Mohon tunggu...
Ryanda Hasan
Ryanda Hasan Mohon Tunggu... Pelajar Sekolah - Mahasiswa Hukum

saya seorang mahasiswa jurusan hukum

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Hukuman Mati dan Hak Asasi Manusia

7 November 2023   14:15 Diperbarui: 7 November 2023   14:27 101
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Hukuman mati merupakan salah satu sanksi dalam hukum pidana yang pembahasan serta perdebatannya tak berujung. Kedua kelompok baik pro maupun kontra sama-sama memiliki landasan argumentasi yang tajam, misalnya: bagi yang kontra, sering kali berpijak pada pendapat bahwa hukuman mati bertentangan dengan prinsip-prinsip hak asasi manusia, kemudian bagi yang pro mengajukan argumen bahwa pemberlakuan hukuman mati merupakan salah satu bentuk penanggulangan kejahatan yang tujuannya ialah menakut-nakuti masyarakat.

Menurut Penulis bahwa mesti ada pandangan yang dapat menjembatani kedua pandangan tersebut agar bersinergi, sebab pemberlakuan hukuman mati yang dilakukan secara tidak hati-hati akan melahirkan kejahatan baru -- yang dalam hal ini Negara sebagai pelaku kejahatan bagi terdakwa yang tidak terbukti setelah eksekusi dilakukan. Selain itu pula, pemberlakuan hukuman mati juga merupakan bagian dari kebijakan perlindungan serta pemulihan bagi si Korban (pemerkosaan). Kedua-duanya sama-sama dapat mendatangkan kemaslahatan, tergantung pemberlakuannya.

Isu Hukuman Mati kembali dibahas dengan sedikit serius pasca putusan terhadap Herry Wirawan dijatuhkan (pelaku pemerkosaan) dimana hukuman yang diberikan oleh hakim kepada terpidana ialah hukuman mati. Banyak bermunculan tulisan-tulisan yang hendak membenturkan penerapan hukuman mati dengan Hak Asasi Manusia, selain itu ada pula pandangan yang berupaya untuk mengkritik pemberlakuan hukuman mati dengan pijakan efek jera / efektifitas. Padahal pemberlakuan hukuman mati tidaklah hanya bertujuan untuk membawa dampak efek jera, sebab jika ditinjau dari sudut pandang sosiologi hukum, hukuman mati juga dapat mengembalikan harmonisasi sosial yang mengalami disharmoni akibat tindak pidana.

 

Landasan Konseptual dan Yuridis Penerapan Hukuman Mati

Pandangan bahwa hukuman mati bertentangan dengan konsep hak asasi manusia yakni "Non Derogable Rights", merupakan sebuah pandangan yang menurut penulis perlu untuk ditinjau kembali secara komprehensif dalam konsep hak asasi manusia. Pendapat ini menurut penulis, tidak sejalan dengan konsep hukum yang berlaku secara umum. Sebab dalam sistem hukum selalu ada "pengecualian" -- tidak ada yang bersifat absolut, tujuannya adalah untuk menjamin keadilan dalam memahami pengecualian. Menurut Al. Wisnubroto bahwa "Apa yang dimaksud dengan pengecualian tidak boleh disalahtafsirkan sebagai penyimpangan atau kesewenang-wenangan, karena dalam sebuah pengecualian terdapat pertimbangan nilai-nilai fundamental melebihi pertimbangan yuridis-prakmatis". Maka tidak tepat apabila mengatakan bahwa itu bertentangan.

 

Penulis juga tidak sependapat dengan pandangan yang mengatakan bahwa hukuman mati bertentangan dengan prinsip-prinsip hak asasi manusia, terdapat beberapa alasan yang melandasi pendapat penulis, ialah sebagai berikut: Pertama, secara konseptual dalam hak asasi manusia, terdapat korelasi yang erat antara hak dan kewajiban, walaupun ada sebagian hak-hak yang independen dari kewajiban. 

Pencabutan hak harus proporsional, harus disesuaikan dengan besar atau beratnya sebuah kewajiban yang dilanggar, yang dalam sistem hukum syarat dicabutnya hak paling fundamental seseorang yakni hak untuk hidup ialah ketika kejahatan yang dilakukan ialah "the most serious crime". Namun dalam hal ini kategorisasi seperti ini tidak bisa serta-merta dijadikan sebagai ukuran dicabutnya hak-hak seseorang, harus ada pertimbangan lain, yakni dengan melihat dampak yang ditimbulkan.

Jeremy Bentham dalam bukunya "Teori Perundang-Undangan" secara singkat menjelaskan korelasi antara hak dan kewajiban. Menurutnya bahwa kewajiban merupakan alat tukar untuk mendapatkan hak. Kata "mendapatkan" menurut penulis memiliki maksud yakni mendapatkan jaminan perlindungan dan jaminan pemenuhan, misalnya seseorang diwajibkan untuk menjadi anggota suatu negara tertentu baru hak orang tersebut dapat terjamin baik untuk pemenuhan maupun perlindungan. Jadi pada pokoknya pandangan di atas hendak menegaskan secara terbalik kalau seseorang melanggar hak orang lain -- yang mana sama artinya orang tersebut tidak menjalankan kewajibannya, maka hak orang tersebut dapat dicabut. Misalnya seorang pencuri yang ditangkap dan dihukum penjara akan kehilangan hak untuk bekerja. Oleh sebab itu pengurangan dan pencabutan hak tertentu oleh negara dibenarkan secara konseptual namun tentunya dengan syarat-syarat tertentu.  

Pengurangan dan pencabutan hak merupakan bentuk pembatasan dan konsep ini dibenarkan oleh rezim hak asasi manusia. Dalam upaya melakukan pembatasan disyaratkan memenuhi beberapa ketentuan. Menurut prinsip-prinsip Johannesburg, ada beberapa prinsip dalam pembatasan hak asasi manusia, yaitu: a. Pembatasan harus ditentukan oleh hukum yang dapat diakses, tidak bersifat ambigu, dan dibuat secara hati-hati dan teliti, yang memungkinkan setiap individual untuk melihat apakah suatu tindakan bertentangan dengan hukum atau tidak. b. Pembatasan harus memiliki tujuan yang sesungguhnya dan harus menunjukkan dampak melindungi kepentingan keamanan nasional yang sah. c. Pemerintah harus dapat menunjukkan bahwa informasi yang dibatasi merupakan ancaman yang serius terhadap kepentingan keamanan nasional yang sah. Pembatasan yang dilakukan adalah sarana pembatasan yang serendah mungkin untuk melindungi kepentingan tersebut; dan pembatasan tersebut harus sejalan dengan prinsip-prinsip demokrasi.

Pembatasan ditentukan oleh hukum artinya peraturan perundang-undangan, pencabutan hak hidup yang dikarenakan oleh sebuah pelanggaran berat atas kewajibannya dibolehkan selama diatur oleh hukum yang dibuat secara hati-hati dan teliti. Penerapan hukuman mati juga tentunya bertujuan untuk melindungi kepentingan nasional, misalnya dalam kasus pemerkosaan terhadap 13 santriwati, apabila pelaku tindak pidana tersebut tidak diberikan hukuman mati, maka dapat dipastikan kekecewaan dan kepercayaan kepada lembaga penegak hukum akan semakin hancur, implikasinya ialah akan semakin marak peradilan jalanan "main hakim sendiri", orang lebih memilih menyelesaikan persoalan dengan jalan kekerasan -- yang setidak-tidaknya dapat mengobati sedikit rasa terluka para korban.

Kedua, secara yuridis, di dalam konstitusi Indonesia yakni UUD 1945 secara tersirat dalam pasal 28J menjelaskan bahwa "Dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan dengan undang-undang dengan maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis." kemudian dalam Pasal 29 Ayat (1) "Negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa".

Secara gramatik, dapat terlihat kalau ajaran agama menjadi salah satu pertimbangan dalam melakukan pembatasan. Peraturan perundang-undangan sebagai salah satu syarat diadakannya pembatasan. Oleh sebab itu pemberlakuan hukuman mati merupakan bentuk pembatasan yang secara yuridis diakui. Dalam ajaran agama Islam, hukuman mati diperbolehkan dengan syarat-syarat tertentu. Hal ini berarti kalau perwujudan hukuman mati melalui peraturan perundang-undangan merupakan bentuk pengejawantahan ajaran agama.

Ssecara penafsiran sistematis, hak asasi manusia yang diatur dalam Pasal 28A sampai dengan Pasal 28I UUD 1945 tunduk pada pembatasan yang diatur dalam Pasal 28J UUD 1945. Dengan pengertian lain bahwa pemberlakuan hukuman mati berpijak pada pasal 28J dan 29 Ayat (1) UUD 1945. Pasal 28J juga merupakan pembatas serta pengecualian untuk pasal yang mengatur hak-hak lainnya. Demikian pengaturan dalam rezim HAM internasional, walaupun adanya hak yang sifatnya tidak dapat dicabut namun terdapat juga pasal pengecualian yakni dalam Pasal 6 International Convenan On Civil and Political Rights (ICCPR) ayat (2) masih memperbolehkan diterapkannya pidana mati untuk the most serious crime. 

Hukuman Mati: Upaya Pemulihan Kondisi Korban Pemerkosaan 

Tindak pidana pemerkosaan sangat membawa dampak yang sangat buruk bagi korban, melalui website https://www.alodokter.com/, dijelaskan bahwa "Korban pemerkosaan berisiko tinggi mengalami beberapa gangguan mental, seperti depresi, post traumatic stress disorder (PTSD), dan gangguan cemas. Ini dapat terjadi karena korban selalu teringat akan kejadian traumatis tersebut, sehingga mereka merasa selalu dalam bahaya."

Korban pemerkosaan dapat mengalami post traumatic stress disorder (PTSD), ini merupakan "Gangguan yang ditandai dengan kegagalan untuk pulih setelah mengalami atau menyaksikan peristiwa yang mengerikan. Kondisi ini bisa berlangsung berbulan-bulan atau bertahun-tahun, dengan pemicu yang dapat membawa kembali kenangan trauma disertai dengan reaksi emosional dan fisik yang intens."

Dampak buruk yang dialami oleh korban perlu mendapatkan perhatian lebih oleh semua elemen yang berwenang, pemulihan hak-hak korban baik psikis maupun fisik merupakan kewajiban yang harus dilakukan oleh Negara. Upaya pemulihan hak korban diantaranya ialah melalui kebijakan hukuman mati bagi pelaku pemerkosaan.    

Dampak ketika pelaku pemerkosaan dihukum mati, bagi korban akan sangat membawa dampak positif, setidaknya korban dapat hidup bebas tanpa tekanan seperti rasa takut dan juga dapat membantu pemulihan keadaan korban yang mengalami post traumatic stress disorder. Sebab ketika korban bertemu dengan pelaku ataukah sekedar membayangi ketika bertemu dengan pelaku, trauma korban seketika akan terpicu, sehingga membuat para korban hidup dibayang-bayangi dengan ketakutan. Oleh sebab itu hukuman mati tidak bisa dipandang hanya dari efek jera ataukah dampak kepada turunnya angka kejahatan, namun harus dipandang dari sisi lainnya. Artinya hukuman mati dapat dijadikan sebagai salah satu upaya pemulihan kondisi dan hak korban pemerkosaan.  

Evaluasi Pemberlakuan Hukuman Mati 

Posisi penulis dalam melihat Hukuman mati dengan hati-hati bukan karena efek jera, namun lebih kepada "Human Error", maksudnya bahwa jangan sampai penerapan hukuman mati bukan pada pelaku sebenarnya. Oleh sebab itu dalam pemberlakuannya perlu dikedepankan kehati-hatian dan ketelitian artinya hakim dalam memutuskan sebuah perkara yang dituntut dengan hukuman mati, perlu memastikan secara sah terdakwa tersebut terbukti yang diperkuat dengan alat-alat bukti. Selain daripada itu dalam proses penerapannya tidak boleh ada sedikitpun keraguan dalam benak hakim, harus adanya keyakinan penuh.

Kemudian dalam pemberlakuan hukuman mati. Pertama, secara terbatas hanya untuk tindak pidana yang faktor terjadinya titik beratnya pada diri sendiri. Maksud "titik beratnya pada diri sendiri" ialah ketiadaan atau minimnya faktor eksternal yang menyebabkan seseorang melakukan tindak pidana tersebut. Ada beberapa tindakan pidana yang menurut panadangan penulis, tindak pidana yang dimaksud contohnya seperti "pemerkosaan". sedangkan kalau tindak pidana yang ada faktor eksternalnya misalnya seperti pengedar narkoba dan pencuri, faktor eksternal yang dimaksud seperti karena faktor ekonomi, dan kalau mau dianalisis lebih lanjut negara memiliki tanggung jawab penuh atas jaminan pemenuhan ekonomi tersebut, sehingga hal ini dapat ditanggulangi dengan kebijakan lainnya.  

Kedua, harus tersedia mekanisme upaya hukum lain selain banding, kasasi ataupun Peninjauan Kembali, yang mana upaya hukum tersebut memberikan jangka waktu tertentu untuk diajukan kembali, hal ini bertujuan untuk memberikan waktu kepada terpidana untuk membuktikan ketidakbersalahannya dengan mencari alat bukti baru. Begitu pula berlaku juga bagi hakim serta pihak kepolisian. Kebijakan ini juga dapat menjadi ikhtiar untuk menghindari terjadinya "Human Error". 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun