Mohon tunggu...
Ryan M.
Ryan M. Mohon Tunggu... Editor - Video Editor

Video Editor sejak tahun 1994, sedikit menguasai web design dan web programming. Michael Chrichton dan Eiji Yoshikawa adalah penulis favoritnya selain Dedy Suardi. Bukan fotografer meski agak senang memotret. Penganut Teori Relativitas ini memiliki banyak ide dan inspirasi berputar-putar di kepalanya, hanya saja jarang diungkapkan pada siapapun. Professional portfolio : http://youtube.com/user/ryanmintaraga/videos Blog : https://blog.ryanmintaraga.com/

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Artikel Utama

Remember Me

9 Maret 2015   23:26 Diperbarui: 17 Juni 2015   09:55 266
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Aduh!"

Aku menoleh ke belakang mendengar jeritan kecil itu.

Dan benar saja.

"Kamu itu," aku menuju ke arahnya, "Sini aku bantu."

Mia - istriku - memegang tanganku dan berdiri.  Wajahnya tampak pucat tapi ia tersenyum kecil,

"Haha, aku salah pake sepatu hari ini.  Lantainya licin jadi aku jatuh."

Tubuhnya limbung, sepertinya ia hendak jatuh lagi.  Untunglah aku buru-buru menangkapnya.

"Thanks, Hans," ujarnya lirih.

"Mau istirahat dulu?" tanyaku, "Mukamu pucat, kamu juga keringetan gitu."

"Boleh," jawabnya.

Sambil tetap menggenggam tangannya yang terasa semakin berkeringat, kami menuju salah satu cafe di pusat perbelanjaan tersebut.  Sekejap kemudian, seorang pramusaji menghampiri dan menanyakan pesanan kami.

"Ada hot tea?" tanya Mia yang disambut dengan anggukan, "Oke, saya pesan hot tea satu.  Kamu pesan apa, Hans?" Mia menatapku.

Entah kenapa saat itu intuisiku mengatakan bahwa Mia sedang merasakan satu keletihan yang teramat sangat, tubuhnya juga sedikit bergetar, dan...

...sepertinya ia menahan sakit.

"Hans?" Mia mengulang pertanyaannya.

"Oh?" aku tersadar dan segera memandang daftar menu yang ada di tanganku, "Saya pesan hot coffe saja."

"Baik, Pak," pramusaji itu mencatat pesanan kami, "Satu hot tea dan satu hot coffee.  Ada pesanan lain?  Croissant, barangkali?" tawarnya.

"Sementara itu saja dulu, Mbak," aku dan Mia kompak menyahut kemudian saling pandang dan tersenyum.

Setelah pramusaji itu berlalu, aku memandang sekeliling.  Suasana cafe itu cukup nyaman dan tenang dengan sofa empuk yang membuatku enggan beringsut.  Di sudut cafe nampak seseorang yang sedang menyesap minumannya sambil matanya tak lepas menatap laptop.  Di sudut lain aku melihat satu keluarga muda sedang asyik menikmati makanan pesanan mereka sementara sang anak tertidur pulas dalam gendongan babysitter-nya.

"Suasanya nyaman juga ya?" tegur Mia seraya mengambil kamera untuk sedikit mengabadikan suasana cafe tersebut.

Aku mengangguk maklum.  Memotret adalah hobi Mia, bahkan sebelum kami menikah 21 tahun lalu.  Terlebih, pertemuan kami pun bermula saat ia memotret karya-karyaku yang disertakan dalam sebuah pameran.

Sreet!

Tiba-tiba kamera itu terlepas dari pegangannya dan jatuh membentur lantai.

"Biar aku ambilkan," ucapku.

Aku memungut dan mengembalikan kamera itu padanya,

"Kameranya licin," sahutku, "Gripnya sudah aus, strapnya juga sudah nggak ada, pantes aja lepas dari tangan kamu.  Mungkin sudah waktunya kamu beli kamera baru."

"Makasih, Hans," Mia terbata.  Ia sedikit terlihat shock.

Aku tersenyum kecil.

"Tapi memang kamu itu, kok bisa-bisanya setiap barang yang kamu pegang itu merosot."

"Tambah tua tambah parah ya," balasnya sambil tersenyum.

"Siapa bilang kamu tua?" godaku.

"Siapa bilang usia 40-an masih muda?" balasnya.

"Aku yang bilang."

"Hahah, modus.  Sudah nggak mempan, tau," cibirnya.

Kami pun sama-sama tertawa.

* * *

Hari demi hari kehidupan kami berjalan seperti biasa, begitupun dengan kondisi Mia yang secara tidak sengaja sering menjatuhkan barang-barang yang dipegangnya.  Aku meledeknya, kami tertawa.  Selesai.  Begitulah kehidupan kami dari awal pernikahan, apalagi semenjak satu-satunya putri kami meneruskan kuliah di luar kota.

Hanya saja, jauh di lubuk hati aku merasa cemas.

Kenapa dia sering jatuh belakangan ini?

Dia juga makin sering minum obat, entah obat apa...

Brukk!

Aku terlompat dari sofa, menuju asal suara.

Jatuh lagi?

Dan apa yang aku saksikan di ruang kerja Mia sungguh membuatku tercekat.

"Mia!" seruku, "Kamu kenapa?"

Dalam keadaan tergeletak di lantai, Mia memandangku dengan tatapan panik.

"Hans," ia berkata lirih.  Ekspresi wajahnya juga nampak sangat kesakitan.

Aku mengulurkan tangan, bermaksud membantunya berdiri - seperti biasa.  Biasanya Mia akan menyambut tanganku kemudian berdiri.

Tapi tidak kali ini.

Mendadak aku disergap kecemasan.

"Mia!" seruku, "Ayo berdiri."

"Aku...," Mia terbata, "Aku tidak bisa.  Tubuhku tak bisa bergerak, Hans."

"Jangan bercanda, kamu!" aku semakin cemas dan berusaha memapah tubuhnya.

Tak ada reaksi.  Aku juga tersadar ada darah yang mengalir dari hidungnya.

"Kita ke Rumah Sakit.  Sekarang!" ucapku panik.

* * *

Setelah melalui berbagai pemeriksaan, akhirnya mimpi buruk yang sangat kutakuti menjadi kenyataan.

"Kanker otak yang diidap Ibu Mia sudah masuk stadium lanjut," terngiang di benakku ucapan dokter Lisa.

Aku termenung menatap Mia yang saat ini sedang tertidur.

Kenapa, Mia?

Atas permintaan dokter Lisa pula, aku memeriksa barang-barang pribadi Mia dan menemukan bahwa sudah 5 tahun belakangan ini istriku menjalani pengobatan untuk kanker yang dideritanya.  Di laci kerjanya aku juga menemukan beberapa obat-obatan dan jadwal pemeriksaan rutin dengan dokter Lisa.

Kenapa kamu tidak memberitahuku, Mia?

Terngiang pula ucapan dokter Lisa ketika ia memberitahuku beberapa kemungkinan terburuk yang bisa dialami Mia.

"Apa istri saya masih bisa sembuh, Dok?" tanyaku kemudian.

"Kita akan melakukan yang terbaik," sahut dokter Lisa, "Sekecil apapun kemungkinannya, kita harus terus berusaha."

Aku tertunduk mendengar kalimat tersebut.

Sekecil apapun kemungkinannya...

Mia...

"Hans...," Mia terbangun dan memanggilku.

Dengan lemah tangannya mencari dan menggenggam tanganku.  Saat ini tubuhnya sudah bisa bergerak lagi.  Kelumpuhan yang menyerangnya memang masih temporer - ketika sel-sel kanker menyerang otaknya.  Namun menurut dokter Lisa, suatu saat kelumpuhan itu akan bersifat permanen.

"Kamu pasti sembuh, Mia," kataku.

Mia tersenyum.  Lemah.

"Radiasi?" tanyanya.

"Apapun, untuk kesembuhanmu," ucapku.

Mia menggeleng.

"Nggak perlu, Hans."

"Tapi..."

"Sudahlah, Hans.  Meski aku mau juga mungkin sudah terlambat," Mia menatapku, "Dengan kondisiku sekarang ini, dokter Lisa bilang kemungkinannya sudah kecil 'kan?"

"Kenapa kamu sembunyikan ini?" tanyaku.

Mia tak menjawab.

"Kenapa, Mia?" aku mencecarnya, "Kamu tau kalo kamu kena kanker, sementara aku yang nggak tau terus aja ngeledek kamu.  Aku bilang kamu ceroboh, sudah tua, dsb.  Sementara kamu menahan sakit, aku malah ngetawain kamu.  Maafkan aku... ampuni aku... aku bener-bener bodoh..."

"Sudahlah, Hans.  Aku punya alasan untuk menyembunyikan kondisiku.  Dan, bukannya aku nggak berusaha sembuh, cuma... yah... kankernya ternyata lebih kuat."

"Mia..."

"Hans, aku minta maaf, kamu jadi tau kondisiku sekarang..."

Aku menggeleng.

* * *

Empat tahun kemudian, dalam usia 49 tahun, Mia meninggalkanku di suatu pagi berhujan setelah setahun sebelumnya mengalami kelumpuhan permanen.  Masih kuingat kata-kata terakhirnya yang ia bisikkan dengan lemah di telingaku,

"Terimakasih untuk segala cinta yang kamu berikan selama ini, Hans.  Aku bahagia hidup bersamamu, bersama kalian semua.  Remember me as I was, kenanglah aku dalam kebahagiaan, dalam tawa, dan dalam suka."

Dua puluh lima tahun kita hidup bersama, Mia...

Separuh hidupku pergi bersamamu...

Catatan penulis :

Mohon maaf dan koreksinya apabila ada hal-hal yang kurang tepat.

Sumber gambar : ceramicfutures.com
Tulisan ini masuk kategori “Fiksi” dan dipublish pertamakali di blog.ryanmintaraga.com, copasing diizinkan dengan mencantumkan URL lengkap posting di atas atau dengan tidak menghapus/mengedit amaran ini

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun