Setelah memilikinya, gairah pada gitar semakin tidak terbendung. Penguasaan lagu baru semakin cepat. Bertambah banyak pula lagu yang bisa saya mainkan. Jika sebelumnya hanya bisa rhythm, naik kelas sedikit, saya jadi mampu memetik. Saat itu saya merasa keren sekali.
Naik kelas 3 SMP, gitar masih menduduki puncak perhatian. Ia masih rekat dalam pelukan. Bahkan, sampai muncul keyakinan, saya ini The Next Brian May.
Langkah menuju pencapaian itu nampak semakin terang. Keyakinan semakin membulat dan terlihat tak berpenghalang.
Entah bagaimana mulanya, muncul tawaran les privat gitar. Pengajarnya seorang warga baru --menantu tetangga yang rumahnya hanya selisih empat rumah di belakang kami.
Ia Mas Andi. Berambut gondrong tergerai, memakai gelang logam, dan berkemeja flanel. Tampilan yang sudah penuhi detail starter-pack seorang rocker. Tongkrongannya angker. Membuat saya ngeri.
Tetapi, dari Mas Andi, saya mendapat pelajaran mendasar. Saat ia mulai bertutur, luntur semua kekakuan dan keseraman yang menyelimuti. Ia ternyata bersuara lembut dan pelan dalam berkata. Casing-nya membuat salah duga.
***
Oleh Mas Andi, saya diajar gitar klasik. Ia datang sekali seminggu. Di Sabtu sepulang sekolah atau Minggu. Tergantung kapan bisanya. Karena ia masih berdomisili sekitar 30 menit dari rumah mertua.
Mas Andi bukan musisi karbitan. Ia lahir dari keluarga yang kuat tradisi musiknya. Persewaan audio system menjadi usaha keluarga sejak dua generasi lalu. Saat itu, selain seorang anak band dan pengajar musik, Mas Andi mengelola sebuah studio musik dengan alat-alat terbaik.
Mas Andi berkuliah di jurusan musik. Latar belakang pendidikannya terlihat saat ia menampilkan kemampuan. Lincah gerak jari tangannya membuat terpukau. Baru kali itu melihat secara langsung gitaris ber-skill menakutkan. Saya makin yakin tak salah memilih guru.
Jarinya seolah bermata. Dawai-dawai tak dibiarkan luput. Itu pun dilakukannya tanpa menunduk untuk melihat. Ia begitu sambil bicara demi mengajari saya.