Mohon tunggu...
Rian Diaz
Rian Diaz Mohon Tunggu... Mahasiswa - Menulis banyak, membaca juga banyak

Pegiat teater dan menulis fiksi, pelajar etnografi dan pemerhati masalah-masalah bangsa

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Lapar dengan Benar

29 Juli 2023   19:03 Diperbarui: 29 Juli 2023   19:03 167
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Banyak kajian dan ulasan tentang korupsi beredar di tengah masyarakat. Kajian-kajian tentang perilaku korupsi, wacana pemberantasan korupsi, bahkan kiat-kiat menghindari perbuatan korupsi ditambahkan dalam pendidikan anti korupsi di sekolah-sekolah dan perguruan tinggi.  

Namun hingga kini karya-karya korupsi tetap saja menjadi topik hangat dalam narasi pembangunan. Korupsi dan pembangunan adalah dikotomi dalam pikiran yang adab namun merupakan dua sisi mata uang dalam esensi yang sukar dijelaskan lewat kaidah-kaidah keadaban manusia.

Satu pertanyaan dasar yang belum bisa terjawab dengan baik adalah alasan mengapa orang melakukan korupsi?

Bahkan kajian-kajian dan sosialisasi itu pun tak lantas membuat orang menghindarkan diri dari perbuatan korupsi. Jawaban yang biasa dipakai untuk menangkal pertanyaan ini adalah karena serakah. Di mana letak persoalannya adalah pada aspek nilai dan moralitas.

Tapi apakah benar orang melakukan korupsi karena keserakahan sebagai manusia. Jawaban serakah dengan konsekuensi moralitas akan patah oleh dua hal.  Pertama, kejahatan korupsi hanya bisa dilakukan oleh mereka yang memiliki  pendidikan yang tinggi dan kekuasaan.

Meskipun pada fenomena akhir-akhir ini kita mendapati kasus korupsi datang dari berbagai level struktur kekuasaan, Penggelapan dana desa oleh aparat desa, korupsi disekolah oleh guru, sampai menteri yang harusnya bisa bertindak bijak. Pendidikan yang tinggi itu harusnya membuat mereka lebih mudah untuk hidup sebagai manusia yang bijaksana.

Kedua, Koruptor bukanlah pelaku kejahatan biasa seperti pencuri, pencopet atau jambret yang notabene dilakukan karena kemiskinan dan kelaparan. Malahan kegiatan korupsilah yang menyebabkan kemiskinan dan kelaparan tidak kunjung berhenti sebagai persoalan dasar bangsa ini.

Karena itu, saya mencoba mengajukan jawaban dari alasan kenapa orang melakukan korupsi. Analogi paling sederhana dari korupsi adalah ide tentang jaringan lapar.

Lapar merupakan aksioma manusia  selain esensi otak untuk berpikir dan  hati untuk merasakan. Aksioma lapar inilah yang membuat manusia pada akhirnya memerlukan interaksi dengan sesama. Dari interkasi dengan sesama, terciptalah jaringan ekonomi dengan tujuan mengatasi lapar bersama-sama. Entah komunitas, maupun negara dibangun di atas keinginan untuk mengatasi lapar secara bersama-sama.

Setiap hari orang pasti merasakan lapar. Keadaaan lapar itu menuntut orang menggunakan pikiran dan tubuhnya untuk mencari sesuatu yang dapat mengatasi lapar. Seorang pria menjadi pencopet karena belum makan sejak pagi, misalnya.

Namun penjelasan model ini, akan mengalami gagal nalar, apabila dipakai untuk menjelaskan mengapa orang melakukan korupsi.

Karena itu satu-satunya cara untuk tetap menggunakan analogi lapar dalam kegiatan korupsi adalah dengan mengganggap bahwa ada yang salah dalam jaringan menuju lapar.  

Keadaan ini akan dijelaskan menggunakan "Lapar" dalan Esensi Kunt Hamsun.

Dalam novel Lapar Karya Kun Hansmun, kita dihadapkan dengan tokoh Aku yang tegas menolak untuk menjadi curang meskipun hidupnya dihimpit oleh rasa lapar yang mengerikan. Kunt hamsun adalah penulis Norwegia yang pernah memenangkan nobel kesusastraan tahun 1920 untuk karyanya yang berjudul Growth Of The Soil. "Lapar" adalah salah satu dari sekian karya terbaiknya yang terbit pada tahun 1890.

"satu-satunya hal yang menggangguku, walapun aku merasa muak, adalah rasa lapar. Aku mulai merasakan suatu kegairahan akan makanan, suatu keserakahan yang mendalam, yang makin lama makin buruk. Ada sesuatu yang terus menerus menggerogoti dadaku, yang seakan --akan bekerja secara bisu dan ajaib di dalam. Barangkali ada selusin binatang yang sangat kecil yang meletakan kepala ke satu arah dan memakan sedikit, lalu kepalanya diletakan ke arah yang lain dan menggerogoti sedikit lagi, tanpa mendesak atau menerjang, dan meninggalkan terowongan-terowongan kosong di mana-mana..."

Dalam "Lapar" ini, korupsi adalah tindakan yang memuakkan sebenarnya bagi si pelaku. Tetapi sistem menuju lapar itulah yang menyebabkan dia tetap lapar. Kegairahan dan keringkihan makin dalam dan makin buruk membuatnya terus melahap karena ada sesuatu yang menggerogotinya. Sesuatu yang bekerja secara bisu.

Bukan sesuatu yang mengherankan ketika wacana publik seringkali dihiasi dengan OTT, proyek mangkrak, proyek fiktif, mark-up, korupsi bantuan sosial dan bencana alam, juga kegiatan suap-menyuap dalam urusan mendapatkan jabatan. Kejahatan ini dinarasikan dalam bentuk kemarahan, cemohaan dan lelucon oleh masyarakat yang belakangan bertranformasi sebagai netizen di era sosial media.

Beberapa hal di atas secara kasat mata disebabkan oleh  hubungan hukum, politik dan bisnis yang terlalu erat. Orang yang sama adalah politisi, pebisnis dan bagian dari orang-orang yang hendak menetapkan suatu aturan hukum. oleh beberapa pegiat antikorupsi menyebut fenomena gunung es.

Belakangan kenikmatan berwarga negara diganggu dengan aksi flexing yang cenderung dikaitkan hasil korupsi. Masyarakat pun masuk dalam suasana fenomena cancel culture dan call out culture, di mana mereka hadir sebagai pengawas atas kegiatan pamer-pamer harta di media sosial yang dilakukan oleh para pejabat. 

Kita merujuk  korupsi dengan pengertian yang senantiasa sama yakni UU No. 31/1999 dan UU No.20/2001 yaitu kegiatan merugikan keuangan negara, suap menyuap, penggelapan dalam jabatan, pemerasan, perbuatan curang, benturan kepentingan dalam pengadaan, dan gratifikasi.  Korupsi dalam pengertian UU ini didefinisikan sebagai perbuatan pejabat publik yang menyalahgunakan jabatan, wewenang, dan kekuasaan untuk memperoleh keuntungan pribadi dan berakibat pada kerugian negara.

Korupsi adalah kejahatan kerah putih karena melibatkan struktur dan ritme yang pasti. Kejahatan korupsi merupakan kejahatan yang hanya dapat dilakukan oleh mereka yang berpendidikan tinggi, memiliki posisi strategis dan mempunyai pengaruh dalam hal akses hukum untuk menutupi perilaku  menyimpang ini. Karena itu, menggunakan narasi moralitas sebagai jawaban dari korupsi adalah keliru, karena sistem pendidikan sudah melakukan pembelajaran moralitas.

"aku mengepalkan tanganku dengan putus asa, mulai meratap karena tidak berdaya dan menggerogoti tulang itu seperti seperti orang gila; aku menangis sehingga tulang itu menjadi basah dan kotor karena air mata, muntah, memaki-maki, dan mulai menggigit lagi, menangis meraung-raung, dan muntah sekali lagi. Dengan suara keras dan jelas kusumpahi semua kuasa dunia agar dibakar dalam api jahanam neraka...."

Satu-satunya alasan untuk tetap eksis adalah dengan mengatasi rasa lapar. Ada benalu yang hinggap di dalam sistem ini dan memaksa orang untuk melakukan korupsi bukan agar benalu ini tetap hidup, melainkan agar pelaku korupsi ini tetap hidup.

Sekali waktu ketika pelaku ini memutuskan berhenti memberi makan, maka ia akan mati entah itu dalam OTT, maupun tersandung kasus korupsi itu.  Maka yang tertangkap dari kasus yang notabene besar adalah tumbal, karena jaringan lapar memerlukan kondisi berbeda dari biasanya.

Demikian kita mendapati dalam pemberitaan para pelaku korupsi tersenyum ketika ditangkap. Mereka tersenyum karena tidak lagi memberi makan benalu dalam sistem korupsi itu. Mereka tersenyum karena bisa kembali merasakan lapar dengan benar.

Mungkin!!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun