"Pak."
Aku kenal suara itu. Suara si perempuan tua, namun aku masih tak peduli. Apa yang kualami hari ini rasanya terlalu berat untuk kutanggung.
"Pak, Pak Restu," perempuan itu kembali memanggil.
Aku mengangkat muka dan memandangnya. Kali ini aku merasa bahwa dia memandangku dengan tatapan prihatin dan meneduhkan - sama seperti waktu pertama kali aku melihatnya pagi tadi.
"Maafkan saya," ujarku sembari menyeka air mata.  "Saya sama sekali nggak tahu kenapa bisa seperti ini kejadiannya. Saya... saya ternyata sudah meninggal..."
"Saya tahu, Pak," potongnya. "Mohon maaf, saya tadi menguping pembicaraan Bapak di telepon tadi."
"Dan... saya nggak tahu kenapa saya bisa ada di tubuh ini, Bu. Ini semua bukan kemauan saya."
Aku mencoba bangkit namun tubuhku masih terlalu lemas.
"Hati-hati, Pak," tegur si perempuan tua. "Jangan dipaksakan."
"Ya, saya tahu," ujarku. "Tubuh ini bukan milik saya, ini cuma tubuh pinjaman yang harus segera saya kembalikan - bagaimanapun caranya."
Perempuan tua itu memandangku. Aku melanjutkan ucapanku.