Jika dulu sepeda lipat tidak menarik minat, saya sekarang kok kesengsem. Apalagi ada alasan sepeda tinggal satu, jadi bu ryan harus punya. Padahal yang pingin saya.
***
Saat servis sepeda beberapa hari lalu, tukang servis akui sekarang ini adalah tren sepeda teramai sepanjang ia buka usaha. Saat fixie merebak, bengkelnya tak sepadat sekarang.
Saat saya mengantre hingga sepeda saya ditangani, banyak calon konsumen bermotor-bermobil hilir mudik bertanya kapan sepedanya bisa didandani. Nyatanya, semua ditolak. Tukang servis janjikan paling tidak seminggu ke depan.
Sepeda saya langsung disentuh karena datang langsung bersepeda dan saya tunggui. Itu pun tukang servis menolak servis total. Ia hanya sanggup servis keluhan part tertentu saja.
Bengkel langganan Bapak di luar kota pun heran. Sebelum tren, tak jarang ia duduk berpangku tangan seharian. Sekarang, istirahat menjadi momen asing. Rejeki sedang diguyurkan deras-deras.
Keadaan seperti itu terjadi menyeluruh di segenap daerah. Semua toko-toko sepeda alami hal sama. Sepeda yang seakan hampir ditinggalkan, tiba-tiba dikejar lagi penuh nafsu.
Beberapa toko terpantau sampai meliburkan karyawan dan menutup toko. Toh dibuka pun mau jualan apa. Semua barang ludes. Gila.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H