Mohon tunggu...
Ryandi Aditya
Ryandi Aditya Mohon Tunggu... Freelancer - Random Storyteller

Tertarik dengan budaya pop. Berfantasi di hyperasymmetry.tumblr.com .

Selanjutnya

Tutup

Film Pilihan

Gundala, Antara Resonansi dan Difraksi

8 September 2019   21:40 Diperbarui: 8 September 2019   22:33 224
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sancaka menangkap petir. (Tangkapan layar dari Trailer film Gundala)

Dengan tertutupnya kesempatan untuk mengenyam pendidikan tinggi, ia terpaksa menjalani kerasnya hidup di jalanan dengan menjadi pengamen dan kuli panggul pelabuhan. Awang (Faris Fadjar), anak jalanan yang ia temui, berpesan padanya agar menjauhi masalah dengan tidak mempedulikan urusan orang lain. 

Interaksi Sancaka dan Awang yang merupakan identitas sipil dari seorang adisatria Bumilangit memang menarik, tetapi kehadiran Awang di cerita ini bisa dikatakan repetitif dan tidak ekonomis. 

Tanpa Awang pun, Sancaka sebenarnya sudah paham konsekuensinya jika memaksakan diri menjadi pahlawan kesiangan setelah melihat dengan mata kepalanya sendiri sang ayah tergeletak bersimbah darah. 

Selain itu, pesan Awang agar Sancaka tidak mempercayai orang kaya juga terkesan hanya untuk menjustifikasi keberadaan adegan selanjutnya saat Sancaka bertemu dengan pasangan suami istri. Saat dewasa, ia sepertinya tak memiliki masalah berarti ketika bertemu warga kelas atas seperti Ridwan Bahri (Lukman Sardi). 

Buat sebagian penggemar fanatik komik Gundala karya Hasmi maupun film adaptasi besutan Lilik Sudjio rilisan tahun 1981, keputusan Joko memodifikasi latar belakang sang protagonis termasuk profesinya mungkin terlalu gegabah. 

Namun, jika ditilik kembali konteks cerita yang ingin ia sampaikan, keputusan ini bisa dibilang cerdik. Pekerjaannya sebagai petugas keamanan dan ketidakpeduliannya terhadap urusan orang lain menjadi ironi tersendiri bagi Sancaka.  

Sebagai antitesis Sancaka, latar belakang Chaidar Subandi diungkap oleh politisi Ridwan Bahri. Ayah Chaidar yang merupakan pemilik salah satu perkebunan terbesar di Jawa difitnah dan dibunuh oleh pekerjanya sendiri. 

Oleh kerabat ayahnya yang ingin mengambil alih kekayaan, Chaidar yang separuh wajahnya terbakar dan sebagian tubuhnya mengalami disabilitas permanen pun lantas dikirim ke panti asuhan yang mengerikan. Dengan kharismanya, Chaidar memimpin pemberontakan yang kemudian menjalar di berbagai daerah. 

Setelah kekayaan keluarganya mampu direbut kembali,  ia pun dengan segala cara menyusun tatanan sosial baru demi melindungi kepentingan golongannya, termasuk di antaranya membajak pemerintahan dan mengupayakan rekayasa sosial. Chaidar tak berpikir dua kali untuk menyingkirkan orang-orang yang menghalangi rencananya. 

Menghadirkan penyandang disabilitas seperti Chaidar Subandi sebagai antagonis tentu saja problematik karena bisa menimbulkan persepsi bahwa kekurangan fisik berkaitan erat dengan pergeseran moralitas. 

Tahun lalu, British Film Institute berusaha mengakhiri stigma buruk tersebut dengan mengampanyekan #IamNotYourVillain dan menolak tegas untuk mendanai film yang menjadikan kaum difabel sebagai antagonisnya. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Film Selengkapnya
Lihat Film Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun