Mohon tunggu...
Rian Diaz
Rian Diaz Mohon Tunggu... Mahasiswa - Menulis banyak, membaca juga banyak

Pegiat teater dan menulis fiksi, pelajar etnografi dan pemerhati masalah-masalah bangsa

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Lapar dengan Benar

29 Juli 2023   19:03 Diperbarui: 29 Juli 2023   19:03 167
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Namun penjelasan model ini, akan mengalami gagal nalar, apabila dipakai untuk menjelaskan mengapa orang melakukan korupsi.

Karena itu satu-satunya cara untuk tetap menggunakan analogi lapar dalam kegiatan korupsi adalah dengan mengganggap bahwa ada yang salah dalam jaringan menuju lapar.  

Keadaan ini akan dijelaskan menggunakan "Lapar" dalan Esensi Kunt Hamsun.

Dalam novel Lapar Karya Kun Hansmun, kita dihadapkan dengan tokoh Aku yang tegas menolak untuk menjadi curang meskipun hidupnya dihimpit oleh rasa lapar yang mengerikan. Kunt hamsun adalah penulis Norwegia yang pernah memenangkan nobel kesusastraan tahun 1920 untuk karyanya yang berjudul Growth Of The Soil. "Lapar" adalah salah satu dari sekian karya terbaiknya yang terbit pada tahun 1890.

"satu-satunya hal yang menggangguku, walapun aku merasa muak, adalah rasa lapar. Aku mulai merasakan suatu kegairahan akan makanan, suatu keserakahan yang mendalam, yang makin lama makin buruk. Ada sesuatu yang terus menerus menggerogoti dadaku, yang seakan --akan bekerja secara bisu dan ajaib di dalam. Barangkali ada selusin binatang yang sangat kecil yang meletakan kepala ke satu arah dan memakan sedikit, lalu kepalanya diletakan ke arah yang lain dan menggerogoti sedikit lagi, tanpa mendesak atau menerjang, dan meninggalkan terowongan-terowongan kosong di mana-mana..."

Dalam "Lapar" ini, korupsi adalah tindakan yang memuakkan sebenarnya bagi si pelaku. Tetapi sistem menuju lapar itulah yang menyebabkan dia tetap lapar. Kegairahan dan keringkihan makin dalam dan makin buruk membuatnya terus melahap karena ada sesuatu yang menggerogotinya. Sesuatu yang bekerja secara bisu.

Bukan sesuatu yang mengherankan ketika wacana publik seringkali dihiasi dengan OTT, proyek mangkrak, proyek fiktif, mark-up, korupsi bantuan sosial dan bencana alam, juga kegiatan suap-menyuap dalam urusan mendapatkan jabatan. Kejahatan ini dinarasikan dalam bentuk kemarahan, cemohaan dan lelucon oleh masyarakat yang belakangan bertranformasi sebagai netizen di era sosial media.

Beberapa hal di atas secara kasat mata disebabkan oleh  hubungan hukum, politik dan bisnis yang terlalu erat. Orang yang sama adalah politisi, pebisnis dan bagian dari orang-orang yang hendak menetapkan suatu aturan hukum. oleh beberapa pegiat antikorupsi menyebut fenomena gunung es.

Belakangan kenikmatan berwarga negara diganggu dengan aksi flexing yang cenderung dikaitkan hasil korupsi. Masyarakat pun masuk dalam suasana fenomena cancel culture dan call out culture, di mana mereka hadir sebagai pengawas atas kegiatan pamer-pamer harta di media sosial yang dilakukan oleh para pejabat. 

Kita merujuk  korupsi dengan pengertian yang senantiasa sama yakni UU No. 31/1999 dan UU No.20/2001 yaitu kegiatan merugikan keuangan negara, suap menyuap, penggelapan dalam jabatan, pemerasan, perbuatan curang, benturan kepentingan dalam pengadaan, dan gratifikasi.  Korupsi dalam pengertian UU ini didefinisikan sebagai perbuatan pejabat publik yang menyalahgunakan jabatan, wewenang, dan kekuasaan untuk memperoleh keuntungan pribadi dan berakibat pada kerugian negara.

Korupsi adalah kejahatan kerah putih karena melibatkan struktur dan ritme yang pasti. Kejahatan korupsi merupakan kejahatan yang hanya dapat dilakukan oleh mereka yang berpendidikan tinggi, memiliki posisi strategis dan mempunyai pengaruh dalam hal akses hukum untuk menutupi perilaku  menyimpang ini. Karena itu, menggunakan narasi moralitas sebagai jawaban dari korupsi adalah keliru, karena sistem pendidikan sudah melakukan pembelajaran moralitas.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun