Sementara saya?
Sejujurnya saya menyerahkan urusan "marah-marah" ini pada istri karena saya sendiri tak melihat ada level kenakalan anak yang perlu dimarahi - kecuali saat si sulung sudah mulai berani membantah ibunya atau jika ia lalai dari tanggung jawab menjaga peralatan sekolahnya.
Itupun saya selalu mewanti-wanti istri saya,
"Boleh marah, boleh mukul, tapi jangan pake emosi."
Menurut saya, sekali-sekali memang anak perlu "dikerasi" seperti dicubit atau bahkan dipukul, tapi tentu saja pukulan yang tidak menimbulkan sakit - apalagi sampai berkali-kali dipukul. Anak adalah makhluk lemah yang dipercayakan Sang Maha pada kita, anak adalah makhluk yang sedang belajar menjalani hidup.
Dalam bahasa kasar saya :
"Anak itu belum ada otaknya, emosinya juga belum stabil. Jangankan mereka, kita yang sudah puluhan tahun hidup aja masih bisa salah kok"
Karena itu, hukuman yang diberikan pada anak jangan didasari oleh kitanya yang sedang capek sehingga marah-marah dan memukul anak yang kita nilai "nakal". Jangan jadikan anak pelampiasan kekesalan kita. Jika ada masalah di kantor, selesaikan di kantor, jangan bawa-bawa ke rumah apalagi sampai dilampiaskan ke anak.
"Saat menghukum anak, hukumlah dia karena kesalahan yang diperbuatnya, bukan karena kita sedang capek dan kesal."
Saya rasa apa yang dulu orang tua saya lakukan itu benar. Jika kami ribut karena suatu benda, maka benda itulah yang harus dibuang sehingga tidak ada yang harus diperebutkan.
Apa bedanya?
Hukuman yang diberikan karena anak melakukan kesalahan adalah hukuman yang harus diterima si anak - tak peduli suasana hati kita saat itu. Bahkan saat suasana hati orang tua sedang senang pun, kita tetap harus memberikan hukuman apabila anak jelas-jelas melanggar aturan tidur siang, misalnya. Dari situ anak akan belajar bahwa tidak ada kesalahan tanpa hukuman.