Mohon tunggu...
Ryan M.
Ryan M. Mohon Tunggu... Editor - Video Editor

Video Editor sejak tahun 1994, sedikit menguasai web design dan web programming. Michael Chrichton dan Eiji Yoshikawa adalah penulis favoritnya selain Dedy Suardi. Bukan fotografer meski agak senang memotret. Penganut Teori Relativitas ini memiliki banyak ide dan inspirasi berputar-putar di kepalanya, hanya saja jarang diungkapkan pada siapapun. Professional portfolio : http://youtube.com/user/ryanmintaraga/videos Blog : https://blog.ryanmintaraga.com/

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

Ada Cinta #14 : Bintang Jatuh

21 Oktober 2014   13:47 Diperbarui: 17 Juni 2015   20:17 84
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
1413848688555501730

Sinopsis :

Kissa Nayla mengaku sebagai teman masa kecil Angga.  Banyak hal yang terjadi selama Nay tinggal di rumah orangtua Angga.  Selama itu pula kebohongan Nay sedikit demi sedikit terungkap oleh Novan.  Angga yang belum tahu siapa Nay sebenarnya masih menganggap gadis itu teman masa kecilnya dan menyatakan perasaan padanya.  Bagaimana hubungan mereka berdua karena Nay sendiri belum memberi jawaban pasti?

CHAPTER 14

Sore itu selepas Maghrib di lantai paling atas rumahnya, Angga tampak sibuk dibantu Nay.  Keduanya mempersiapkan berbagai hal yang diperlukan untuk nanti malam - melihat hujan meteor.

“Oke, keliatannya semua sudah siap,” ujar Angga sembari memeriksa persiapan mereka untuk acara nanti malam.

“Yakin?” tanya Nay senyum-senyum.

“Aku yakin sih,” jawab Angga kemudian menoleh ke arah Nay, “Memangnya apa lagi yang kurang?”

“Jaket?  Cemilan?” timpal Nay, “Memangnya hujan meteor yang kita tunggu itu bisa diprediksi datangnya?”

“Haha kamu bener.  Kok aku bisa lupa ya?” Angga tertawa.

“Ya udah, kalo cemilan udah aku siapin di kamarku,” sahut Nay, “Tinggal nanti kita nyiapin jaket aja.”

“Oke,” Angga melirik jam tangannya, “Kita makan dan istirahat dulu.  Nanti malam sekitar jam 11 kita siap-siap lagi.”

“Sippo.”

Usai makan malam, Nay menuju kamarnya untuk beristirahat sejenak sebelum malam nanti begadang melihat bintang.

Gadis itu merebahkan dirinya di kasur.

“Angga,” desahnya.

Jauh di lubuk hatinya, Nay menyadari perasaannya pada Angga.

Aku juga suka kamu.

Tapi aku masih belum bisa terus-terang sama kamu.

Aku masih punya janji sama Rana...

Alih-alih beristirahat, Nay malah mengaktifkan laptopnya dan memainkan satu berkas video yang tersimpan di dalamnya.

Dalam video itu tampak dirinya yang sedang sibuk melihat-lihat album foto masa kecil Nayra, saudara kembarnya.

“Ini saudara kembarku,” terdengar suara si pemegang kamera, “Namanya Nayla, biasa aku panggil Lana.  Cantik ‘kan?  Cantik nggak?”

Kamera mendekat ke wajah Nayla, sangat dekat hingga hampir menyentuh pipinya.

“Rana, kamu apaan sih?” tepis Nayla dalam video itu.

Terdengar bunyi “tuk” ketika kamera diletakkan di meja, dan sedetik kemudian muncullah seorang gadis yang berambut pendek.  Wajah mereka mirip!

“Nih, gini nih kalo si kembar udah ketemu.  Siapa yang bisa ngebedain?” ucap si gadis berambut pendek.  Dialah Nayra, biasa dipanggil ‘Rana’ – saudara kembar Nayla.

“Haha gampang!  Tinggal liat aja rambut sama ini nih!” balas Nayla sambil menarik tangan Nayra dan memperlihatkannya ke kamera.  Ada bekas luka bakar di sana. Keduanya tertawa.

“Hahaha!  Kita emang kembar tapi beda banget!  Kamu girly sementara aku tomboy!”

Nay tersenyum tipis.

“Rana…,” gumamnya.

“Eh, sekali-sekali kita tukeran seru kali ya?” tukas Nayra.

“Tukeran gimana?” balas Nayla.

“Iya, kamu jadi aku, aku jadi kamu.  Pasti seru!”

“Haah?!  Nekat kamu!”

“Seru ‘kan?”

“Nggak ah!  Ntar kalo aku nggak kenal temen-temenmu gimana?” Nayla menggelengkan kepalanya.

“Gampaang!” Nayra menjentikkan jemarinya, “Tinggal bilang aja kita kena amnesia atau apa kek!  Oke?  Oke?”

Tepat pada saat itu ponsel Nay bergetar pendek.

Sebuah pesan singkat masuk.  Dari Ami.

“Duuh yang mau ngeliat bintang bareng Angga.  Gimana persiapannya?  Udah semua ‘kan?  Btw, yang lebih penting lagi persiapan mental lho.  Aku yakin dia bakal nembak kamu lagi pas ngeliat bintang nanti :)”

Nay tersenyum membaca pesan dari Ami.  Dengan lincah jemarinya bergerak membalas pesan dari sahabatnya tersebut.

“Haduh Ami, kamu ini bikin aku deg-degan.  Btw, gimana keadaanmu?  Sudah baikan?”

Ami memang sempat tidak masuk sekolah selama beberapa hari dengan alasan sakit, dan ini membuat Nay khawatir.  Namun anehnya, Ami waktu itu menolak dikunjungi.

Saat ini di kamarnya, Ami pun tersenyum membaca pesan dari Nay.

Kamu memang sahabatku yang paling baik...

Sewaktu tidak masuk sekolah akibat luka hatinya, ia tahu bahwa Nay-lah yang paling mengkhawatirkan kondisinya.  Beberapa kali Nay mengungkapkan maksudnya untuk berkunjung – satu hal yang selalu ditolaknya.

Perhatian Nay itulah yang pada akhirnya meluluhkan Ami.  Ia merelakan Angga.  Ia mundur dan memutuskan untuk tidak bersaing dengan Nay.  Tapi ia memutuskan untuk tetap menyimpan surat yang pernah ditulisnya untuk Angga, surat yang mungkin tak akan pernah ia kirimkan.

“Udah, aku udah baikan.  Maaf ya kemarin aku nggak mau dibesuk, bukannya kenapa, aku takut temen-temen nanti pada ketularan.  Kan repot kalo satu sekolah nanti nggak masuk semua :D”

Ami kemudian memandang ke luar jendela. Langit malam tampak indah dan cerah.

Hhh... seandainya saja...

* * *

(Catatan penulis : untuk musik pengiring adegan di bawah ini sampai selesai, saya menawarkan instrumentalia cantik “River Flows in You” yang dibawakan oleh Yiruma, semoga suasananya pas. Selamat berimajinasi!)

Saat ini sudah hampir jam 12 malam.

Angga menunggu.

Langit malam ini sungguh cerah dan indah. Bintang-bintang bersinar dengan terang menemani bulan yang bercahaya tak kalah indahnya.

“Angga,” terdengar satu suara di belakangnya.

Nay.

Angga menoleh dan tersenyum pada gadis yang saat ini mengenakan jaket untuk mengusir hawa dingin malam itu.

“Hai, Nay,” sapanya.  Ia sendiri sudah terbiasa dengan dinginnya malam sehingga hanya mengenakan kaos lengan panjang dan celana training.

Nay menghampiri Angga dan duduk di sebelah pemuda tersebut.

“Sudah mulai?” tanyanya.

“Belum,” jawab Angga sambil melirik jam tangannya, “Mungkin sebentar lagi.”

Diam-diam Angga melirik Nay.

Memang cantik.

Nay sendiri bukannya tak sadar bahwa Angga sedang meliriknya, tapi ia pura-pura tidak tahu.

“Liat!” serunya tiba-tiba.

Tampak segaris cahaya bergerak dari puncak langit menuju cakrawala.  Cahaya itu bergerak cepat dengan ekor yang panjang.  Kemunculannya hanya sekitar 1 sampai 2 detik sebelum kemudian menghilang.

“Sudah mulai,” gumam Angga.  Ia menyiapkan kamera videonya.

Satu demi satu garis-garis cahaya lainnya bermunculan, menghujani langit malam dengan pemandangan yang indah dan tak terlukiskan.

“Keren,” Nay terpukau.

Ini pengalaman pertamanya melihat hujan meteor.

“Angga, kamu rekam ‘kan?” tanyanya tanpa menoleh.

“He’eh,” jawab Angga tanpa menoleh juga.

Kedua remaja tersebut larut dalam pesona langit malam berhiaskan garis-garis cahaya yang bergerak cepat susul-menyusul.

Tanpa sadar, Nay menggamit lengan Angga.

Sementara di tempat lain, seorang gadis juga menikmati indahnya langit malam ini.

Ami.

“Indahnya,” gumam Ami pada diri sendiri.

Hujan meteor ini untuk sejenak mengingatkan Ami pada Angga yang pernah mengajaknya melihat hujan meteor.

Seandainya aku dulu nggak ragu membalas perasaannya, mungkin saat ini aku di sini ngeliat bintang bersamanya…

Ada sedikit penyesalan di dadanya.

Ah sudahlah, tepisnya.

Aku mundur, Nay.  Memang kamu yang lebih pantes buat Angga...

Dan langit terlihat lebih indah malam itu.

Pemandangan menakjubkan itu berlangsung sekitar 1 jam.  Saat ini garis-garis cahaya yang tampak sudah tidak lagi sebanyak tadi.

“Sumpah, keren banget!” seru Nay antusias.

“Bagus ya?” tanya Angga.

Nay mengangguk penuh semangat.

“Coba tiap malam ada terus,” sahutnya.

“Hahah, kita bakal begadang terus dong,” balas Angga.

Keduanya tertawa.

“Kalo aku di Jakarta, mungkin aku nggak bakal liat hujan meteor seperti tadi,” ujar Nay, “Makasih ya Ngga.”

Mereka berpandangan.

“Justru aku yang makasih,” balas Angga.

“Lho?  Kok?” Nay heran.

“Kalo nggak ada kamu, aku mungkin nggak bakal liat hujan meteor,” tukas Angga, “Tengah malam gini siapa juga yang kuat begadang sendirian,” lanjutnya sambil tersenyum kecil.

“Thanks Nay, kamu udah mau nemenin aku ngeliat bintang malam ini.”

“A… Angga?” tiba-tiba wajah Nay terasa panas.  Untung saja saat itu malam hari sehingga tak ada yang melihat wajahnya yang ia yakin sedang merah saat ini.

“Nay…,” panggil Angga.

“I… iya?” Entah kenapa Nay merasa gugup.

Ia teringat SMS dari Ami tadi,

“Aku yakin dia bakal nembak kamu…”

Jangan-jangan omongan Ami tadi bener?

Angga bakal nembak aku lagi?

(Bersambung)

Akhirnya Angga dan Nay melihat bintang bersama-sama, satu pengalaman yang tak terlupakan bagi mereka berdua.  Dan di saat ini pula, Angga sepertinya akan kembali mengungkapkan perasaannya pada Nay.  Benarkah?  Ikuti chapter berikutnya!

“Ada Cinta”, terbit dua kali dalam seminggu, Selasa dan Jumat…

Ada Cinta #15 : Aku Nggak Marah ke Kamu, Tapi Kenapa Aku Menangis? |   Ada Cinta #1 : Siapa gadis Itu?

Sumber gambar : tumblr.com
Tulisan ini masuk kategori “Fiksi” dan dipublish pertamakali di www.kompasiana.com, copasing diizinkan dengan mencantumkan URL lengkap posting di atas atau dengan tidak menghapus/mengedit amaran ini

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun