Dwitunggal yang tidak mempunyai kekuasaan tidak ada gunanya.
("Hatta" - halaman 19)
Novel ini dibuka dengan adegan di Jl. Diponegoro tahun 1956 setelah seorang Mohammad Hatta mengundurkan diri dari jabatannya sebagai seorang Wakil Presiden, meninggalkan Soekarno dengan segala keinginannya.
Tidak ada gunanya memangku jabatan bila suara terkunci dalam labirin kemelut yang tak berujung. Semoga ke depan, langkah pemerintahan semakin cakap dan memiliki kewibawaan.
(“Hatta” – halaman 269)
Alur cerita kemudian melompat mundur ke tahun 1908 lalu terus berjalan hingga berakhir tahun 1970 saat Hatta terakhir kali berjumpa kembali dengan Soekarno.
Sebuah Tafsir Memoar
“Hatta” ditulis berdasarkan memoar, catatan, surat-surat, dan kisah hidup Bung Hatta. Sergius Sutanto sebagai penulis memilih untuk mengemas kisah Mohammad Hatta menjadi sebuah novel dengan alur penceritaan yang enak diikuti, pun pembaca diajak masuk ke alam pikiran Hatta melalui percakapan dalam hati ketika proklamator ini dihadapkan pada sebuah kondisi seperti saat beliau menjalani masa tahanan sbb :
Dat Indringers!
Mahaperkasa Tuhan yang telah menciptakan kopi.
Tapi ini sudah hari kelima belas.
???