Hai, perkenalkan aku Ryan. Aku adalah seekor kelinci berwarna putih, dengan corak hitam dimata kanan dan telinga kananku. Mataku berwarna coklat kehitaman, berbentuk bulat. Aku berusia 5 bulan dan inilah saatnya aku menentukan sekolah khususku.Â
Sebelumnya, mengapa aku bisa berbicara, ya? Oh, benar juga, ini adalah cerita fabel. Baiklah, izinkan aku menceritakan sedikit kisahku dalam menggapai mimpi.
Aku lahir di sebuah rumah kecil, di daerah pegunungan yang tinggi. Ibuku melahirkanku dengan begitu sulit. Ditambah saat itu adalah musim hujan dan rumahku bocor. Sungguh, bukan kondisi yang baik. Namun, aku sangat bersyukur sebab ibuku dapat dengan selamat melahirkanku.Â
Kata ibu, aku berwarna merah padam saat dilahirkan. Aku ditidurkan di atas tempat tidur jerami setelah dilahirkan. Hingga saat ini aku masih tidur di sana, lho. Sungguh tempat beristirahat yang nyaman. Aku memperoleh kehangatan dan bila aku lapar, aku dapat mengemilinya. Apakah kamu ingin mencobanya? Sungguh lezat, kawan! Ssstt. Jangan beri tahu ibuku, ya. Ia sering mengomeliku bila aku makan jerami dari tempat tidurku.Â
Ayahku adalah seorang pelari. Pelari yang hebat di kotaku. Ia telah membanggakan Kota Kelinci dengan memenangkan perlombaan lari marathon antar kota. Lawannya saat itu sangatlah menakjubkan. Mereka berasal dari berbagai kota, seperti Kota Kucing, Kota Ayam, Kota Anjing dan seantero kota lain.Â
Lawan terberatnya saat itu adalah Jubatus si Kucing. Dengan tubuhnya yang ramping, serta totol-totol hitam di sekujur tubuh, membuatnya sangat anggun saat berlari. Tapi tentu saja, ayahku yang terbaik.Â
Ayahku berhasil memenangkan lomba lari itu, walaupun tidak berbeda jauh dengan Jubatus. Lomba lari marathon ini memang telah menjadi pertandingan tahunan. Pemenang akan membawa Kotanya menuju ketenaran dan hal ini membuat segala urusan menjadi lebih mudah, serta menarik lebih banyak turis untuk datang ke Kota yang memenangkan kompetisi itu. Sungguh, ayah yang membanggakan.
Ibuku adalah seorang pelari juga. Namun karena kakinya yang tidak cukup panjang untuk perlombaan antar kota, ia tidak dapat bergabung kedalam tim inti perlombaan saat itu.Â
Meskipun demikian, ibuku adalah pelari yang hebat dikelasnya. Ia juga sering mengikuti perlombaan antar kelinci wanita di kotaku. Dan hampir selalu menang, lho. Ibuku hebat. Ia selalu bisa membuat masakan yang enak, terutama sup wortel kesukaanku. Perpaduan wortel, selada dan kangkung, memanglah yang terbaik. Terutama jika dibuat dengan sepenuh cinta oleh Ibu.Â
Aku adalah anak bungsu dari 2 bersaudara. Kakakku sangatlah hebat. Ia mengikuti jejak ayahku untuk menjadi seorang pelari antar kota. Dengan kakinya yang panjang, ia dapat melompat dengan sangat jauh. Ia bersekolah di sekolah khusus pelari. Dan tentu saja, guru di sekolah itu adalah pelari terbaik di kota ini, yaitu ayahku. Semua orang mengatakan bahwa kakakku akan menjadi penerus ayahku. Dan itu adalah hal yang menakjubkan.Â
Sedangkan aku, sejujurnya aku tidak begitu menyukai kegiatan olahraga. Aku lebih suka duduk di kamarku dan membaca buku mengenai arsitektur. Perspektif setiap lika-liku bangunan sangatlah menarik bagiku. Dan terkadang aku bermimpi agar dapat merancang bangunanku sendiri. Namun, sepertinya hal ini tidak bisa dilakukan.Â
Ayahku selalu meyakinkanku untuk berlatih menjadi seorang pelari. Biarkan urusan bangunan diberikan kepada para Gajah, yang memang terkenal akan kemampuannya dalam mengelola kayu menjadi bangunan yang indah. Begitu katanya. Tetapi, tetap saja. Meskipun kotaku ini tidak dikenal dengan bidang arsitektur, aku tetap ingin menjadi seorang arsitek. Aku merasa, hal itulah yang aku sukai, dan aku merasa dapat bermanfaat untuk hewan lain dengan ilmu itu.Â
Suatu hari di sekolah umum para hewan, Â guru bahasa inggrisku, Ibu Aves si Ayam, mengatakan satu kalimat yang terngiang-ngiang di kepalaku. "Follow your dream". Aku tidak tahu artinya, namun sepertinya sesuatu yang bagus. Maklum saja, bahasa inggris bukanlah sesuatu yang menarik perhatianku saat itu.Â
Sepulang sekolah, aku langsung pergi menuju perpustakaan umum, di tengah Kota Kelinci ini. Perpustakaan ini selalu sepi. Mungkin hanya aku yang senang menghabiskan waktu di tempat ini. Penjaga perpustakaan ini adalah Pak Loris, si Kukang. Ia mengetahui segala jenis buku yang terpajang di perpustakaan ini. Aku selalu bertanya padanya jika mencari buku.Â
Hari itu, aku meminjam kamus bahasa inggris. Ku duduk di meja tengah perpustakaan itu, dan mencari arti kata yang dikatakan Ibu Aves. Setelah 2 jam, akhirnya aku mengetahui arti kata itu. Ikuti Mimpimu. Suatu kata yang ternyata aku cari. Kata yang akhirnya membangkitkan semangatku untuk mengejar apa yang aku inginkan. Aku pun pulang untuk menceritakan hal ini kepada ayah dan ibuku.
Saat aku keluar dari perpustakaan, aku selalu melihat gedung di seberangnya. Gedung yang selalu memancarkan cahaya warna-warni. Berbeda sekali  dengan perpustakaan, tempat itu selalu dipenuhi oleh para hewan muda. Gedung itu adalah tempat para hewan untuk bermain berbagai macam hal. Mulai dari bermain billiard, slot dan bermain penemuan terbaru abad ini, yakni konsol gim. Penemuan dari Kota Gurita ini memanglah canggih. Sebuah kotak yang dapat mengeluarkan cahaya, dengan karakter di dalamnya. Bahkan karakter itu dapat digerakkan. Aku juga ingin menciptakan sesuatu yang canggih seperti itu. Â
Sesampainya di rumah, aku pun langsung menceritakan semua yang aku dapatkan kepada orang tuaku. Aku mengatakan bahwa aku akan mengikuti mimpiku untuk menjadi arsitek yang hebat, bahkan mengalahkan para Gajah. Ayah memang sangatlah hebat dalam pertandingan lari. Namun itu bukanlah pertandinganku.Â
Aku bertanding di dalam pertandinganku sendiri, di jalan yang telah aku putuskan sendiri. Mendengarku mengatakan hal itu, ayah dan ibuku tercengang. Seekor kelinci berusia 5 bulan sudah dapat mengatakan hal seperti itu. Dan untunglah, setelahnya mereka menjadi mendukungku. Aku belajar hal baru hari itu. Aku belajar bahwa kita harus jujur pada diri kita sendiri, dan berani mengupayakan mimpi kita.Â
Sejak saat itu, aku mencari informasi mengenai sekolah arsitektur terbaik di seantero kota. Ya, Kota Gajah. Kota yang menjadi impianku untuk menempa ilmu arsitektur. Dan untuk bisa belajar di sana, aku harus memenuhi berbagai kriteria yang cukup sulit. Dimulai dari ujian tertulis, ujian menggambar, ujian merancang dan ujian wawancara. Untunglah tidak ada kriteria tinggi badan. Jika begitu, aku pasti kalah telak dengan para Gajah.Â
Aku belajar berminggu-minggu sebelum hari pengujian. Pagi, siang, malam kuhabiskan di dalam perpustakaan. Mungkin aku sudah bisa bekerja paruh waktu menjadi penjaga perpustakaan bersama Pak Loris saat itu. Semua buku teknik menggambar telah aku pelajari. Aku pun telah berlatih merancang bangunanku, ya walaupun tidak sebagus di buku yang telah kupelajari. Aku merasa bahwa persiapanku sudah cukup matang. Dan tibalah hari pengujian.
Para pengujinya adalah hewan terbaik dibidang arsitektur. Dan salah satunya adalah idolaku, Maximus si Gajah. Ia telah mengeluarkan banyak buku mengenai ilmu arsitektur, yang bahkan ilmunya digunakan untuk membangun kantor walikota kelinci. Sungguh menakjubkan. Sayangnya, aku belum bisa membeli buku beliau. Bukan karena harganya yang mahal, tetapi  karena aku belum bisa memahami bahasa inggris dengan lancar. Buku-buku pak Maximus selalu diterbitkan dalam bahasa inggris. Pengujian pertama, yakni ujian tertulis pun dimulai.
Aku tidak dapat memercayai mataku. Soal berbahasa inggris dengan hitungan yang rumit. Aku sebenarnya sudah tahu bahwa hal ini "mungkin" terjadi. Namun aku menghiraukannya karena terlalu pusing memikirkan ujian lain. Sungguh, kebodohan dari otak kangkungku benar-benar tidak dapat dianulir.Â
Seharusnya aku mempersiapkan yang terbaik dalam segala hal, terutama dalam hal penting seperti ujian saat ini. Akhirnya, aku hanya bisa mengerjakan 3 dari 20 soal tertulis. Seperti ingin membelah gunung Rinjani di belakang halaman rumahku. Namun tentu saja aku tidak bisa melakukan itu. Sungguh mengecewakan. Tetapi, ujian tetap harus berlanjut.Â
Ujian tertulis telah kulalui dengan pasrah. Selanjutnya adalah ujian menggambar dan merancang. Untunglah, kali ini kasus yang diberikan dalam bahasa yang dapat aku mengerti. Aku pun dapat mengerjakannya dengan sangat baik.Â
Tibalah pada ujian terakhir, yakni ujian wawancara. Disini aku diberikan pertanyaan-pertanyaan seputar struktur bangunan, teori desain, pelestarian lingkungan, bahkan perkembangan tipologi arsitektur. Walau agak sulit, aku dapat menjawab pertanyaan yang diberikan dengan cukup baik. Hingga pertanyaan terakhir dilontarkan.Â
Pak Maximus bertanya mengenai kendalaku saat ujian tertulis. Mungkin ia melihatku terus menggaruk telinga saat mengerjakan ujian itu. Aku pun menjawab bahwa aku tidak memahami arti setiap kata dari ujian itu. Ia pun tertawa dan memberikan sedikit wejangan kepadaku. Setelah itu, hari pengujian pun selesai.Â
Pengumuman penerimaan diberikan 2 minggu setelah ujian, melalui surat kabar dari Kota Gajah. Aku tidak bisa tidur dengan tenang selama 2 minggu itu. Kepalaku terisi dengan berbagai kata "mengapa". Mengapa tidak belajar lebih serius. Mengapa tidak mempersiapkan dengan maksimal. Mengapa malas. Mengapa mengapa mengapa?!
Dan, hari yang ditunggu-tunggu pun tiba. Surat kabar telah aku terima dari Kota Gajah. Tanganku mengeluarkan keringat dingin. Jantungku berdebar sangat kencang untuk membuka hasil ujian penerimaanku. Aku membuka surat itu perlahan. Setelah dibuka, aku pun menangis. Semua nilaiku sempurna, kecuali ujian tertulisku. Dan karena hal itu, aku dinyatakan tidak diterima untuk bersekolah khusus di Kota Gajah. Sedih, kecewa dan marah. Semua itu bercampur aduk hingga aku tidak dapat mengeluarkan kata-kata.Â
Pada akhir surat kabar, ternyata terdapat pesan pribadi dari pak Maximus. Ia mengatakan bahwa aku berpotensi, namun belum memberikan usaha yang maksimal. Dan melalui pesan itu, ia menyemangatiku untuk belajar lebih giat dan dapat mengikuti pengujian kembali tahun depan. Tanpa berpikir panjang, aku pun langsung mendalami bahasa inggris. Hingga saat ini, aku masih mencoba memahami bahasa inggris. Semoga tahun depan, aku dapat mengerjakan ujian tertulis di Kota Gajah dengan maksimal, dan dapat mewujudkan mimpiku. Mohon doanya kawan-kawan.Â
Oh iya, untuk kalian. Janganlah takut dalam mengejar mimpi. Gagal bukanlah akhir, tetapi anak tangga menuju kesuksesan. Ayo berjuanglah bersamaku. Kamu tidak sendirian, kawan!
- Ryan, Si Kelinci Pemimpi
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H