunjukkan pukul 5 sore. Tepat dimana semua kuli panggul yang ada di pasar kembali ke rumah masing-masing. Lain halnya dengan Joni yang masih mengamati gerak-gerik dari Junaedi. Setahu Joni, setelah bekerja Junaedi langsung pulang. Namun tidak akhir-akhir ini. Seusai dari pasar, Joni selalu menyempatkan diri ke perpustakaan.
      "Jadi ini maksudmu, Jun?"
      "Joni?! Kamu mau apa ke sini?"
      "Junaedi, Junaedi. Kamu gak usah bohong lagi! Aku sudah tahu kok."
Junaedi terdiam mendengar perkataan Joni. Rahasianya telah terbongkar. Ia yang begitu merahasiakan cita-citanya, tiba-tiba diketahui oleh Joni. Melihat dari semangat juangnya berharap menjadi jaksa, Joni mengajak Junaedi ke suatu tempat.
Jalanan menjadi saksi perjuangan Junaedi. Di suatu tempat yang sudah tidak asing baginya, Joni mengenalkan Junaedi kepada saudaranya yang bekerja di tempat itu dan menjelaskan tujuan mereka.
 "Junaedi. Jika kamu jadi jaksa di tempat ini, apa yang akan kamu lakukan?" tanya seseorang yang menurut Junaedi adalah seorang hakim tertua. Ternyata, Joni mengajak Junaedi ke sebuah pengadilan di desanya.
 "Jika saya jadi jaksa di tempat ini, maka di desa ini tidak ada permasalahan-permasalahan lagi. Karena saya ingin desa ini tentram dan damai. Sudah ratusan buku tentang pengadilan saya baca. Meskipun saya tidak kuliah hukum, saya tahu mulai dari akar hingga bijinya."
 Junaedi tidak sombong. Ia meyakinkan hakim tersebut agar ia bisa diterima menjadi seorang jaksa. Namun, hakim tidak percaya begitu saja. Puluhan studi kasus telah hakim lontarkan kepada Junaedi.Â
Hebatnya, Junaedi bisa menjawab dengan tepat semua studi kasus yang diberikan oleh hakim. Dari sini, Junaedi percaya bahwa tidak harus sekolah tinggi-tinggi untuk meraih cita-cita, cukup dengan membaca dan mempelajari apa yang ia mimpikan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H