Mohon tunggu...
Rian Diaz
Rian Diaz Mohon Tunggu... Mahasiswa - Menulis banyak, membaca juga banyak

Pegiat teater dan menulis fiksi, pelajar etnografi dan pemerhati masalah-masalah bangsa

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Roro Jonggrang Versi Sertifikat Rumah

5 Desember 2022   13:20 Diperbarui: 5 Desember 2022   13:33 379
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Salah satu kisah cinta tak sampai yang ikonik dan pelik adalah kisah cinta Bandung Bondowoso dan Roro Jongrang. Tidak melepas ingatan dari kisah Juliet dan Romeo dalam karangan Shakespeare, juga Rosse dan Jake dalam Titanic yang legendaris itu. Kisah cinta yang gagal selalu menjadi topik menarik.

Newmedia baru saja menghadirkan sebuah  kisah cinta yang  terpaksa gagal karena ide tentang sertifikat rumah sebagai mahar. Jika Bandung Bondowoso harus membangun candi dalam semalam untuk menikahi Roro Jonggrang, Dono harus menyerahkan sertifikat rumah sebagai mahar di H-3 pernikahan sebagai syarat melangsungkan pernikahan. Rumit memang.

Bandung Bondowoso akan berhasil membangun candi demi cintanya pada Roro Jonggrang, jika tidak ada rekayasa kokok ayam. Dono memilih membatalkan pernikahan itu karena logika dan posisi sosialnya sebagai lelaki yang tak boleh dipandang lemah. Bandung kuat dalam  tubuh, Dono kuat dalam logika dan keputusan. Seksis memang!

Berkaca dari Roro Jonggrang, mungkin saja si perempuan itu tidak ingin menikah dengan si lelaki, karena itu dia mengajukan syarat sertifikat sebagai upaya membatalkan pernikahan itu. Tapi Dono bukan Bandung Bondowoso yang mengiyakan begitu saja permintaan  perempuan. Dono memilih berhenti dengan alasan logika dan harga diri sebagai lelaki.

Tulisan ini  menghindari pengakiman personal. Penulis hanya ingin melihat eksistensi newmedia sebagai ajang klarifikasi dan pertentangan isu personal. Ketika para peneliti newmedia sedang fokus dalam menyikapi konvergensi antara komunikasi massa dan komunikasi interpesonal, tiktok telah tiba pada pembauran yang pekat dalam urusan pribadi para penggunanya.

Tiktok sebagai platform paling seru memberi kesempatan kisah ini sampai pada masyarakat. Sementara di saat yang bersamaan  para feminis sedang gencar menggunakan newmedia untuk menyuarakan kesetaraan dan hak-hak sosial yang adil.

Eksistensi Newmedia bagi perempuan 

New media membawa aura baru bagi wacana tentang  kesetaraan keadilan sosial antara laki-laki dan perempuan. Setiap orang meniscayakan dirinya mampu berinteraksi dengan berbagai media baru secara aktif, seperti curhat dan menyampaikan keluh kesah pribadi melalui akun nyata maupun hadir sebagai sosok anonim.

Kebebasan yang ditawarkan media baru juga membuka ruang bagi kesetaraan gender. Feminisme telah menemukan peluang dalam newmedia sebagai jalan perjuangan mereka menembus dominasi maskulinitas. Eksistensi pergerakan feminis di newmedia dikenal dengan cyberfeminism. 

Cyberfeminisme  berupaya memberi gambaran yang jelas mengenai relasi antara teknologi dengan peran perempuan di dalamnya. Salah satunya dalam menggeser paham seksisme yang laten dalam masyarakat.

Perempuan  menggunakan newmedia sebagai ranah eksistensi diri dalam kebebasan berpikir, berbusana dan lainnya. Termasuk ide tentang menampilkan masalah pribadi di media sosial. Newmedia mengakomodir semua itu tanpa memberi batasan. Hal yang tidak pernah ada sebelumnya dalam kehidupan..

Perempuan  mendapat tempat yang sama dalam menyeuarakan aspirasi mereka. Tapi tak jarang, hal itu menjadi dikotomi karena feminisme melahirkan dua segmen perempuan  dua segmen perempuan. Kuliah Komunikasi Perubahan Sosial menyebut sebagai Feminisme Tubuh dan Feminisme Pikiran.

Dalam Feminisme tubuh, perempuan bebas mengenakan pakaian apapun di newmedia, tonton saja bigo live, youtube dan lain-lain. Bahkan akun tiktok pun pernah dibanned karena goyangan perempuan yang menjurus ke ranah pornografi. 

Karena itu ide bahwa perempuan adalah objek dari komodifikasi adalah sesuatu yang laten dan tidak bisa disangkal, benar adanya. Perempuan dalam media bukanlah eksploitasi  melainkan semata ranah eksplorasi diri. Jika itu adalah eksploitasi perempuan, maka kebanyakan merupakan eksploitasi diri sendiri. Dalilnya adalah ekonomi.

Di segmen berbeda newmedia benar-benar digunakan oleh perempuan sebagai ruang pembebasan pikiran. Perempuan tampil sebagai aspirator untuk memperjuangkan pikiran dan pada akhirnya menggeser makna seksisme yang ada dalam masyarakat.

Seksisme

Seksisme merupakan pandangan dan perilaku yang bersumber pada kriteria gender, yang dapat menciptakan batasan perilaku kita terhadap spesifik gender (Thompson, 1995).  Pada dasarnya, seksisme didasari oleh sikap, stereotipe dan praktek budaya yang mempromosikan keyakinan bahwa perempuan adalah kelompok yang kurang kompeten dan kurang memiliki kuasa dan status dibandingkan laki-laki.

Seksisme itu sendiri terdiri dari manifestasi tingkah laku overt, covert dan subtle form. Seksisme overt adalah yang dapat dilihat dan diobservasi dalam bentuk ketidaksetaraan dan perilaku yang merugikan perempuan. Seksisme covert adalah termasuk didalamnya keterlibatan dalam ketidaksetaraan dan perlakuan merugikan terhadap perempuan secara tersembunyi.

Seksisme subtle melibatkan stereotipe atau bias yang secara tidak sadar menghasilkan perlakuan ketidaksetaraan dan merugikan perempuan, yang tidak ditangani dan diperhatikan karena dianggap kebiasaan.

Di tengah gempuran feminisme dan perjuangan perempuan untuk setara dalam semua aspek, isu ini merebak sebagai tanda bahwa pendidikan dan pekerjaan perempuan tidak serta merta menyelamatkan mereka dari seksisme yang laten dalam budaya dan kehidupan masyarakat. Bukan karena laki-laki menolak keadaan itu, melainkan perempuan sendiri.

Feminisme  sebagai perjuangan perempuan kadangkala dibunuh oleh perempuan sendiri, lewat dalil seksis mereka dalam masyarakat. Gagasan ini membayangkan adanya  kelompok-kelompok perempuan yang berbeda-beda dalam cara mereka bersikap atas kebebasan berekspresi yang ditawarkan newmedia.

Rekayasa sosial mempelai lelaki untuk menutupi aib dengan tetap melaksanakan resepsi untuk menyelamatkan muka perempuan, menjadi tidak berguna. Karena perempuan menggunakan posisi sosial "yang lemah" untuk bermain sebagai korban dari pernikahan yang dia hancurkan sendiri.

Upaya menggunakan newmedia sebagai platform kempanye kebebasan perempuan agaknya menjadi cemar karena perempuan sendiri. Simpelnya, masalah ini tidak akan viral dan menjadi konsumsi publik kalau  perempuan tidak mengunggah diri sebagai korban.

Jika Roro jonggrang memaksa ayam berkokok untuk menyelamatkan diri dari keperkasaan Bandung Bondowoso, sang wanita malah menggunakan newmedia untuk membongkar aib yang berusaha ditutup oleh lelaki.

Pustaka

Alatas,Salim Dan Vinnawaty Sutanto. “Cyberfeminisme Dan Pemberdayaan Perempuan Melalui Media Baru.” Jurnal Komunikasi Pembangunan Vol.1 No.2 (2019):165.

Miftahul, Putri.” Pelecehan Seksual, Seksisme Dan Pendekatan Bystander.” Psikobuletin: Buletin Ilmiah Psikologi Vol. 2 No. 1, (2021) :61 – 70.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun