[caption id="attachment_352623" align="aligncenter" width="600" caption="Boleh marah, tapi... (sumber foto: okezone.com)"][/caption]
Sesak rasanya dada ini membaca berita seorang anak perempuan berusia 7 tahun yang tewas setelah dipukuli ayahnya gara-gara rebutan baju dengan kakaknya. Menurut pengakuan sang ayah, ia memukuli anaknya dengan bambu.
Dan yang lebih menyayat hati hingga membuat saya benar-benar menangis adalah anak yang dipukuli itu meminta maaf pada ayah dan kakaknya - bahkan meminta es krim sebelum menghembuskan nafas terakhirnya. Mohon maaf, saya tak sanggup menuliskan kronologinya lebih detail - bahkan membaca kembali berita itu pun saya tak sanggup.
Air mata saya benar-benar tumpah, saya menangis.
Yang saya lakukan berikutnya adalah men-share berita tersebut di facebook saya kemudian membuat tulisan ini sebagai bahan renungan sekaligus peringatan - setidaknya - untuk diri saya sendiri.
Anak nakal layak dipukul?
Di lingkungan kita lazim ditemui orang tua yang dengan mudahnya memberikan cap "nakal" pada anak. Karena cap itulah, orang tua seakan memiliki legitimasi untuk "mendidik" anak dengan caranya - termasuk kekerasan. Ada yang dikurung dalam kamar, dicubit, dipukul, diceburkan ke bak mandi, disabet menggunakan sabuk, disundut rokok, dsb. Legitimasi ini menjadi makin kuat dan seolah tak pantas digugat karena para orang tua kerap menggunakan kalimat sakti, "Ini anak saya!"
Sedikit cerita, sewaktu kecil saya juga kebagian didikan keras dengan cara disabet sabuk, biasanya itu dilakukan bila saya melanggar aturan tidur siang yang ditetapkan ayah. Sebagai anak kecil, tentu saja saya menangis sejadi-jadinya.
Tapi sekarang saya tahu bahwa ayah melakukannya (menyabet saya) tidak dilandasi emosi. Ya, selelah-lelahnya orang tua saya, mereka tidak pernah marah selama kami anak-anaknya tidak melanggar aturan yang sudah ditetapkan. Beberapa kali kami bersaudara bertengkar sampai pukul-pukulan memperebutkan sesuatu, namun ayah maupun almarhumah ibu hanya menghardik dan membuang benda yang menjadi objek pertengkaran.
That's it.
Puluhan tahun berlalu, sekarang empat dari lima anak-anak beliau sudah membangun keluarga - yang dengan caranya masing-masing mendidik anak.
Saya mengamati bahwa adik saya tak pernah memarahi ketiga anak laki-lakinya - sebadung apapun mereka. Ia hanya menegur apabila anak-anaknya sudah mulai "kelewatan".
Sementara saya?
Sejujurnya saya menyerahkan urusan "marah-marah" ini pada istri karena saya sendiri tak melihat ada level kenakalan anak yang perlu dimarahi - kecuali saat si sulung sudah mulai berani membantah ibunya atau jika ia lalai dari tanggung jawab menjaga peralatan sekolahnya.
Itupun saya selalu mewanti-wanti istri saya,
"Boleh marah, boleh mukul, tapi jangan pake emosi."
Menurut saya, sekali-sekali memang anak perlu "dikerasi" seperti dicubit atau bahkan dipukul, tapi tentu saja pukulan yang tidak menimbulkan sakit - apalagi sampai berkali-kali dipukul. Anak adalah makhluk lemah yang dipercayakan Sang Maha pada kita, anak adalah makhluk yang sedang belajar menjalani hidup.
Dalam bahasa kasar saya :
"Anak itu belum ada otaknya, emosinya juga belum stabil. Jangankan mereka, kita yang sudah puluhan tahun hidup aja masih bisa salah kok"
Karena itu, hukuman yang diberikan pada anak jangan didasari oleh kitanya yang sedang capek sehingga marah-marah dan memukul anak yang kita nilai "nakal". Jangan jadikan anak pelampiasan kekesalan kita. Jika ada masalah di kantor, selesaikan di kantor, jangan bawa-bawa ke rumah apalagi sampai dilampiaskan ke anak.
"Saat menghukum anak, hukumlah dia karena kesalahan yang diperbuatnya, bukan karena kita sedang capek dan kesal."
Saya rasa apa yang dulu orang tua saya lakukan itu benar. Jika kami ribut karena suatu benda, maka benda itulah yang harus dibuang sehingga tidak ada yang harus diperebutkan.
Apa bedanya?
Hukuman yang diberikan karena anak melakukan kesalahan adalah hukuman yang harus diterima si anak - tak peduli suasana hati kita saat itu. Bahkan saat suasana hati orang tua sedang senang pun, kita tetap harus memberikan hukuman apabila anak jelas-jelas melanggar aturan tidur siang, misalnya. Dari situ anak akan belajar bahwa tidak ada kesalahan tanpa hukuman.
Sebaliknya hukuman yang diberikan karena kita sedang kesal akan lebih banyak membawa dampak negatif pada anak. Anak akan takut pada orang tuanya, dia akan bingung dalam bertindak akibat tidak ada parameter yang jelas tentang benar atau salah. Dan yang lebih memilukan lagi, hukuman yang diterima si anak sangat tergantung dari tingkat emosi orang tuanya yang bisa-bisa berakibat fatal bagi si anak seperti berita yang saya baca tadi. Jika sudah kejadian seperti ini, sesal seperti apa pun tidak akan ada gunanya.
"Saya menyesal. Saya rela dihukum untuk menebus dosa saya ke anak saya," seperti itulah pengakuan orangtua yang emosinya tak terkendali sehingga menewaskan anak yang sebenarnya sangat disayanginya.
Dalam cerita rakyat kita, setidaknya Kisah Danau Toba bisa menjadi pelajaran betapa emosi orang tua yang tak terkendali sehingga mengata-ngatai anaknya sebagai "anak ikan" pada akhirnya membawa penyesalan yang mendalam. Padahal itu "sebatas" kata-kata yang menyakitkan, bukan hajaran dengan tangan kosong maupun batang bambu.
Harapan saya
Pada akhirnya, setiap membaca berita seperti itu saya hanya bisa berdoa semoga saya sekeluarga dijauhkan dari hal-hal seperti itu (menangani anak dengan emosi yang tak terkendali). Saya sendiri tidak berani mencela orang tua yang sampai lepas kendali dalam "mendidik" anak-anaknya karena saya takut kelak berada dalam situasi yang sama.
Berdoa, berharap, dan berusaha agar bisa jauh-jauh menyingkirkan emosi ketika menghadapi "kenakalan" anak. Hanya itu yang bisa saya lakukan.
Semoga ada hikmah yang bisa diambil dari tulisan ini. Selamat siang...
Dan berikut adalah tautan berita yang sangat memilukan hati saya :
Rebutan Baju dengan Kakak, Anak 7 Tahun Tewas Setelah Dipukuli Ayahnya
Tulisan ini masuk kategori “Relationship” dan dipublish pertamakali di blog.ryanmintaraga.com, copasing diizinkan dengan mencantumkan URL lengkap posting di atas atau dengan tidak menghapus/mengedit amaran ini
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H