Hai, perkenalkan saya Ryan. Saya adalah seorang mahasiswa prodi Kedokteran Gigi di salah satu universitas di Bandung. Selama menjalani studi di prodi ini, banyak kegiatan yang telah saya ikuti dan banyak pengalaman yang saya dapatkan.Â
Salah satu pengalaman menarik itu adalah ketika saya, untuk pertama kalinya, "menunggangi kuda besi" sejauh 50 KM sebagai anggota divisi transportasi di suatu acara kampus. Penasaran dengan kisah saya? Izinkan saya berbagi kisah ini.
Saat itu adalah pagi yang cerah, diiringi dengan siulan merdu Tonggeret dari pepohonan di sekitar gedung utama kampus. Meskipun universitas saya terkenal akan letaknya di Bandung, namun sebenarnya, kampus utama untuk mahasiswa dengan program studi S1 berada di daerah Jatinangor, Sumedang.Â
Kampus utama ini terletak di daerah pegunungan yang sejuk, dan ditumbuhi oleh pepohonan yang rimbun. Tidak heran masih banyak Tonggeret yang dapat bernyanyi ria di tengahnya. Tonggeret adalah seekor serangga yang mengeluarkan suara yang khas, umumnya menempel di batang pohon-pohon yang tinggi. Tonggeret juga sering disebut sebagai Keriang.Â
Pagi itu adalah hari Kamis. Hari dimana saya bersiap untuk memulai kegiatan "Pengabdian Pada Masyarakat" yang akan dilaksanakan di salah satu desa yang cukup terpencil. Terletak sekitar 50 KM dari kampus utama saya. Kebetulan, saya menjabat sebagai anggota divisi transportasi pada kegiatan itu.Â
Kegiatan "Pengabdian Pada Masyarakat", atau biasanya disingkat sebagai PPM, merupakan kegiatan tahunan yang dilakukan oleh mahasiswa kedokteran gigi universitas saya, untuk memberikan pelayanan pemeriksaan dan perawatan gigi secara gratis di desa-desa terpencil. Umumnya kegiatan ini berlangsung selama 3 hari. Namun, tentu saja, persiapannya akan dimulai sejak H-1 kegiatan. Â
Sejak pagi, saya bersama teman-teman saya ikut membantu dalam membungkus seluruh peralatan yang diperlukan, dan mengangkutnya ke atas truk. Dimulai dari meja, kursi, lemari, berbagai peralatan kedokteran gigi, berbagai bahan kesehatan yang perlu dibawa dalam keadaan steril, dan lainnya. Sungguh pagi yang melelahkan.Â
Tidak terasa, hari sudah sore, dan sudah saatnya untuk kami berkemas dan bersiap untuk berangkat. Petualangan saya pun dimulai. Bersama 3 teman saya, kami berangkat mendahului rombongan yang lain, sebagai tim advance. Dengan menunggangi "kuda besi", kami berangkat dengan kondisi yang cukup lelah dikarenakan proses persiapan yang tidak diselingi dengan waktu istirahat.Â
Saya mengendarai motor teman saya. Sepeda motor bebek matic, berwarna hitam dengan las merah. Kondisinya masih sangat bagus, mungkin dikarenakan perawatannya yang baik.Â
Saya pun menggunakan helm teman saya. Kebetulan, saat itu teman saya bertugas di divisi lain sehingga tidak dapat mengendarai motor ini. Meskipun sedikit lelah, sepertinya perjalanan ini akan menyenangkan. Itu yang saya pikirkan, hingga saya teringat bahwa saya tidak membawa jaket.
Perjalanan dimulai pada pukul 18.03 WIB. Langit pun mulai dihiasi dengan sinar rembulan, bersamaan dengan awan kelam. Saya hanya berharap agar awan tidak menurunkan Sang Hujan. Tanpa keberadaan Sang Hujan pun, saya sudah merasakan angin dingin yang menusuk pori-pori kulit saya, d ibawah sehelai kaos hitam berlengan panjang yang saya kenakan.Â
Saya hanya dapat berdoa agar perjalanan ini dapat cepat berakhir. Namun, sepertinya belum saatnya doa ini terkabul. Walaupun demikian, saya tidak dapat membendung kegirangan didalam hati saya, karena saya senang dapat memulai sesuatu yang sebelumnya belum pernah saya lakukan.Â
Pukul 18.49, kami pun memutuskan untuk makan malam terlebih dahulu. Saya ingat betul rasa ayam goreng saat itu. Ayam goreng terenak yang pernah saya makan, entah karena perut yang telah keroncongan atau memang bumbunya yang lezat. Begitu pula dengan nasi uduknya yang hangat dan pulen. Harum bawang goreng serta rasa gurih dari santan, sukses membuat lidah kami menari-nari bahagia. Kesempurnaan rasa itu, ditutup dengan secangkir teh hangat untuk melelehkan rasa dingin di tubuh. Sungguh kenikmatan yang tidak tertandingi. Setalah itu, kami pun melanjutkan perjalanan.
Seusai makan lezat, tentu membuat rasa kantuk meningkat. Kelopak mata terasa sangat berat, bagaikan tertimpa kunci gembok. Ingin rasanya untuk menutup mata ini, walau hanya sejenak. Membayangkan terbaring di kasur yang lembut, tentunya akan sangat nyaman. Semakin dipikirkan, semakin menjadi-jadilah rasa kantuk ini.Â
Saya pun berusaha untuk tetap membuka mata. Sembari menyanyikan lagu "Goyang Duyu" ciptaan Project Pop, saya mencoba membakar semangat saya untuk mengendarai "kuda" ini. Mengacak-acak isi kepala saya agar melupakan rasa kantuk. Mencubit pipi untuk meningkatkan ketajaman penglihatan saya yang mulai luluh karena kantuk.Â
Setiap detik dalam perjalanan itu pun menjadi pertarungan sengit antara kelenjar pineal di otak saya dengan fokus menunggangi "kuda besi" ini. Kelanjar pineal merupakan kelenjar pada otak manusia yang mengeluarkan hormon melatonin, dimana hormon ini berperan sebagai penghasil rasa kantuk.Â
Pukul 19.48, akhirnya kami memasuki area desa yang akan menjadi tempat kami melaksanakan pelayanan. Desa ini berada di dataran tinggi, dengan udara yang dingin. Suatu kesalahan besar untuk tidak mengenakan jaket saat mendatangi area ini. Hamparan padi dapat terlihat, meskipun rembulan yang menerangi. Listrik yang minim serta jalanan berbatu, membuat kami harus lebih berhati-hati agar tidak tergelincir di tengah gelapnya malam.Â
Kami pun mendekati kantor kepala desa. Terlihat sebuah lapangan parkir berukuran sekitar 3 kali 3 meter di depan kantor tersebut. Pada pukul 20.10 pun, kami tiba di lokasi. Setibanya disana, kami menunggu truk yang mengangkut peralatan datang, agar dapat dimulai proses persiapan ruangan untuk pelayanan esok hari.Â
Singkat cerita, saya bersama seluruh panitia dapat menyelesaikan persiapan itu, dan tepat pada pukul 00.30 kami bersiap untuk istirahat. Hari yang panjang untuk sebuah permulaan. Kami para panitia beristirahat dengan menumpang di rumah warga desa. Mereka menerima kami dengan hangat.Â
Saya ingat saat itu, saya serumah dengan 4 kawan saya. Kami tidur di ruang tamu salah satu rumah warga, dengan karpet sebagai alasnya. Bagaikan menggotong sebuah motor Vespa diatas pundak kami, sesampainya di ruang tamu itu, kamu pun langsung terkapar. Masuk ke dalam alam mimpi yang hangat nan indah. Beristirahat setelah 19 jam melakukan persiapan.
Esok harinya, proses pelayanan pun dimulai. Saya sebagai anggota divisi transportasi, bertugas untuk mengantarkan dokter-dokter ke tempat pelayanan di desa itu. Sungguh pengalaman yang menyenangkan.Â
Selama 3 hari masa pelayanan, saya mengitari seluruh desa tersebut. Melihat gunung, sawah dan kolam ikan yang jarang saya temui di perkotaan. Suatu momen "cuci mata" yang saya perlukan untuk melepas kepenatan keseharian saya. Namun, tentunya kesenangan tidak akan berlangsung selamanya. Setelah 3 hari proses PPM, saya pun kembali menunggangi "kuda besi" ini untuk menempuh perjalanan yang sama menuju kampus saya.Â
Perjalanan pulang dimulai pada malam hari, yakni pukul 21.00 WIB. Waktu yang sangat tepat untuk seorang individu untuk terlelap pulas. Seperti yang kalian semua bisa tebak, saya kembali melakukan pertarungan sengit dengan kelenjar pineal saya. Untungnya, kali ini saya telah menggunakan jaket pelindung dari angin dingin.Â
Namun, tetap saja. Jari-jemari saya mengeriting dikarenakan tiupan angin di sepanjang perjalanan. Berbeda dengan perjalanan sebelumnya, saya dan 3 teman saya tidak melakukan istirahat di tengah perjalanan, mengingat waktu yang sudah malam. Dan itu adalah ide yang sangat buruk.Â
Beberapa hal yang merugikan pun mulai berdatangan. Dimulai dari mata saya yang berair di tengah perjalanan. Kaki yang kesemutan. Tenggorokan yang kering dan haus. Bahkan saya sudah tidak bisa merasakan bokong saya. Namun, saya bersyukur sebab kami dapat tiba di tempat tujuan dengan selamat.Â
Secara total, saya melakukan perjalanan dengan menunggangi "kuda besi" ini sejauh 100 KM. Suatu pencapaian yang mungkin dapat saya ceritakan kepada anak cucu saya nanti. Sebagai pengalaman pertama dalam melakukan touring, hal ini adalah sesuatu yang luar biasa. Saya belajar bagaimana melawan keinginan demi mencapai tujuan. Belajar untuk keluar dari zona nyaman, dan belajar untuk teguh.Â
Saya menjadi kagum kepada mereka para supir truk dan bus yang dengan gigih mengendarai kendaraannya berjam-jam atau bahkan berhari-hari. Mungkin suatu saat nanti, saya berkeinginan untuk melakukan kegiatan ini lagi. Tentunya dengan persiapan yang lebih matang serta pembagian waktu antara istirahat dan berkendara yang telah ditentukan.Â
Sebab, saya sendiri merasakan betapa berbahayanya mengendarai kendaraan dalam keadaan mengantuk dan waktu untuk rehat adalah hal yang penting. Saya harap, para pembaca juga dapat berhati-hati selama berkendara, serta usahakan jangan berkendara sembari melawan kelenjar pineal. Mereka adalah lawan yang tangguh.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H