[caption caption="fly me to the moon"][/caption]
Hari 230, Jumat 18 Agustus 2045.
Dari jendela pesawat luar angkasa ini, pemandangan di bawah sana sungguh indah. Sebuah bola biru dengan pola berwarna-warni di permukaannya; hijau, coklat, biru, dan putih ditingkahi aksen keemasan yang dihasilkan spektrum cahaya matahari.
“Indahnya,” gumamku.
Saat ini pesawat yang kami tumpangi bergerak perlahan mengikuti rotasi Bumi. Namun meski perlahan, kecepatannya tak kurang dari 1.700 km/jam. Waktu keberangkatan kami tadi adalah pagi hari saat Bulan sedang berada di sisi lain planet Bumi, karena itu kami menunggu momentum yang tepat untuk dilentingkan menuju permukaan Bulan ketika gravitasi dua benda langit ini bertemu.
“Ibaratnya kita memakai baju besi kemudian melompat dari satu magnet ke magnet yang lain,” terangku pada Chandra – putri tunggalku – beberapa tahun lalu sewaktu ia masih duduk di bangku Sekolah Dasar. “Dengan cara itu, kita hanya membutuhkan tenaga yang cukup untuk lepas dari gravitasi Bumi. Selanjutnya gravitasi Bulan akan otomatis menarik pesawat. Tentunya ini akan menghemat bahan bakar ketimbang kita berusaha terbang langsung ke Bulan.”
Aku tersenyum sendiri mengingat kejadian itu.
“Sakti,” suara Dirga terdengar antusias. “Maaf mengganggu lamunanmu, tapi aku yakin kau tidak mau melewatkan pemandangan yang satu ini.”
“Hm?” gumamku.
“Sebentar lagi,” ujar Dirga. “Nah, nah. Itu dia.”
Setelah beberapa kali berpapasan dengan satelit-satelit komunikasi dari Amerika, China, Russia, Perancis, India, Inggris, Australia, Korea, Singapura, Indonesia, dan berbagai negara lainnya, pemandangan yang nampak kali ini sungguh menakjubkan.
“Tiangong Space Station,” gumam Dirga.
Stasiun Luar Angkasa China tersebut dibangun tahun 2020 dan selesai dalam waktu 5 tahun namun baru dioperasikan 1 tahun kemudian. Dibanding stasiun luar angkasa Amerika dan Russia yang sudah lebih tua usianya, ukuran Tiangong Space Station jauh lebih besar – bahkan bila kedua stasiun luar angkasa rivalnya tersebut digabung menjadi satu.
“Luar biasa, megahnya,” aku bergumam, apalagi tatkala aku melihat bahwa beberapa bagian stasiun tersebut berwarna merah menyala, warna yang menjadi ciri khas negara berpenduduk terbesar di dunia tersebut.
Seiring dengan kekuatan pengaruh China terhadap hampir separuh negara di dunia, negara tersebut terus mengembangkan stasiun luar angkasanya.
Yang membuatku sangat takjub tatkala melintasi stasiun luar angkasa tersebut adalah adanya beberapa modul yang sengaja dibuat transparan. Modul itu berupa kubah berisikan tanaman yang setiap beberapa waktu sekali dibuka secara otomatis agar terpapar kondisi ekstrem antariksa. Durasi paparan awalnya berlangsung beberapa menit untuk kemudian secara bertahap semakin diperlama. Sayangnya jarak yang jauh membuatku tidak bisa memastikan tanaman apa saja yang berada dalam kubah tersebut.
“Jadi kabar itu benar,” aku tak melepas pandangan dari modul tersebut. “Mereka sedang mengadakan eksperimen untuk mengembangkan tanaman yang tahan terhadap kondisi ekstem di luar Bumi. Benar-benar luar biasa!”
“Mereka bahkan sampai memikirkan aspek estetika stasiun,” Dirga menggelengkan kepalanya.
Di puncak Tiangong dipasang bendera China berukuran raksasa yang sekaligus menjadi modul panel surya sebagai sumber tenaga utama. Di waktu-waktu tertentu, bendera ini sengaja diproyeksikan agar bisa terlihat dari Bumi seolah memberi pesan pada orang-orang di permukaan tentang supremasi negara Asia tersebut.
Dan tindakan tersebut membuat beberapa negara meradang – termasuk Israel sebagai negara adidaya rival China.
Sebetulnya ketegangan antar dua negara adidaya tersebut bermula semenjak Israel mencurigai bahwa Tiangong memiliki fungsi ganda sebagai meriam luar angkasa China. Hasil intelijen negara tersebut mengungkap adanya indikasi moncong nuklir Tiangong yang diarahkan ke Tel Aviv. Ketika dikonfirmasi, Beijing tidak menyangkal maupun mengiyakan, tentu saja ini membuat Israel makin meradang. Negara yang terletak di Timur Tengah tersebut meningkatkan anggaran militernya 5 kali lipat sebagai persiapan menghadapi kemungkinan terburuk akibat langkah China.
“Apa laporan intelijen itu benar?” tanyaku. “Apa benar ada senjata di Tiangong yang mengarah ke Tel Aviv?”
“Entahlah,” Dirga mengangkat bahu. “Yang jelas saat ini situasi dunia sedang panas.”
“Dan semakin panas setelah konflik di perbatasan Iran-Iraq,” sambungku.
Dirga mengangguk.
“Yah, semoga mereka memahami artinya perdamaian,” tukasnya kemudian.
Kami sudah meninggalkan Tiangong dengan segala kemegahannya. Namun sungguh, kemegahan stasiun luar angkasa yang baru saja kulihat tadi tak bisa lepas dari benakku.
“Suatu saat kita harus punya yang seperti itu.”
“Kita?” Dirga menoleh. “Maksudmu?”
“Indonesia,” sambungku. “Suatu saat negara kita harus punya stasiun luar angkasa seperti itu.”
“Hmm…,” Dirga menggumam. “Kamu tahu, Sakti? Ada rumor bahwa kita memang punya rencana membangun stasiun luar angkasa.”
“Oya?” mataku membelalak. “Benarkah?”
“Ini cuma rumor. Aku pernah dengar bahwa Pak Fernando Kepala Lapan belum lama mengajukan cetak biru stasiun luar angkasa ISS-45 pada Presiden Yanuar.”
“Oya? Terus?”
“Cuma itu yang aku tahu,” Dirga mengangkat bahu lagi. “Tapi jika melihat antuasiasme presiden kita pada ilmu pengetahuan, ada kemungkinan ide itu akan terwujud.”
“Tapi, presiden Yanuar sudah menjabat 2 periode,” sanggahku. “Beliau sudah tidak bisa jadi presiden lagi. Yah semoga saja penggantinya nanti punya minat yang sama seperti beliau.”
Kami berdua tersenyum.
“Nah, sepertinya sekarang saatnya melapor ke Bumi,” tukas Dirga. “Makara calling Trowulan.”
“Roger, Makara, time to report ya?” balas petugas dari Pusat Misi.
“Yep.”
“OK, report your status.”
Kami berdua lalu melaporkan hal-hal rutin pada Pusat Misi di Bumi.
“Afirmatif. Laporan sudah dicatat, keep report your status, dan… sebentar…,” kali ini tanggapan dari petugas Pusat Misi sedikit berbeda.
“Ada apa?” tanya Dirga.
“Makara, beberapa detik lalu kami mendapat laporan adanya peningkatan aktivitas badai matahari.”
“Afirmatif. Lalu?”
“Kami akan terus memantau apakah aktivitas tersebut berpotensi mengganggu pelontaran ke Bulan. Jika hasilnya negatif, misi dijalankan sesuai rencana, namun jika hasilnya positif, kemungkinan terbaiknya adalah kalian masih harus mengorbit lebih lama lagi.”
“Confirmed,” balas Dirga, “lalu kemungkinan lainnya?”
“Jika badai memburuk, misi dibatalkan dan kalian diperintahkan kembali ke Bumi.”
Kami saling pandang.
“Confirmed,” balas Dirga lagi.
“OK, kita pastinya berharap misi berjalan sesuai rencana. Keep report your status, kita akan terus update perkembangan ini.”
“Roger.”
Komunikasi berakhir.
“Wow,” desis Dirga. “Perkembangan yang tak terduga.”
“Sayang sekali seandainya kita harus kembali ke Bumi sebelum menuntaskan misi,” aku sekali lagi memandang layar-layar monitor di hadapanku.
Saat itu aku menyadari ada yang tidak beres.
“Dirga,” panggilku. “Apa ada yang tidak beres di sini?”
“Tidak beres bagaimana?” rekanku terlihat terkejut. “Ada apa?”
“Entahlah,” sahutku. “Kenapa indikator ini berkedip cepat? Bukankah seharusnya konstan?”
“Coba kulihat.”
“Sebentar, kupindahkan tampilan ini ke monitormu.”
Aku mengetikkan baris perintah untuk memindahkan tampilan monitorku ke monitor Dirga.
Tapi…
“Tidak bisa,” aku merasa bingung. Beberapa kali aku mencoba, monitor tak memberikan respon.
“Tidak bisa?” Dirga heran. “Coba lagi.”
Aku mencoba lagi, lagi, dan lagi.
“Masih tidak bisa."
“Coba kulihat,” Dirga melepaskan sabuk pengamannya dan bangkit.
Beberapa saat kemudian wajahnya berubah tegang.
“Bagaimana bisa?” desisnya berulang-ulang.
Ia kemudian menoleh padaku,
“Sakti,” ucapnya, “sistem kita di-hack.”
Aku membelalakkan mata.
“Tapi…,” ucapku. “Bagaimana mungkin?”
“Aku juga tak mengerti. Namun yang jelas, pesawat ini sedang dibajak – entah bagaimana caranya.”
(Bersambung)
Sistem pesawat ulang-alik Makara diretas! Bagaimana mungkin? Siapa yang melakukannya? Apa yang sebenarnya terjadi? Bagaimana kelanjutan misi mereka?
Fly Me To The Moon #3 : Hacked! | Fly Me To The Moon #1 : Departure
Catatan Penulis :
- Makara adalah hewan mitologi dalam budaya Hindu-Budha Jawa Kuno, konon merupakan kendaraan yang digunakan Baruna Sang Dewa Langit (sumber : Wikipedia).
- Kisah tentang ISS-45 bisa dibaca di sini.
sumber gambar : yandex
Tulisan ini dipublish pertamakali di blog.ryanmintaraga.com, copasing diizinkan dengan mencantumkan URL lengkap posting di atas atau dengan tidak menghapus/mengedit amaran ini. Disclaimer selengkapnya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H