Pembatasan ditentukan oleh hukum artinya peraturan perundang-undangan, pencabutan hak hidup yang dikarenakan oleh sebuah pelanggaran berat atas kewajibannya dibolehkan selama diatur oleh hukum yang dibuat secara hati-hati dan teliti. Penerapan hukuman mati juga tentunya bertujuan untuk melindungi kepentingan nasional, misalnya dalam kasus pemerkosaan terhadap 13 santriwati, apabila pelaku tindak pidana tersebut tidak diberikan hukuman mati, maka dapat dipastikan kekecewaan dan kepercayaan kepada lembaga penegak hukum akan semakin hancur, implikasinya ialah akan semakin marak peradilan jalanan "main hakim sendiri", orang lebih memilih menyelesaikan persoalan dengan jalan kekerasan -- yang setidak-tidaknya dapat mengobati sedikit rasa terluka para korban.
Kedua, secara yuridis, di dalam konstitusi Indonesia yakni UUD 1945 secara tersirat dalam pasal 28J menjelaskan bahwa "Dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan dengan undang-undang dengan maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis." kemudian dalam Pasal 29 Ayat (1) "Negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa".
Secara gramatik, dapat terlihat kalau ajaran agama menjadi salah satu pertimbangan dalam melakukan pembatasan. Peraturan perundang-undangan sebagai salah satu syarat diadakannya pembatasan. Oleh sebab itu pemberlakuan hukuman mati merupakan bentuk pembatasan yang secara yuridis diakui. Dalam ajaran agama Islam, hukuman mati diperbolehkan dengan syarat-syarat tertentu. Hal ini berarti kalau perwujudan hukuman mati melalui peraturan perundang-undangan merupakan bentuk pengejawantahan ajaran agama.
Ssecara penafsiran sistematis, hak asasi manusia yang diatur dalam Pasal 28A sampai dengan Pasal 28I UUD 1945 tunduk pada pembatasan yang diatur dalam Pasal 28J UUD 1945. Dengan pengertian lain bahwa pemberlakuan hukuman mati berpijak pada pasal 28J dan 29 Ayat (1) UUD 1945. Pasal 28J juga merupakan pembatas serta pengecualian untuk pasal yang mengatur hak-hak lainnya. Demikian pengaturan dalam rezim HAM internasional, walaupun adanya hak yang sifatnya tidak dapat dicabut namun terdapat juga pasal pengecualian yakni dalam Pasal 6 International Convenan On Civil and Political Rights (ICCPR) ayat (2) masih memperbolehkan diterapkannya pidana mati untuk the most serious crime.Â
Hukuman Mati: Upaya Pemulihan Kondisi Korban PemerkosaanÂ
Tindak pidana pemerkosaan sangat membawa dampak yang sangat buruk bagi korban, melalui website https://www.alodokter.com/, dijelaskan bahwa "Korban pemerkosaan berisiko tinggi mengalami beberapa gangguan mental, seperti depresi, post traumatic stress disorder (PTSD), dan gangguan cemas. Ini dapat terjadi karena korban selalu teringat akan kejadian traumatis tersebut, sehingga mereka merasa selalu dalam bahaya."
Korban pemerkosaan dapat mengalami post traumatic stress disorder (PTSD), ini merupakan "Gangguan yang ditandai dengan kegagalan untuk pulih setelah mengalami atau menyaksikan peristiwa yang mengerikan. Kondisi ini bisa berlangsung berbulan-bulan atau bertahun-tahun, dengan pemicu yang dapat membawa kembali kenangan trauma disertai dengan reaksi emosional dan fisik yang intens."
Dampak buruk yang dialami oleh korban perlu mendapatkan perhatian lebih oleh semua elemen yang berwenang, pemulihan hak-hak korban baik psikis maupun fisik merupakan kewajiban yang harus dilakukan oleh Negara. Upaya pemulihan hak korban diantaranya ialah melalui kebijakan hukuman mati bagi pelaku pemerkosaan. Â Â
Dampak ketika pelaku pemerkosaan dihukum mati, bagi korban akan sangat membawa dampak positif, setidaknya korban dapat hidup bebas tanpa tekanan seperti rasa takut dan juga dapat membantu pemulihan keadaan korban yang mengalami post traumatic stress disorder. Sebab ketika korban bertemu dengan pelaku ataukah sekedar membayangi ketika bertemu dengan pelaku, trauma korban seketika akan terpicu, sehingga membuat para korban hidup dibayang-bayangi dengan ketakutan. Oleh sebab itu hukuman mati tidak bisa dipandang hanya dari efek jera ataukah dampak kepada turunnya angka kejahatan, namun harus dipandang dari sisi lainnya. Artinya hukuman mati dapat dijadikan sebagai salah satu upaya pemulihan kondisi dan hak korban pemerkosaan. Â
Evaluasi Pemberlakuan Hukuman MatiÂ
Posisi penulis dalam melihat Hukuman mati dengan hati-hati bukan karena efek jera, namun lebih kepada "Human Error", maksudnya bahwa jangan sampai penerapan hukuman mati bukan pada pelaku sebenarnya. Oleh sebab itu dalam pemberlakuannya perlu dikedepankan kehati-hatian dan ketelitian artinya hakim dalam memutuskan sebuah perkara yang dituntut dengan hukuman mati, perlu memastikan secara sah terdakwa tersebut terbukti yang diperkuat dengan alat-alat bukti. Selain daripada itu dalam proses penerapannya tidak boleh ada sedikitpun keraguan dalam benak hakim, harus adanya keyakinan penuh.