Mohon tunggu...
Ryandi Aditya
Ryandi Aditya Mohon Tunggu... Freelancer - Random Storyteller

Tertarik dengan budaya pop. Berfantasi di hyperasymmetry.tumblr.com .

Selanjutnya

Tutup

Film Pilihan

Gundala, Antara Resonansi dan Difraksi

8 September 2019   21:40 Diperbarui: 8 September 2019   22:33 224
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gundala. (Tangkapan layar dari Trailer film Gundala)

Selama dua jam menyaksikan 'Gundala', kita disuguhi sinematografi yang mumpuni, latar cerita yang meyakinkan, adegan pertarungan yang intens, serta musik latar yang cukup inspiratif. 

Mungkin hanya di satu atau dua titik saja penerapan efek visual terasa kurang maksimal, tapi secara keseluruhan tidaklah menggangu. Tema yang diusung pun dekat dengan keseharian. Jika Bong Joon-ho dipaksa untuk mengadaptasi komik pahlawan super ke layar lebar, mungkin gagasan yang ia sampaikan tak akan jauh berbeda. 

Di sisi lain, ambisi untuk memperkenalkan sebanyak mungkin karakter beberapa di antaranya tidak terintegrasi dengan baik serta kecenderungan Joko Anwar mengutamakan misteri dibanding urgensi malah seperti menjauhkan film ini dari koherensi.

Negeri ini butuh patriot. Begitu tulisan yang tertera di poster promo 'Gundala'. Dalam salah satu wawancara, Joko Anwar menyebut film ini memang merefleksikan situasi sosial politik Indonesia saat ini. 

Tak heran hoaks menggelikan pemicu kegaduhan serta beberapa hal lain yang dimunculkannya di sini terasa tak asing bagi kita. Joko yang merangkap sebagai sutradara sekaligus penulis seakan mengisyaratkan perlunya kehadiran inspirator di tengah himpitan permasalahan yang dihadapi di negeri ini. Ia pun kemudian menjadikan resonansi sebagai gagasan utama cerita. 

Sepanjang film, beberapa kali diperlihatkan bagaimana tindakan satu orang akan diikuti oleh orang lain yang satu pemikiran: aksi serikat pekerja menuntut keadilan, pemberontakan anak-anak panti asuhan, bersatunya masyarakat menghentikan penjarahan, dan perlawanan terhadap oligarki politik. 

Tak ketinggalan, aksi pamungkas Sancaka (Abimana Aryasatya) pun turut memanfaatkan kesamaan frekuensi alami sebuah kristal. Sayangnya, apa yang ditampilkan di adegan pembuka tidak "beresonansi" dengan baik dengan apa yang ditampilkannya di penutup. 

Alih-alih memberikan sebuah simpulan, Joko Anwar tampak lebih tertarik menghadirkan belokan alur (plot twist) sekaligus pemantik rasa penasaran penonton terhadap film-film adisatria Bumilangit berikutnya. 

Jika dikaitkan dengan sifat gelombang bunyi, adegan yang ditampilkan di penghujung cerita tak ubahnya difraksi yang merupakan pembelokan arah gerak gelombang.

'Gundala' dibuka dengan adegan para pekerja pabrik yang meneriakkan, "Maju bersatu melawan penindasan! Maju bersatu tak bisa dikalahkan!" Mudah diterka jika pada akhirnya,  para pekerja ini harus takluk pada permainan pemilik modal. 

Sisa babak pertama pun kental dengan nuansa pesimisme. Di salah satu adegan, seorang rekan kerja Sancaka mengajaknya pindah ke daerah lain karena menurutnya tak ada lagi yang bisa diharapkan di Jakarta. 

Mendekati akhir babak kedua, Sedhah Esti Wulan (Tara Basro) mengingatkan Sancaka bahwa harapan sekecil apa pun tetap dibutuhkan untuk tetap bertahan. Percikan harapan inilah yang berusaha dipadamkan oleh sang antagonis untuk melanggengkan agendanya. 

Dari sisi tematik, keseluruhan cerita akan terasa lebih bermakna jika ditutup dengan momen kemenangan dan optimisme termasuk misalnya menampilkan pedagang pasar yang mampu bangkit dan memulai kembali usahanya. Yang ditampilkan oleh sang sutradara di adegan tengah kredit sebenarnya cukup representatif. 

Namun, jika film diibaratkan sebuah buku, apa yang disuguhkan setelah kredit ditampilkan tak ubahnya hanya sekadar apendiks. 

Ada baiknya jika adegan penutup film ini sebenarnya mengurangi makna kepahlawanan Sancaka karena turut berperan membangkitkan kejahatan bertukar posisi dengan adegan tengah kredit.

Sebagai pembanding, akhir 'The Avengers' (2012) yang keseluruhan ceritanya berkutat seputar kolektivitas mampu menjawab pertanyaan: "Dapatkah mereka mengatasi perbedaan untuk kemudian bekerja sama menghadapi serangan dari luar bumi?" 

Di frame terakhir, tak ada lagi huruf timbul S, T, R, dan K di Stark Tower, yang tersisa hanya huruf A. Tony Stark yang terkenal dengan ego besarnya pun resmi beralih menjadi pemain tim. 

Pada tengah kredit, barulah Joss Whedon memperkenalkan ancaman lebih besar yang akan dihadapi tim pahlawan super tersebut ke depannya.

Ayah Sancaka terbunuh. (Tangkapan layar dari Trailer film Gundala)
Ayah Sancaka terbunuh. (Tangkapan layar dari Trailer film Gundala)

Sancaka dan Chaidar Subandi (Bront Palarae) ibarat dua sisi mata koin. Sepanjang babak pertama, kita diajak menyelisik bagaimana masa lalu mereka yang traumatis dan memilukan kemudian berpengaruh besar terhadap cara pandang masing-masing saat beranjak dewasa. 

Sancaka kecil (Muzakki Ramdhan) harus kehilangan ayahnya (Rio Dewanto) yang tewas saat memimpin pergerakan. Sancaka tahu ayahnya dijebak, tetapi terlambat saat mengejar rombongan demonstran. Ibunya (Marissa Anita) pergi ke kota untuk mencari pekerjaan dan tak pernah kembali lagi. Sancaka yang cerdas pun harus menghadapi kenyataan pahit. 

Dengan tertutupnya kesempatan untuk mengenyam pendidikan tinggi, ia terpaksa menjalani kerasnya hidup di jalanan dengan menjadi pengamen dan kuli panggul pelabuhan. Awang (Faris Fadjar), anak jalanan yang ia temui, berpesan padanya agar menjauhi masalah dengan tidak mempedulikan urusan orang lain. 

Interaksi Sancaka dan Awang yang merupakan identitas sipil dari seorang adisatria Bumilangit memang menarik, tetapi kehadiran Awang di cerita ini bisa dikatakan repetitif dan tidak ekonomis. 

Tanpa Awang pun, Sancaka sebenarnya sudah paham konsekuensinya jika memaksakan diri menjadi pahlawan kesiangan setelah melihat dengan mata kepalanya sendiri sang ayah tergeletak bersimbah darah. 

Selain itu, pesan Awang agar Sancaka tidak mempercayai orang kaya juga terkesan hanya untuk menjustifikasi keberadaan adegan selanjutnya saat Sancaka bertemu dengan pasangan suami istri. Saat dewasa, ia sepertinya tak memiliki masalah berarti ketika bertemu warga kelas atas seperti Ridwan Bahri (Lukman Sardi). 

Buat sebagian penggemar fanatik komik Gundala karya Hasmi maupun film adaptasi besutan Lilik Sudjio rilisan tahun 1981, keputusan Joko memodifikasi latar belakang sang protagonis termasuk profesinya mungkin terlalu gegabah. 

Namun, jika ditilik kembali konteks cerita yang ingin ia sampaikan, keputusan ini bisa dibilang cerdik. Pekerjaannya sebagai petugas keamanan dan ketidakpeduliannya terhadap urusan orang lain menjadi ironi tersendiri bagi Sancaka.  

Sebagai antitesis Sancaka, latar belakang Chaidar Subandi diungkap oleh politisi Ridwan Bahri. Ayah Chaidar yang merupakan pemilik salah satu perkebunan terbesar di Jawa difitnah dan dibunuh oleh pekerjanya sendiri. 

Oleh kerabat ayahnya yang ingin mengambil alih kekayaan, Chaidar yang separuh wajahnya terbakar dan sebagian tubuhnya mengalami disabilitas permanen pun lantas dikirim ke panti asuhan yang mengerikan. Dengan kharismanya, Chaidar memimpin pemberontakan yang kemudian menjalar di berbagai daerah. 

Setelah kekayaan keluarganya mampu direbut kembali,  ia pun dengan segala cara menyusun tatanan sosial baru demi melindungi kepentingan golongannya, termasuk di antaranya membajak pemerintahan dan mengupayakan rekayasa sosial. Chaidar tak berpikir dua kali untuk menyingkirkan orang-orang yang menghalangi rencananya. 

Menghadirkan penyandang disabilitas seperti Chaidar Subandi sebagai antagonis tentu saja problematik karena bisa menimbulkan persepsi bahwa kekurangan fisik berkaitan erat dengan pergeseran moralitas. 

Tahun lalu, British Film Institute berusaha mengakhiri stigma buruk tersebut dengan mengampanyekan #IamNotYourVillain dan menolak tegas untuk mendanai film yang menjadikan kaum difabel sebagai antagonisnya. 

Joko Anwar tampak berusaha menyiasatinya dengan menjadikan Sancaka juga mengalami hal serupa setelah bagian daun telinganya diiris oleh anak jalanan dan preman pasar. 

Sayangnya, di film ini, Joko tetap mempertahankan nama julukan sang antagonis yang sebenarnya terdengar tidak etis. Padahal, untuk beberapa hal lain, ia terkesan berani mengobrak-abrik semesta cerita Gundala yang diciptakan Hasmi.

Idealnya, cara pandang yang kontras serta latar belakang yang paralel antara Sancaka dan Chaidar akan mampu menghadirkan konflik yang menarik di babak selanjutnya. 

Dari caranya diperkenalkan kepada penonton, sepertinya Chaidar memang dimaksudkan sebagai salah satu karakter katalis (influence character) bagi Sancaka. Namun, Joko Anwar tampak kesulitan mengatur pertemuan keduanya lebih awal. 

Seperti yang sudah menjadi kebiasaannya, sang sutradara malah terlihat asyik bermain dengan selubung misteri dan kejutan-kejutan acak. Di babak kedua, Joko mengalihkan perhatian penonton pada pencarian oknum pembakar pasar. 

Beberapa adegan muncul semata-mata untuk menyodorkan tanda tanya. Belokan-belokan yang dipersiapkannya tak pernah benar-benar membawa kita ke mana-mana.

Bandingkan misalnya dengan 'Pintu Terlarang' (2009) yang menjadi salah satu karya terbaik Joko Anwar. Jalan yang kita lewati menuju pengungkapan mengejutkan di akhir film tersebut telah terbangun rapi sedari awal. 

Sisipan misteri memang mampu menghadirkan atmosfer yang menarik, tapi terkadang apa yang lebih dibutuhkan dari sebuah adegan adalah makna dan kejelasan. 

Alhasil, keberadaan Chaidar Subandi tidak memiliki peran signifikan terhadap perubahan paradigma Sancaka. Mereka berdua bisa dikatakan terlambat mengetahui keberadaan masing-masing. 

Sancaka baru mengetahui keberadaan lawannya tersebut dari penuturan Pak Agung (Pritt Timothy) dan Ridwan Bahri di babak ketiga. Jika saja ia lebih awal mengetahui keberadaan Chaidar dan menjadi saksi kekejamannya, tentu hal tersebut akan mendorong dirinya menjadi lebih proaktif dan berpendirian di babak penutup. 

Di sepertiga akhir film, Sancaka yang telah menjadi inspirasi banyak orang masih juga belum mantap menentukan sikap. Masih tebersit di pikirannya untuk pindah ke kota lain. 

Dengan penanganan karakter seperti ini, wajar jika muncul persepsi bahwa Sancaka semata-mata menjalankan tugasnya karena terpaksa, bukan karena dorongan hati nurani. 

Penceritaan yang lebih fungsional dan propulsif akan mengakhiri tarik ulur semacam ini sebelum babak penutup dimulai. Jika saja Sancaka dibuat lebih proaktif, tentu ia akan berusaha menemukan alternatif lain menghadapi ancaman saat ia kesulitan mengeluarkan kemampuan supernya di musim kemarau. 

Transformasinya pun akan terasa lengkap dari seorang yang awalnya apatis, berubah menjadi reaktif, dan akhirnya menjadi proaktif. Sama seperti Sancaka, Luke Skywalker di 'Star Wars' (1977) pun masih dalam proses pencarian jati diri. 

Di film tersebut, Luke merupakan salah satu pilot yang ditugasi untuk menghancurkan Death Star dan belum menyadari jika nantinya ia akan menjadi seorang Jedi. 

Luke yang semula menolak ajakan Obi-Wan Kenobi ke Alderaan akhirnya berubah pikiran setelah paman dan bibinya terbunuh. Sejak mengambil keputusan tersebut, kehidupan Luke tak lagi sama. 

Seiring pergantian babak, pelaku cerita memang dituntut beradaptasi dengan situasi baru karena tak mungkin lagi kembali ke situasi sebelumnya.

Perubahan situasi yang harus dihadapi Sancaka di babak kedua sendiri ditampilkan dengan menarik oleh Joko Anwar. Setelah akhirnya memutuskan ikut campur urusan Wulan, kehidupan Sancaka pun berubah drastis. Ia harus dikeroyok preman dan tersambar petir. 

Di dalam mimpinya, ia melihat ayahnya tewas bersimbah darah, bayangan sesosok pria tua kekuatan jahat yang telah lama terkubur pun mendatanginya. 

Joko seakan mengingatkan penonton, kepedulian Sancaka bukan tak mungkin malah menggiringnya bernasib serupa seperti ayahnya. Namun, sayangnya Joko membuang kesempatan begitu saja untuk menjadikan pengalaman traumatis Sancaka tersebut sebagai penanda (foreshadowing). 

Menurut Carol Sansone di dalam bukunya 'Handbook of Methods in Social Psychology' (2003), penggunaan penanda berkaitan erat dengan fungsi psikologis (psychological functioning) positif sekaligus meningkatkan koherensi cerita. Dalam satu adegan kejar-kejaran, Sancaka terjatuh dari motor setelah pengendara mobil farmasi menembakkan peluru ke arahnya. 

Tanpa basa-basi, Joko memanfaatkan momen ini untuk memperkenalkan seorang adisatria perempuan. Di awal film, dua kali Sancaka kehilangan orang terdekatnya karena kegagalannya mengejar mereka. 

Akan lebih terasa "gaungnya" jika mendekati akhir film, ditampilkan keberhasilan Sancaka lari mengejar mobil tersebut sekaligus menghapus traumanya.

Sancaka menangkap petir. (Tangkapan layar dari Trailer film Gundala)
Sancaka menangkap petir. (Tangkapan layar dari Trailer film Gundala)

Perlakuan Joko Anwar terhadap dua karakter katalis, Pak Agung dan Wulan, juga semestinya bisa lebih baik lagi. Keberadaan karakter katalis dimaksudkan untuk menantang sudut pandang karakter utama sehingga selanjutnya ia berubah atau tetap pada pendiriannya. 

Sepanjang cerita, keberadaan Pak Agung dan Wulan terkesan hanya sebagai produsen kata-kata. Kita tak pernah diajak untuk menyelami isi pikiran mereka. Keduanya tak pernah benar-benar terealisasi penuh sebagai karakter. 

Cukup mengherankan melihat Sancaka yang selama belasan tahun tertanam dalam pikirannya untuk tidak mencampuri urusan lain, sekonyong-konyong berubah setelah mendengar petuah dari Pak Agung. 

Tak ada tensi di antara mereka. Absennya argumen emosional membuat perubahan Sancaka terasa kurang organik. Bandingkan misalnya dengan adegan di awal film ketika terjadi perdebatan kecil antara Sancaka dan ayahnya mengenai pragmatisme. 

Ada baiknya Joko Anwar menyelipkan adegan dari sudut pandang Pak Agung, misalnya potensi dan keistimewaan apa yang ia lihat dalam diri Sancaka. Dengan demikian, saat mendekati akhir film, penonton tak lagi bertanya-tanya, "Dari mana Pak Agung tahu kekuatan itu sebenarnya ada dalam diri Sancaka?" 

Begitu pula dengan Wulan. Perlu disajikan alasan naratif mengapa ia menunda cukup lama untuk mengabarkan informasi penting pada Sancaka. Sebelumnya, tak pernah sekali pun ditampilkan dilema yang harus dihadapinya. 

Saat pertama kali diperkenalkan, Wulan adalah perempuan muda yang mandiri, berani, dan peduli. Ia aktif memperjuangkan hak-hak pedagang pasar walau terus mendapat ancaman dari para preman. 

Wulan yang memicu Sancaka untuk mulai berani bertindak. Namun, saat memasuki babak ketiga, peran Wulan pun terpinggirkan. Joko terkesan kebingungan harus bagaimana lagi mengintegrasikan Wulan ke dalam cerita. Tak pernah lagi Wulan terlihat mendampingi para pedagang yang telah kehilangan tempat berjualan. 

Di salah satu adegan, Wulan mengatakan pada Sancaka jika ia dan Pak Agung sering berbincang mengenai dirinya. Patut disayangkan, Joko Anwar lebih memilih untuk menyertakan dialog ini dibanding obrolan antara Wulan dan Pak Agung itu sendiri.

Dalam seminggu penayangannya, 'Gundala' mampu menjaring lebih dari 1 juta penonton. Di media sosial, cukup banyak yang mengungkapkan rasa penasaran akan kelanjutan ceritanya. 

Kemunculan singkat beberapa karakter kunci turut meningkatkan antusiasme penonton terhadap proyek-proyek selanjutnya. Apalagi pihak studio juga telah berhasil menggaet jajaran nama-nama beken. 

Sedari awal, Joko Anwar jelas sangat mengerti apa yang diinginkan dari film pembuka Jagat Sinema Bumilangit ini. Sayangnya, ia seperti mengabaikan begitu saja apa yang sebenarnya dibutuhkan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Film Selengkapnya
Lihat Film Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun