Komunitas yang berkumpul di sana, rata-rata saya sudah mengenalnya. Si empunya juga orang yang asik diajak interaksi. Tinggal bertanya soal sosok yang mengajar gitar.
Ternyata, sang pengajar bukan orang yang sama sekali baru. Sejak kecil ia sudah sering dolan ke rumah. Ia lahir di rumah yang hanya berselang satu rumah dari rumah kami. Ia Mas Arif, putra Pak Badrun. Ia sohor sebagai Arip Badrun. Namanya mentereng di jajaran gitaris kelas kabupaten. Â
Memang, ia tumbuh menjadi gitaris ulung. Terakhir, saya mendengarnya berkiprah di sebuah grup musik yang cukup laris ditanggap.
Ringkas kata, saya benar-benar jadi murid Mas Arif. Kesampaian juga belajar gitar elektrik.
***
Studio musik dan les gitar tak cukup lama bertahan. Risiko bermusik di sebuah kota kecil; segala fasilitas, event, dan industrinya sangat cupet. Tak cukup kuat menahan hambatan, kandaslah akhirnya.
Saya naik kelas 3 SMA. Disibukkan dengan persiapan ujian akhir kelulusan. Ditambah memikirkan akan kuliah apa dan dimana.
Gitar semakin dikesampingkan. Walau sesekali tetap dipegang.
Penghujung SMA, di event perpisahan kelas 3, di sanalah puncak karier saya sebagai gitaris. Kami tampil ngeband. Saya bernyanyi Kita (Sheila on 7) sambil bergitar. Setelah itu, saya bergeser ke full gitaris saat memainkan Ku Tak Bisa (Slank). Sayang, penampilan itu tak terdokumentasi.
Justru, tingkat kekerapan bergitar jauh meningkat saat kuliah di Bogor. Di asrama dan kosan, bergitar dan bernyanyi bersama menjadi rutinitas.
Para perantau yang kesepian terhibur hanya dengan gitar dan nyanyi ala kadarnya. Gitar masih sama, gitar kejutan berumur lima tahun.