Mohon tunggu...
Ryan M.
Ryan M. Mohon Tunggu... Editor - Video Editor

Video Editor sejak tahun 1994, sedikit menguasai web design dan web programming. Michael Chrichton dan Eiji Yoshikawa adalah penulis favoritnya selain Dedy Suardi. Bukan fotografer meski agak senang memotret. Penganut Teori Relativitas ini memiliki banyak ide dan inspirasi berputar-putar di kepalanya, hanya saja jarang diungkapkan pada siapapun. Professional portfolio : http://youtube.com/user/ryanmintaraga/videos Blog : https://blog.ryanmintaraga.com/

Selanjutnya

Tutup

Catatan Pilihan

Hatta, Sang Bapak Bangsa (Resensi Novel “Hatta, Aku Datang Karena Sejarah”)

29 November 2014   18:17 Diperbarui: 17 Juni 2015   16:31 2255
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption id="attachment_338579" align="aligncenter" width="600" caption="Novel Hatta karya sahabat saya Sergius Sutanto (dokpri menggunakan Sony Ericsson XPeria Ray)"][/caption]

"Hidup adalah kata-kata yang akan bermakna setelah jadi kalimat."


Kalimat di atas ditulis oleh sahabat saya Sergius Sutanto ketika menyerahkan salah satu karyanya pada saya, sebuah buku yang pertama kali dicetak pada September 2013 dan dicetak ulang pada Februari 2014.  Karya itu adalah sebuah novel yang diterbitkan oleh Qanita (Mizan Grup) dan Mizan Pustaka, sebuah novel yang mengisahkan sepenggal perjalanan hidup dari seorang pendiri negara Republik Indonesia.

Sebuah novel berjudul “Hatta”.

Aku Datang Karena Sejarah


“Hatta” berkisah tentang perjalanan hidup seorang Mohammad Hatta yang semasa kecil dipanggil “Atta” – seorang anak yatim sejak berusia delapan bulan.  Pada masa kecilnya diceritakan bahwa Hatta - yang sudah berusia 6 tahun - ternyata ditolak masuk sekolah hanya karena tangannya belum bisa menyentuh telinga padahal Atta sudah memiliki keinginan kuat untuk bersekolah.

“Karena itu kau harus segera sekolah,” kata Pak Gaeknya satu hari.

“Bukankah sekolah itu bikinan orang Belanda, mengapa kita harus mengikutinya?” tanya Hatta.

“Itu tidak benar, Nak.  Ilmu bukan datang dari orang Belanda, tapi dari Allah. Kita wajib belajar dan bersekolah agar pandai dan berbudi,” kata Pak Gaek.

(“Hatta” – halaman 28)

Pak Gaek Ilyas – sang kakek – adalah sosok yang banyak memberikan pengaruh pada Atta.  Kisah-kisah tentang Makkah dan janji Pak Gaek padanya membuat Atta mengenal satu hal yang dinamakan ‘harapan’, sesuatu yang terus dipupuknya hingga kelak Atta menjadi seorang tokoh pergerakan bersama Soekarno dan Sutan Sjahrir.

Malam itu, Hatta terlarut dalam sebuah ruang kelana yang bernama sosialisme.  Benar, Karl Max lahir dua belas abad sesudah Nabi Muhamamd Saw. memperkenalkan sosialisme yang diperintahkan Allah.

("Hatta" - halaman 87)

Dwitunggal yang tidak mempunyai kekuasaan tidak ada gunanya.

("Hatta" - halaman 19)

Novel ini dibuka dengan adegan di Jl. Diponegoro tahun 1956 setelah seorang Mohammad Hatta mengundurkan diri dari jabatannya sebagai seorang Wakil Presiden, meninggalkan Soekarno dengan segala keinginannya.

Tidak ada gunanya memangku jabatan bila suara terkunci dalam labirin kemelut yang tak berujung.  Semoga ke depan, langkah pemerintahan semakin cakap dan memiliki kewibawaan.

(“Hatta” – halaman 269)

Alur cerita kemudian melompat mundur ke tahun 1908 lalu terus berjalan hingga berakhir tahun 1970 saat Hatta terakhir kali berjumpa kembali dengan Soekarno.

Sebuah Tafsir Memoar


“Hatta” ditulis berdasarkan memoar, catatan, surat-surat, dan kisah hidup Bung Hatta.  Sergius Sutanto sebagai penulis memilih untuk mengemas kisah Mohammad Hatta menjadi sebuah novel dengan alur penceritaan yang enak diikuti, pun pembaca diajak masuk ke alam pikiran Hatta melalui percakapan dalam hati ketika proklamator ini dihadapkan pada sebuah kondisi seperti saat beliau menjalani masa tahanan sbb :

Dat Indringers!

Mahaperkasa Tuhan yang telah menciptakan kopi.

Tapi ini sudah hari kelima belas.

???

Aku harus terbiasa kalau tidak ingin gila.

!!!

Aku harus pandai memelihara harapan.

(“Hatta” – halaman 121)

Jika membaca kalimat di atas, mungkin kita membayangkan bahwa Mohammad Hatta ternyata adalah sosok yang meledak-ledak juga, berbeda dengan profilnya yang terlihat kalem.

Atau coba baca bagian ini :

Hatta menatapi kayu dermaga.  Angin laut sangat bersahabat sore itu.

“Angin sepi bertiup dari angkasa

Merembes ke tanah, ranting digoncang

Margasatwa melompat ke luar sarang

Melihat beranta indera indah semata”

Meluncur satu puisi dari mulut Hatta.  Sjahrir tercekat sesaat, tak percaya dengan apa yang didengarnya.  Dia tersenyum keheranan pada Hatta.

“Kukira kau hanya sibuk dengan teori dan buku-buku tebal, Bung.”

(“Hatta” – halaman 231)

Sebagai pembaca, rasanya kita bisa membayangkan betapa akrabnya mereka berdua.  Sebuah hubungan persahabatan yang manusiawi dan tidak melulu diisi dengan diskusi-diskusi serius.

Dalam kata pengantarnya, Meutia Hatta yang bertindak atas nama keluarga besar Bung Hatta menyatakan sama sekali tidak keberatan dengan pendekatan yang digunakan sang penulis, beliau hanya meminta agar data tentang riwayat dan sejarah perjuangan Bung Hatta tidak diubah.

Dan di bagian akhir buku ini, Sergius Sutanto menceritakan bahwa ia mengirimkan naskah novel tersebut pada keluarga Bung Hatta untuk mendapatkan persetujuan.  Sedikit informasi, perkenalan Sergius Sutanto dengan keluarga besar Bung Hatta bermula saat ia menjadi sutradara dalam sebuah dokudrama tentang Bung Hatta produksi Trans TV tahun 2002.  Ya, Sergius Sutanto memang lebih dikenal sebagai seorang sutradara yang sudah melahirkan banyak karya.

Penutup


Secara fisik, novel berdimensi 13 x 20 cm dan tebal 2,5 cm ini nyaman dibaca.  Pemilihan kertas, ukuran dan jenis huruf, jarak antar baris, hingga pemisahan bab membuat “Hatta” tidak melelahkan untuk dibaca – bahkan bagi pembaca yang sudah di ambang usia 40 seperti saya.

Mungkin satu-satunya kelemahan novel ini adalah tidak tersedianya pembatas buku sehingga saya mesti menyelipkan kertas kecil ketika memutuskan untuk rehat sejenak.

Jika tertarik, sampai beberapa waktu lalu saya masih melihat buku ini tersedia di Gramedia dengan harga sekitar Rp 70.000 dan belum masuk golongan buku yang didiskon.

Sekadar catatan narsis, di halaman 349 ada nama saya disebut-sebut lho hehehe…

“Hoe gaat het met jou?” tanya Soekarno lirih.

Hatta mengangguk pelan, “Baik, No.”

Lalu diam.

Semua dalam sepi.

Hatta merapatkan tubuhnya lebih dekat pada Soekarno. Tak ada suara, hanya napas Soekarno yang kadang tersengal.  Selebihnya suara tetesan infus, itu juga samar.

Mereka saling tatap.

Air mata Soekarno perlahan menetes.  Hatta iba.

(“Hatta” – halaman 340)

Semoga tulisan saya kali ini bermanfaat, selamat berakhir pekan!
Tulisan ini masuk kategori “Buku, Film, dan TV” dan dipublish pertamakali di blog.ryanmintaraga.com, copasing diizinkan dengan mencantumkan URL lengkap posting di atas atau dengan tidak menghapus/mengedit amaran ini.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun