Rian akhirnya bergabung di ekskul bulutangkis dan berlatih keras supaya bisa mendapat perhatian Rin, mereka sudah mulai bisa bercakap-cakap. Di sisi lain, Lintang tiba-tiba meminta Rian jalan bareng dengannya hari Minggu nanti. Apa jawaban Rian?
CHAPTER 3
“Rian, gimana kalo kita jalan bareng hari Minggu nanti? Berdua aja.”
“Eh?” Rian kebingungan, tidak tahu harus bagaimana.
“Bisa ‘kan?” tanya Lintang, “Anggap aja ini latihan pacaran buatmu. Kita ke Dufan ya...”
Pacaran? Sama Lintang?
“Lagipula…” Lintang terdiam sejenak, tampak ragu meneruskan kalimatnya, “Aku sudah lumayan lama di Jakarta tapi belum pernah sama sekali ke Dufan. Aku pengen banget ke sana, tapi kalo sendirian males juga, nggak asik. Kalo rame-rame malah ribet. Makanya cuma kita berdua aja. Ya? Ya?”
Rian masih bengong, dari mulutnya cuma keluar kata, “Eh?” berulang-ulang setiap kali Lintang bicara.
“Hei!” Lintang menepuk Rian, “Halooo?”
“Eh? I… I… Iya… Iya!” Rian tersadar, “Hari Minggu di Dufan, kita janjian di sana ya? Jam 12?”
“Boleh. Jangan terlambat ya!”
“Pasti!” sahut Rian.
Lintang tersenyum lagi. Melihat senyumnya, Rian sudah hapal bahwa akan ada sesuatu yang menimpanya,
“Jangan lupa, meski namanya ‘latihan’, kita tetep mesti keliatan pacaran beneran.”
Rian cuma bisa mengangguk.
Cuma itu.
“Satu lagi… Semuanya kamu yang traktir yaaa.”
Selesai berkata begitu, Lintang langsung berlari kabur sambil tertawa meninggalkan Rian yang mendadak galau.
* * *
Hari Minggu, jam 12.45 siang…
“Kamu terlambat!” sentak Lintang, “Sudah 45 menit aku nungguin kamu tau!”
“Maaf, tadi nungguin busway-nya lama banget…”
“Nggak ada alasan! Kamu harusnya tau, nggak pantes 'kan kalo cewek sampe nungguin cowok. Harusnya cowok yang nungguin cewek. Next time, jadi cowok harus ontime ya! Atau minimal ngabarin kek kalo bakal telat.”
“Iya, Lin. Maaf ya.”
Gawat! Belum masuk Dufan aja dia sudah bete gini.
Lintang memandang Rian yang masih ngos-ngosan. Saat ini Rian menggunakan t-shirt hitam dipadu dengan jeans dan sneakers.
Setidaknya dia sudah berusaha.
“Nih” Lintang menyodorkan sebotol air mineral, “Kamu pasti capek siang-siang gini lari ke sini. Ya, cuma air mineral sih, tapi lumayan buat obat hausmu.”
Rian terpana,
“Lin…”
Saat itu dia baru menyadari Lintang sangat cantik dengan mini dress duotone hitam dan beige dipadu flat shoes hitam.
“Hei Rian, kamu kok gitu banget sih ngeliat aku?” seru Lintang, “Apa maksud tatapanmu itu! Udah sana minum dulu! Aku tadi juga sudah beli tiket buat kita.”
Lintang menggamit lengan Rian, dan Rian merasa darahnya berdesir.
“Yuk sekarang kita masuk. Ingat ya, kita mesti keliatan pacaran beneran. Kebetulan juga warna baju kita hari ini matching…”
Dia cuma teman. Lintang temanku. Cuma teman. Teman. Teman. Bukan pacar. Ini cuma latihan. Latihan. Pacaran. Teman. Lintang. Pacaran. Lintang. Pacar.
Rian merasa isi kepalanya makin kacau sekacau-kacaunya.
“Rian kamu kenapa sih?” tanya Lintang sambil lengannya masih menggamit lengan Rian, “Sudah nggak usah dipikirin marahku yang tadi, sekarang kita senang-senang di Dufan.”
“O… Oke” Rian tergagap.
(Catatan penulis : silakan pembaca membayangkan Lintang dan Rian bersenang-senang menikmati wahana di Dufan. Untuk scene ini, saya menawarkan lagu “Sometimes When We Touch”-nya Olivia Ong mulai dari reffrain dengan gambar-gambar interaksi mereka berdua menggunakan teknik slow motion alias gerak lambat. Selamat berimajinasi!)
* * *
“Rian, lihat!” seru Lintang, “Di sana ada Parade Dufan, ke sana yuk!”
Saat itu mereka sedang melepas lelah seraya menikmati sepotong es krim. Meski waktu itu Dufan cukup ramai, mereka masih bisa menikmati beberapa wahana permainan. Dan kini di kejauhan Lintang melihat rombongan parade Dufan sedang beraksi, mengelilingi taman hiburan tersebut sambil memainkan lagu tema Dufan dengan kostum warna-warni nan atraktif. Parade ini dipimpin seorang mayoret yang dengan lincah memutar-mutar tongkatnya mengikuti irama lagu sekaligus memberi aba-aba pada tim yang dipimpinnya.
“Kalo liat mayoret aku jadi inget, waktu SMP aku sering jadi mayoret.” Lintang bicara setengah berteriak karena saat itu suaranya nyaris tenggelam oleh suara musik.
“Oo gitu. Kirain kamu yang biasa jadi badutnya hahaha. Aw!” Rian tak sempat meneruskan tawanya karena satu cubitan di pinggangnya membuat dia meringis.
* * *
“Rian, terimakasih untuk hari ini.”
Acara jalan bareng mereka sudah berakhir, kini Lintang maupun Rian sudah di rumah masing-masing. Mereka sedang bercakap-cakap lewat telepon.
“Kelihatannya kamu bakal baik-baik aja kalo nanti jalan bareng kak Rin. Oya, aku juga nggak akan bilang kok kalo kita habis jalan bareng, jadi kasih aja hadiahnya.”
“Thanks Lin, moga-moga Rin suka.”
Rian menimang gantungan handphone yang tadi dibelinya di Dufan.
“Oya Lin kamu tadi cerita sering jadi mayoret waktu SMP. Trus seingetku kamu bilang belum setahun di Jakarta. Hm… Memang dulu kamu tinggal di kota mana?” tanya Rian.
Mendadak Rian merasa keceriaan Lintang menghilang, terdengar dari nada suaranya,
“Aku dulu tinggal di Jogja. Rian, maaf aku cape banget. Aku mau istirahat dulu. Bye”
Klik!
Telepon mendadak ditutup. Rian bingung dengan perubahan sikap Lintang yang mendadak.
Kenapa? Apa aku salah bicara?
(Bersambung)
Satu pertanyaan dari Rian sudah membuat Lintang merasa tidak nyaman, apakah ini berhubungan dengan masa lalu gadis tersebut? Sementara itu, bagaimana perkembangan hubungan Rian dan Rin? Jangan lewatkan chapter berikutnya...
Kejarlah Cinta #4 : Sebuah Hadiah untuk Dia | Kejarlah Cinta #1 : Perkenalan Pertama
Sumber gambar : deviantart.com
Dipublish pertamakali di www.kompasiana.com, copasing diizinkan dengan mencantumkan URL lengkap posting di atas atau dengan tidak menghapus/mengedit amaran ini